Bandara Internasional Incheon meramai pada waktu siang ini. Yul menderapkan langkah di antara orang yang lalu lalang di bandara. Menunggu kedatangan seseorang yang baru turun dari pesawat yang beberapa waktu lalu mendarat di Bandara Incehon.
Yul menunggu beberapa waktu sambil beberapa kali melirik arloji bundar yang melingkar di pergelangan. Tidak lama setelah itu, seorang laki-laki dua puluh delapan tahun melangkah keluar dari terminal dua bandara. Pria tinggi berkacamata dengan tatanan rambut hitamnya yang rapi itu menengok sekeliling. Mencari keberadaan kakaknya yang berkata sedang menunggunya keluar.
Mendapati keberadaan sang adik, tangan Yul melambai-lambai ke atas. Senyuman Yul bermekaran di wajah mendapati adik yang amat dirindukannya telah kembali ke Korea.
“Hun~a.” Yul menyeru selagi kakinya melangkah cepat menghampiri Hun yang sedang menguntai senyum di bibir.
Begitu tiba di hadapan sang adik, Yul segera memeluknya. Kedua laki-laki yang memiliki tinggi sama itu berpelukan di depan pintu keluar terminal dua, di tengah kerumunan orang-orang.
“Hyeong (panggilan kakak untuk adik laki-laki kepada kakak laki-laki), kenapa kau tambah kurus?” Hun menceletuk selagi Yul memeluknya erat.
Terakhir kali mereka bertemu, Yul tidak terlihat sekurus ini. Sepertinya ia kehilangan beberapa berat badan selama satu tahun terakhir, pikir Hun setelah kakaknya melepaskan pelukan mesra itu. Terkahir kali keduanya bertemu adalah tahun lalu, saat Yul pergi ke Amerika untuk menghadiri pesta kelulusan Hun di kampus sang adik. Ketika itu, Hun merasa tubuh kakaknya tidak sekurus ini.
“Begitukah? Padahal aku makan banyak akhir-akhir ini,” jawab Yul sambil merangkul pundak lebar Hun. Mereka melangkah menjauhi terminal dua, menuju pintu keluar bandara.
Setibanya di pintu keluar Yul mengarahkan Hun berjalan menuju mobilnya. Hun yang membawa satu koper besar dan satu tas pakaian, menaruh kedua barangnya itu di bagasi. Kemudian beranjak masuk ke dalam mobil. Duduk di kursi penumpang samping pengemudi sementara Yul masih sibuk menutup bagasi mobil.
Selesai mengunci bagasi, Yul naik ke kursi pengemudi. Lalu mulai melajukan mobil hitamnya menjauhi bandara. Bergerak menuju Seoul di mana rumahnya berada.
“Sekarang kau benar-benar akan menetap di Korea kan?” Yul memulai pembicaraan selagi mengendarakan mobil. Di samping, Hun menata tubuhnya senyaman mungkin di atas kursi. Tubuhnya terasa lelah setelah penerbangannya dari Amerika.
“Memang di mana lagi aku tinggal kalau bukan di Korea? Pelatihan hakimku juga sudah selesai. Aku akan bekerja di Pengadilan Seoul dan mulai minggu depan sudah mulai bekerja,” jelas Hun singkat. Ia membenarkan kacamata minus yang menengger di pangkal hidung. Lalu menyedekapkan tangan di depan dada dan beristirahat.
Kepala Yul menoleh sejenak melirik sang adik. “Wah, sekarang kau benar-benar menjadi hakim. Mengingat dirimu yang sangat tekun belajar sampai-sampai tak memiliki banyak teman dan tak banyak bermain. Hyeong sungguh senang kau akhirnya meraih mimpimu menjadi hakim, Hun~a. Jadilah hakim yang adil dan bijaksana. Jangan kecewakan orang tua kita dan juga Hyeong yang telah mengorbankan banyak hal untukmu.”
Yul menuturi adiknya yang telah meraih mimpi besarnya menjadi hakim. Hun merenungkan nasihat kakaknya itu dengan terdiam dan menganggukkan kepala. Pria itu tahu apa yang telah Yul korbankan untuknya. Tahu seberapa besar Yul berkorban agar dirinya bisa meraih cita-cita besar itu menjadi hakim. Yul telah mengorbankan mimpinya sendiri menjadi seniman. Mengambil alih Moonlight Coffe karena ia tak bisa memberikan tanggung jawab itu kepada sang adik yang terlanjur memperjuangkan mimpi menjadi hakim. Dan pengorbanan Yul yang paling besar adalah, selama lima tahun berturut-turut ia harus mengadakan upacara peringatan untuk orang tuanya sendirian tanpa ditemani Hun—satu-satunya keluarga yang tersisa. Itu adalah perjuangan Yul yang paling berat yang dia rasakan. Namun Yul pun tahu, di Amerika sana kehidupan Hun juga tak mudah. Keduanya sama-sama berjuang dengah segenap kesulitan. Dan sama-sama mengerahkan seluruh sel tubuh untuk bertahan menghadapi kesulitan itu. Perjalanan yang panjang untuk Moon bersaudara setelah kematian orang tua mereka.
“Akan kuingat nasihatmu, Hyeong.” Hun menanggapi setelah beberapa detik berlalu.
Senyuman riang tersungging di bibir Yul. Kedua lesung pipinya yang dalam terlihat manis seperti permen kapas. Matanya melirik ke arah Hun sambil memicing.
“Kau tumbuh dengan baik, Moon Hun. Kau dulu hanya bocah kecil yang selalu mengikutiku ke mana-mana. Sekarang sudah besar dan menjadi ‘yang terhormat’ di pegadilan,” ucap Yul yang merasa bangga pada adiknya.
Mendengar julukan ‘bocah kecil’ membuat Hun teringat masa-masa kecilnya yang selalu mengikuti Yul. Laki-laki itu tak memiliki banyak teman karena selalu sibuk belajar. Teman paling dekatnya hanyalah Yul yang mengajaknya mengenal dunia di luar buku bacaan. Bagi Hun, Yul adalah teman sekaligus penyelamatnya. Yang membuatnya tahu banyak hal dan pengalaman yang tidak akan didapatnya dari buku bacaan.
Hun mengukir senyuman di bibir. Salah satu pipinya membentuk lesung yang dalam seperti punya Yul.
“Oh ya, kau akan tinggal bersamaku kan? Aku sudah menyiapkan kamar untukmu di lantai dua.” Yul lanjut berbicara.
“Aku akan tinggal bersamamu di rumah barumu, Hyeong. Sampai kau nanti menikah dan memiliki istri,” jawab Hun yang seketika membuat Yul mengerutkan kening.
“Kenapa? Setelah aku menikah pun kau bisa tinggal bersamaku di rumah. Rumahku besar dan berlantai tiga. Kurasa itu akan cukup menampung sepuluh orang.”
“Hei, tetap saja. Aku juga ingin memiliki rumah sendiri yang nanti bisa kutempati bersama istri dan anak-anakku,” sahut Hun. Nada suaranya seperti sedang menggerutu.
“Kalau begitu akan kucarikan lahan di sekitar rumahku. Nanti kau bisa membangun rumah di sana.”
Kedua kakak-beradik itu melanjutkan percakapannya sepanjang perjalanan menuju Seoul. Seolah melepaskan kerinduan masing-masing melalui percakapan santai itu. Hingga tanpa disadari keduanya sampai di rumah Yul. Hun turun dari mobil sementara Yul membawakan semua bawaan adik masuk ke dalam rumah. Yul mempersilakan adiknya itu untuk segera mandi dan beristirahat sementara dirinya sendiri menata semua pakaian Hun ke dalam lemari pakaian yang telah dipersiapkan di kamar sang adik.
***
Wajah Yebin bersungut-sungut memikirkan hal yang membuatnya tidak tenang sepanjang hari ini. Meski sedang menjemur pakaiannya di balkon lantai dua, pikirannya melayang ke mana-mana. Ia bahkan tak menyadari ada sekitar tiga kunang-kunang yang menghampirinya di balkon. Seolah kunang-kunang itu mengerti bahwa pada malam salju pertama turun ini Yebin merasa kesepian lantaran dirinya yang sendirian di rumah. Miyoon masih belum kembali dari Incheon setelah satu minggu lebih berlalu. Katanya nenek tidak mengizinkan Miyoon pulang sampai dirinya benar-benar pulih pasca operasi. Sehingga mau tidak mau Yebin harus sendirian tinggal di rumah lebih lama lagi.
“Kenapa jadi kesal sendiri memkirkan mereka? Apa benar mereka itu hanya teman? Anehnya, firasatku tidak berkata demikian. Aku yakin Yul Oppa pasti memiliki hubungan tidak wajar dengan wanita bernama Haeri itu.”
Berapa kali pun berpikir, Yebin merasa hubungan Yul dengan Haeri itu tidak biasa dan bukan sekadar teman. Buktinya saja hampir setiap hari mereka bertemu. Setiap kali Yebin berada di Moonlight Coffe untuk mengerjakan tugas kuliah bersama teman-temannya, ia selalu melihat Yul turun dari lantai tiga bersama Haeri. Pun hampir setiap hari pula wanita itu berkunjung ke rumah Yul. Yebin yang setiap sore melihat wanita itu datang ke rumah Yul menggunakan taksi, selalu merasa aneh. Ada gejolak dalam benaknya seperti ketika seseorang sedang cemburu.
Sebenarnya Yebin tak ingin bertindak bodoh lagi dengan berkata ‘aku tidak menyukainya’. Pasalnya Yebin tahu dengan baik bahwa perasaannya terhadap Yul itu bukan perasaan biasa. Dan jika bukan perasaan biasa, sudah pasti itu adalah perasaan cinta. Yebin meyukai Yul. Pun ia menyadari perasaan yang dinilainya tidak masuk akal itu. Ya. Tidak masuk akal lantaran usianya dengan Yul yang terpaut sepuluh tahun.
Yebin menyukai Yul. Tetapi pria itu memiliki hubungan tidak biasa dengan wanita lain. Yebin merasa tidak bisa berbuat apa-apa bahkan ketika benaknya tidak nyaman melihat mereka bersama. Karena Yebin tak bisa mengutarakan perasaannya yang tidak masuk akal kepada Yul. Otomatis ia tak memiliki hak mencegah mereka bertemu. Kalau pun ia mengutarakan perasaannya kepada Yul dan ditolak, rasanya berkali-kali lipat lebih menyakitkan. Dan yang terpenting itu bisa merusak hubungan oppa-dongsaeng sai-nya dengan Yul. Yebin tidak ingin itu terjadi. Ia ingin menghabiskan banyak waktu bersama Yul seperti biasanya. Ia merasa baik-baik saja asalkan dapat terus bersama Yul. Meski pada kenyataannya Yebin tidaklah baik-baik saja memendam perasaan itu.
Itu sungguh membingungkan. Yebin tak ingin kehilangan Yul sebagai sosok pria dewasa yang dapat dindalkannya. Namun dadanya terasa sesak jika terus memendam perasaan ini.
“Tau ah! Aku tidak mau memikirkannya.”
Kepala Yebin menggeleng-geleng dengan niat mengusir kebingungan itu. Di saat yang sama, ponsel dalam sakunya bergetar. Yebin segera merogoh saku pakaiannya. Memeriksa layar ponsel yang terdapat notifikasi pesan masuk dari satu teman KakaoTalk yang dinamainya ‘Yul Oppa’.
[Datanglah ke rumahku. Aku memesan pizza dan banyak kudapan malam.]
Selesai membalas ‘ok’ pada pesan teks yang dikirimkan Yul, Yebin segera menyelesaikan kegiatan menjemurnya. Kemudian menutup pintu balkon untuk mencegah salju dari luar merembes masuk.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk Yebin turun dari lantai dua dan menyeberang ke rumah Yul. Rumah besar yang dihuni satu orang pria itu telihat masih terang. Di halaman rumah terdapat dua mobil impor. Mobil satu yang berwarna hitam itu yang diketahui Yebin mobil milik Yul. Sedangkan satu mobil lainnya yang berwarna silver, Yebin tak yakin itu milik siapa. Sepertinya ada tamu lain di rumah Yul. Dari teras Yebin mendengar suara gelak tawa dua orang pria di dalam rumah.
Yebin mengetuk pintu. Beberapa detik setelah itu Yul membukakan pintu untuk Yebin dan menceletuk, “Nona Kang, masuklah. Kau belum makan malam kan?”
Wajah Yul terlihat begitu ceria. Senyumnya tersungging lebar sampai deretan giginya yang rapi terekspos.Yebin yang melihat itu, mulai menebak-nebak siapa yang sedang ada di dalam rumah hingga Yul seantusias ini.
“Siapa di dalam?” tanya spontan Yebin.
“Aku akan mengenalkanmu padanya.”
Yul segera menarik tangan Yebin untuk diajaknya masuk. Yebin yang berjalan mengekor dengan tangannya yang ditarik Yul, mendapati satu orang pria lain duduk santai di atas sofa. Pria berkacamata yang terlihat—atau benar-benar—pintar itu tersenyum merekah kepada Yebin yang pertama kali ini melihatnya. Lesung pipit di pipi kiri ketika pria itu tersenyum. Kontur wajah dan bentuk bibir yang mirip dengan Yul. Serta kelopak ganda pada matanya yang sipit dan tatapannya yang sejuk, memiliki kesan yang sama ketika Yebin melihat Yul. Sembari berjalan menuju sofa, Yebin sepertinya tahu siapa laki-laki yang sedang menguntai senyum manis dengan satu lesungan di pipi itu.
“Hun~a, dia adalah Nona Kang, tetangga yang sering kuceritakan.”
Setibanya di sofa Yul memperkenalkan Yebin kepada adiknya. Lalu menoleh pada Yebin.
“Perkenalkan, dia Hun, adikku.”
Seketika itu Yebin membungkukkan tubuh sekenanya, menyapa Hun yang duduk di seberang meja.
“Aku banyak mendengar cerita tentangmu, Nona Kang. Semoga kita bisa berteman baik.”
Hun mengulurkan tangannya kepada Yebin yang duduk di seberang sofa. Wanita itu mengambil duduk di sebelah Yul.
“Senang bertemu denganmu,” ucap Yebin sembari menguntai senyum. Ia menyambut uluran tangan Hun. Keduanya bersalaman selama beberapa waktu untuk saling mengenal satu sama lain.
Hun hampir selalu mendengar kakaknya menyebut ‘Nona Kang’ setiap kali telepon. Dan bukan sekali dua kali saja Yul menceritakan kepada adik tentang wanita yang dipanggilnya Nona Kang tersebut. Dengan alasan yang pasti Hun merasa telah mengenal Yebin dalam waktu lama walau ini adalah pertemuan pertama mereka.
Setelah mereka bersalaman kepala Hun memiring. Ia menatap Yul yang sedang menikmati sepotong pizza.
“Kau melupakan satu poin yang penting, Hyeong,” kata Hun.
Alis Yul mengernyit. “Apa itu?”
“Kau tidak menceritakan kalau ternyata Nona Kang itu cantik.”
Pandangan Yebin sontak menaik. Ia terkejut mendengar Hun yang memberikan kesan tidak terduga tentang Yebin.
Adik maupun kakak sama-sama suka menggoda. Yebin membatin selagi menatap Hun yang secara tidak langsung memujinya cantik. Baik Yul maupun Hun, keduanya menunjukkan kesan yang sama ketika pertama kali mengenal Yebin. Yebin masih mengingat dengan baik Yul yang pada malam pertemuan pertama mereka juga berkata demikian. Berkata kalau Yebin itu cantik.
Kepala Yul memiring untuk mengingat-ingat. “Benarkah? Aku belum mengatakannya?” gumamnya pelan.
“Kalau mulai tua kepala itu memang gampang lupa. Tapi tidak apa-apa. Tanpa diceritakan pun orang lain akan berakhir tahu kalau aku ini cantik.” Yebin mencetus sambil mengambil sepotong pizza di atas meja sofa.
Yul seketika menegakkan tubuh mendengar ucapan Yebin. Ia sontak menoleh pada Yebin yang seolah tidak mengatakan hal salah.
“Kang Yebin, tidakkah ucapanmu itu keterlaluan? Kadang-kadang bercandamu itu menyakitkan. Apa kau tahu?” tukas Yul.
“Maka dari itu kenapa Oppa melupakan poin pentingnya?” sahut Yebin yang terdengar seperti keluhan.
“Asal kau tahu saja, aku ini masih muda. Usia 33 tahun untuk laki-laki di Korea itu masih muda.” Yul memprotes.
Yebin menaikkan alisnya dan mengangguk-angguk. “Ah ya... ya... Ajeossi yang masih muda.”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 187 Episodes
Comments
Sussi Slim
kakak adek sama2 ngegemesin dah 😊
2019-10-13
3