Yul terkejut ketika tiba di rumah dan mendapati adiknya yang pergi di waktu yang lewat tengah malam. Pria itu baru menyelesaikan pekerjaannya di kantor Haeri untuk mengurusi dokumen Moonlight Coffe cabang Mapo yang akan buka satu minggu lagi. Ia bersama Haeri—yang merupakan penasihat hukum Moonlight Coffe—melembur bersama sampai malam hari untuk mengurusi semua dokumen kafe yang harus disahkan dalam waktu kurang dari satu minggu.
Pukul dua dini hari Yul melaju pergi meninggalkan kantor pengacara Haeri. Pulang ke rumah dan mendapati Hun yang tidak ada di sana. Mobil Hun juga tidak ada dan ponsel Yebin tertinggal di meja sofa. Sepertinya kedua manusia itu pergi bersama ke sebuah tempat di waktu yang sudah lewat tengah malam ini. Begitu Yul menyimpulkan dalam benaknya. Ia mulai merasa cemas dan mengkhawatirkan kedua manusia itu. Apa yang mereka lakukan dengan keluar malam-malam begini. Dan ke mana perginya kedua orang itu selesai menghabiskan kudapan malam di rumah. Yul memikirkan semua itu dan merasa semakin khawatir.
Yang dapat pria itu lakukan adalah menelepon Hun yang kunjungnya tidak dijawab. Yul tengah berdiri di samping sofa ruang tamu dan menadapati ponsel Yebin yang tertinggal. Mencoba menghubungi Hun yang ponselnya sedang mati.
“Ke mana kedua orang itu pergi malam-malam begini?” Yul yang tak dapat menutupi kecemasannya menggumam-gumam setelah lebih dari tiga kali teleponnya tidak dijawab. Ia menurunkan ponsel. Menyebarkan pandangan paniknya ke sekeliling. Menebak-nebak tempat mana yang kira-kira adiknya itu kunjungi bersama Yebin di waktu sedini ini.
Kurang dari satu menit setelah itu terdengar suara mobil Hun di luar. Buru-buru Yul berjalan meninggalkan sofa. Mendapati mobil adiknya yang masuk ke halaman rumah. Yul pun segera mendekati Hun yang beranjak turun dari mobil.
“Dari mana saja kau itu jam segini?” Yul mencetus melihat Hun keluar dari mobil.
Ia mendekat pada Hun yang sedang beralih ke sisi kanan mobil dan membuka pintunya. Di kursi penumpang bagian depan itu Yebin sedang tertidur pulas setelah menghabiskan dua botol wine sendirian.
“Yebin berkata ingin minum alkohol. Jadi aku mengajaknya ke bar untuk menemaninya minum.” Hun menjelaskan singkat sambil melepas sabuk pengaman di tubuh Yebin. Ia melongok melihat Yul di seberang mobil lalu berucap, “Hyeong, bisa bantu aku memindahkan Yebin? Sepertinya dia benar-benar mabuk.”
Tanpa menunggu lama Yul membantu Hun menurunkan Yebin. Yul menggendong tubuh Yebin yang melemas karena alkohol. Wajah wanita itu memerah karena mabuk. Yul menopangnya menggunakan kedua tangan. Berjalan masuk ke dalam rumah sementara Hun memasukkan mobilnya ke bagasi mobil.
Sambil menggendong tubuh Yebin menggunakan kedua tangannya yang berotot, Yul berjalan masuk ke dalam rumah. Naik ke lantai dua. Menuju sebuah kamar tidur khusus tamu yang terletak di lantai itu. Kemudian meletakkan tubuh Yebin ke atas kasur perlahan-pahan. Yebin yang di bawah kendali alkohol, mengaliat kecil ketika Yul menurunkannya dengan pelan. Lalu kembali tertidur nyenyak tak bergerak menghadap langit-langit ruangan.
“Seberapa banyak Yebin minum sampai mabuk begini?”
Merasa heran, Yul menggumam-gumam pelan. Pria itu mendaratkan tubuhnya duduk di pinggiran kasur. Menyelimuti tubuh Yebin menggunakan selimut tebal yang hangat. Ia juga meraih remote penghangat ruangan untuk menaikkan suhu udara ruang di malam yang amat dingin ini.
Sejurus kemudian Yul mendengar suara langkah Hun mendekat. Ia pun segera menolehkan kepalanya ke arah Hun yang berjalan masuk ke dalam kamar.
“Apa yang terjadi? Tidak biasanya Yebin mabuk sampai seperti ini,” tanya Yul yang menatap wajah misterius Hun.
“Aku tidak begitu paham. Setelah kau keluar dengan berkata akan menemui Kak Haeri, Yebin tiba-tiba berkata ingin minum alkohol. Dia sepertinya sedang ada dalam masalah. Aku merasa enggan menolaknya dan membawanya ke Bar Vintage untuk minum. Aku tidak menyangka Yebin akan meminum wine sebanyak itu.”
Kepala Yul kembali menoleh pada Yebin. Tatapannya yang otomatis menyendu menggambarkan kekhawatirannya yang dalam terhadap Yebin. Sembari merapikan selimut yang menutupi tubuh Yebin, Yul menggumam, “Apa yang terjadi padanya? Yebin bukan tipe orang yang akan mabuk-mabukan karena suatu masalah.”
Di belakang, Hun menatap misterius Yul yang menggumam mengkhawatirkan Yebin. Laki-laki berkaca mata itu kemudian bertanya, “Hyeong, menurutmu Yebin itu seperti apa?”
Pertanyaan Hun yang tiba-tiba itu sontak membuat Yul menoleh. Keningnya mengernyit saat menanyakan kembali apa maksud pertanyaan Hun.
“Apa maksudmu?”
“Aku hanya ingin bertanya, apa kau mengganggap Yebin sebagai wanita atau hanya sebatas adik perempuan untukmu.”
Yul terdiam sejenak mencerna pertanyaan aneh Hun. Ia memang sering bercerita tentang Yebin dan selalu berkata kalau Yebin itu dianggapnya seperti adik yang senantiasa dia lindungi. Walau kerap kali Yebin itu bersikap layaknya wanita dewasa yang seolah tidak membutuhkan perlindungan siapa pun. Wanita dewasa yang bisa melakukan semuanya sendiri dan tidak memiliki rasa takut. Yebin sering bersikap seperti itu terhadap Yul. Namun hal itu justru membuat Yul semakin khawatir.
Setelah melalui perenungan yang panjang, Yul pun memberi jawaban pasti. “Memang benar kalau Yebin itu wanita. Namun, juga benar kalau aku menganggap Yebin seperti adik perempuanku.”
Awalnya Yul sempat merasa ragu. Saat jantungnya berdebar kencang karena Yebin, ia merasa ragu apakah dirinya itu menyukai Yebin, wanita yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Wanita yang lebih cocok untuk dijadikannya keponakan atau adik ipar. Yul yang merasa itu tidak masuk akal, menyimpulkan kalau debaran jantungnya saat bersama Yebin itu adalah hal yang wajar. Yul berpikir, ketika bersama seseorang yang menyenangkan perasaannya, jantung bisa berdetak lebih cepat dari biasanya. Ketika ia bersama seseorang yang membuatnya merasa nyaman dan senantiasa gembira, perasaan mendesir seperti ketika seseorang jatuh cinta bisa saja datang tanpa sebab. Namun semua itu adalah hal yang wajar, pikirnya. Itu adalah reaksi alamiah tubuh Yul ketika bersama seseorang yang selama ini menyenangkan perasaannya. Yul tidak perlu merasa bingung lagi apakah dirinya itu jatuh cinta kepada Yebin atau tidak.
Yul mengakhiri jawaban singkatnya lalu lanjut bertanya, “Kenapa kau menanyakan hal itu?”
Hun otomatis menggeleng. “Tidak apa-apa. Aku hanya penasaran saja.”
Tubuh Hun pun berbalik. Ia meninggalkan kakaknya berdua bersama Yebin yang sedang tertidur lelap. Hun meninggalkan kamar tersebut dan berjalan menuju kamar tidurnya untuk bergegas istirahat. Sementara Yul beberapa saat ada di kamar tamu tempat Yebin tertidur. Merapikan selimut tebal Yebin dan juga bantalnya. Menyesuaikan suhu udara dalam kamar tidur. Menutup semua korden jendela dan terakhir mematikan lampu sebelum pria itu beranjak keluar meninggalkan Yebin tertidur sendirian di kamar tamu.
***
Kepala Yebin terasa berputar-putar dan pening begitu terbangun dari tidur. Pengar karena mabuknya semalam menyerang pagi Yebin begitu wanita itu terbangun dari tidurnya yang lelap. Rasa mual memenuhi perut Yebin. Membuatnya seakan-akan ingin muntah. Sembari memegangi kepalanya yang pening itu Yebin menuruni tangga lantai dua. Ia mendengar suara gelontengan dari Yul dan Hun yang sedang melakukan beberapa kegiatan di dapur.
“Kau sudah bangun?”
Mendapati keberadaan Yebin yang sedang menuruni tangga, Yul menceletuk. Pria itu memakai apron dapur berwarna biru tua. Memegangi sumpit kayu panjang dan sedang menggoreng daging ham di atas teflon.
“Seberapa banyak kau minum sampai mabuk begitu?” lanjut Yul menanyai Yebin yang berjalan gontai menuju dapur.
Wanita itu menahan rasa sakit di kepalanya karena reaksi alkohol yang belum berakhir. Mengambil air minum di atas meja makan kemudian menjawab dengan gumamam.
“Aku tidak ingat. Aku hanya ingat saat Hun Oppa menyuapiku keju.” Yebin menggosok-gosok rambut untuk mengurangi pengar.
“Duduklah, Yebin~a. Ayo kita sarapan bersama.” Hun yang sedang membuka penanak nasi, menceletuk kepada Yebin. Pria berkacamata itu mengambil tiga mangkuk nasi dan mengisinya dengan nasi merah dari penanak yang sudah matang.
Yebin pun duduk di salah satu bangku meja makan. Menunggu Hun mengantarkan mangkuk nasinya. Juga menunggu Yul selesai menggoreng daging ham dan menyiapkan beberapa lauk pauk yang baru dipanaskannya di microwave. Itu adalah lauk pauk yang dimasakkan Miyoon. Beberapa hari lalu Miyoon pulang ke rumah untuk memasakkan persediaan makanan untuk putrinya dan juga Yul. Lalu kembali ke Incheon untuk mengurus nenek yang sedang sakit.
Di atas meja telah tersaji beberapa makanan. Ada tumus cumi-cumi kering, olahan ikan laut yang dipanggang, daging sapi asam manis, acar, dan makanan pelengkap seperti kimchi, daging ham goreng, telur gulung, dan sosis.
Yul melepaskan apron biru yang melingkari pinggang. Kemudian duduk di bangku sebelah Hun, berhadapan dengan Yebin memulai kegiatan makan.
Ada perasaan tidak enak yang mengelumuni benak Yul. Ia merasakan sesuatu yang menyesakkan saat menatap Yebin yang sedang melahap sarapan. Perasaan itu—yang dirasakan Yul saat ini—mulai muncul tadi malam, tepatnya setelah ia menyadari kedekatan Hun dengan Yebin. Perasaan aneh inilah yang membuat Yul beberapa kali menatap cermin dan mendepati dirinya yang menyedihkan.
“Apa tidak ada Sup pereda mabuk? Aku membutuhkan Sup pereda mabuk sekarang juga.” Yebin berucap setelah menelan telur gulung yang dikunyahnya.
Perutnya terasa mual, seperti mau muntah. Yebin membutuhkan Sup pereda mabuk untuk meredakan pengar di kepalanya karena alkohol.
“Tidak ada. Makanlah apa yang ada di atas meja. Siapa suruh kau minum sampai mabuk?” Yul merutuk melihat Yebin mencari Sup pereda mabuk yang tidak ada di atas meja. Tanpa alasan yang jelas pria itu merasa kesal pada Yebin yang mabuk bersama Hun.
“Kenapa Ajeossi kesal? Aku kan hanya bertanya,” sahut Yebin dengan wajahnya yang memberengut. Ia menekuk bibirnya dan lanjut makan dengan kesal.
“Ajeossi? Katanya kau lebih suka memanggilku Oppa, kenapa tiba-tiba Ajeossi?” Yul memprotes.
Sampai kemarin malam Yebin masih memanggilnya dengan sebutan oppa. Dan pagi ini tiba-tiba panggilan itu berubah menjadi ajeossi. Apa yang sebenarnya wanita itu pikirkan? Kenapa ia memainkan perasaan Yul dengan begitu mudah seperti menggelindingkan bola salju? Tiba-tiba saja Yul merasa marah, sekaligus sakit hati.
Dengan santainya Yebin menjawab, “Aku sudah memikirkan kembali. Sepertinya Ajeossi lebih cocok kupanggil Ajeossi. Untuk panggilan Oppa, kurasa akan lebih cocok untuk memanggil Hun Oppa. Benar kan, Oppa?” Yebin mengakhiri kalimatnya sambil menoleh pada Hun. Laki-laki itu mengangguk sambil terkekeh. Sementaa raut wajah Yul bersungut-sungut mendengar Yebin yang membuat perasaannya sakit.
“Hah! Yang benar saja.” Yul tak menutupi perasaan jengkel yang memenuhi kepalanya. Ia menghentikan kegiatan makan dan merutuk, “Baiklah. Terserah apa yang mau kau lakukan, Nona Kang. Aku tidak peduli.”
Yul segera bangkit dari duduk. Perutnya terasa kenyang secara tidak masuk akal. Mulut Yul tidak memiliki selera untuk menghabiskan sarapan. Pria itu berjalan meninggalkan meja makan. Naik ke lantai dua menuju kamar tidurnya.
Tubuh Yebin menjingkat kecil saat mendengar suara pintu tertutup yang amat keras. Sepertinya Yul sedang kesal dan membanting pintu kamar.
“Ajeossi itu benar-benar. Kenapa dia mengambek hanya karena aku tidak memanggilnya oppa? Kekanakan sekali.” Yebin menggumam tak percaya mendapati Yul yang sedang merajuk.
Bukan berarti hanya Yebin seorang yang memanggil laki-laki itu dengan sebutan oppa. Kenapa Yul berlebihan sekali? Yebin yang melihat Yul sedang mengambek, menggeleng-geleng heran. Ia tidak mengerti kenapa laki-laki itu kadang bersikap kekanakan di hadapan Yebin. Benar. Marah karena tidak dipanggil oppa oleh wanita yang jauh lebih muda darinya itu tindakan sangat kekanakan. Bukan berarti Yebin memiliki arti khusus di hati Yul. Kenapa Yul bersikap kekanakan seperti anak SMA? pikir Yebin dalam benak.
Tanpa mau memikirkan pria yang sedang merajuk itu, Yebin meneruskan kegiatan makannya. Bercanda dia dengan Hun yang memberinya suapan lauk pauk.
Tepat dua menit kemudian, terlihat Yul yang sedang menuruni tangga lantai dua. Pria itu memakai pakaian lengkap musim dingin. Membawa kunci mobil di genggaman.
“Mau ke mana, Hyeong?” tanya Hun spontan melihat kakaknya hendak pergi ke sebuah tempat.
Tanpa menoleh Yul pun menjawab, “Kafe.”
“Akhir pekan begini kau mau ke kafe?”
“Hm.”
Yul yang raut mukanya merengus, dalam sekejap pergi meninggalkan rumah. Meninggalkan Hun dan Yebin yang sedang sarapan. Melaju menuju Moonlight Coffe Gangnam. Pada akhir pekan kafe buka sejak pukul satu siang sampai jam sebelas malam. Di kafe yang sedang sepi itu Yul ingin melukis. Pria itu hendak meluapkan kekesalannya dengan cara melukis. Itu adalah satu-satunya cara yang dapat dilakukan Yul untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman yang menyesakkan ini.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 187 Episodes
Comments
Sussi Slim
Bau aroma2 cemburu niiih 😄
2019-10-13
3
Nanik
sama sama gak nyadar kalo saling suka nich...
2019-09-05
3