Salju putih berhamburan dari langit layaknya hujan di sore musim panas. Kepingan-kepingan salju yang seperti kristal menumpuk di atas permukaan tanah. Menjadikan tanah yang lapang ini menjadi padang salju yang luas. Butiran salju yang putih di udara seolah menjadi tak terlihat di atas padang salju yang berwarna puth kebiruan.
Suasana malam dingin dan kelam. Namun kemeriahan di tempat ini terasa tak pudar dimakan dinginnya malam. Keberadaan salju-salju yang berhamburan dari langit seolah menjadi pengganti para bintang yang bersembunyi di balik langit ke tujuh.
Yebin menyeka hidungnya yang memerah karena dingin. Ia merapikan topi hangat musim dingin yang menaungi kepala sampai telinga. Kemudian menepukkan kedua tangannya yang memakai kaus tangan tebal yang terbuat dari wol. Wanita itu berjalan penuh semangat setelah menyewa peralatan ski es di pusat center area ski es yang luas ini.
“Ajeossi, kau pandai berolah raga ski?”
Wanita itu tampak begitu riang dengan pakaian musim dinginnya yang tebal. Tubuh Yebin yang mungil kelihatan besar karena jaket bulu angsa yang ketebalannya sampai tujuh sentimeter. Ia juga memakai sepatu ski yang baru disewanya di pusat penyewaan barang. Yebin berjalan seperti robot karena sepatu skinya yang berat.
“Kau akan ternganga melihatku bermain ski. Tunggu saja, Nona Kang.” Yul menjawab percaya diri sambil menaikkan dagunya menatap Yebin.
Olah raga ski es adalah olah raga yang wajib dilakukan pada musim dingin. Di Seoul sendiri ada banyak area ski es yang mulai dibuka satu mingguan lalu mengingat musim dingin yang mulai merasuk semakin dalam. Setelah dibukanya Moonlight Coffe Mapo lima hari lalu, Yul memiliki banyak waktu luang. Pria yang beberapa hari lalu berulang tahun itu, menagih janji Yebin untuk memberinya hadiah jika Biniemoon berkempang pesat. Ia meminta Yebin untuk membelikannya tiket masuk area ski dan berolah raga es sepuasnya di area tersebut.
Yebin membelikan tiket masuk ke area ski es untuk Yul, menepati janjinya itu. Namun, Yebin juga tak melupakan Hun, yang akhir-akhir ini sering menghabiskan waktu bersamanya dan mendengar keluh kesahnya. Tak melupakan laki-laki baik yang pengertian itu, Yebin pun membelikan tiket masuk juga kepada Hun. Ini adalah hari Sabtu. Tidak ada alasan Hun untuk menolak ajakan Yebin bermain di area ski. Karena pada hari Sabtu sudah pasti Hun libur dari pekerjaannya sebagai hakim. Ia bisa pergi keluar bersama Yebin dan Yul tanpa harus menunggu keperjaannya di pengadilan pusat selesai.
“Hun Oppa, apa kau juga pandai berolah raga es?” tanya Yebin yang berjalan dengan diapit dua lelaki tinggi.
“Aku tidak yakin. Ini pertama kali aku berolah raga es.” Hun menjawab sambil memiringkan kepala. Pria itu tak mengenakan kacamata minusnya. Mengganti kacamatanya dengan lensa kontak untuk merasa lebih nyaman saat berolah raga.
Setibanya di area olahraga es dimulai, Yebin mulai menggunakan peralatannya. Ia memasang papan seluncur di bawah sepatunya dengan binding. Juga memakai helm ski yang kan melindungi kepalanya dari benturan.
Ketika berdiri di atas papan seluncur yang panjang itu Yebin nyaris terlepeset karena licinnya salju di permukaan. Tubuhnya tak seimbang dan hampir terjatuh sebelum Yul dan Hun memegangi tubuh Yebin secara bersamaan.
“Hati-hatilah. Kau hampir jatuh bahkan sebelum olahraga dimulai.” Yul merutuki. Pria yang berdiri di kanan Yebin itu memegangi pinggangnya sementara Hun memegangi pundak sang wanita.
“Baiklah. Ajeossi tidak perlu mengomel.”
Yul menghela napas panjang ke dalam perut. Kemudian melepas cengkeramannya dari tubuh Yebin. Mulai memasang papan seluncur di bawah sepatu skinya. Lalu menancapkan tongkat ski ke permukaan salju.
“Lebih sulit dari yang kubayangkan.” Yebin yang baru pertama kali ini mencoba olahraga ski, merasakan sulitnya olahraga es itu. Beberapa kali tubuh Yebin terhuyung saat mencoba berjalan menggunakan kakinya yang bertengger di atas papan seluncur.
“Kau perlu hati-hati. Jangan ceroboh atau kau bisa terluka.” Yul menururi.
Perlahan-lahan Hun yang sudah memakai peralatan skinya melaju menjauhi Yebin. Pria itu meluncur seperti balok es di atas keramik. Memainkan tongkat skinya sambil berlayar mulus di atas permukaan es.
“Yebin~a, kemarilah!”
“Wah! Apa-apaan ini? Katanya baru pertama kali ini kau bermain ski es. Tapi kau terlihat pandai, Oppa.” Yebin merutuk-rutuk sambil berjalan pelan seperti robot menghampiri Hun yang menebarkan senyum lebar di wajah. Wanita itu berjalan dengan bersusah payah dan nyaris tergelincir salju. Membuat Yul yang merasa waswas seketika itu memanik.
“Hati-hatilah! Kau bisa jatuh, Nona Kang.”
Wanita itu tak mendengar perintah Yul untuk hati-hati dan terlanjur fokus kepada Hun yang berseluncur di atas es dengan begitu gesitnya. Lelaki itu benar-benar. Tidak mungkin kalau Hun pertama kali ini melakukan ski es melihat bagaimana ia mengayunkan tongkat skinya ia atas hamparan es yang luas. Sepertinya ia berbohong. Yebin yang merasa dibohongi tiba-tiba merasa jengkel.
Dengan untaian senyumnya yang melebar Hun menanggapi, “Sebenarnya aku sering melakukan olahraga es bersama kakakku, hehe.” Pria itu meliak-liuk di atas permukaan es dan membuat Yebin bertambah iri melihat bagaimana gesitnya ia berseluncur.
“Tiba-tiba saja aku merasa kalah. Dasar laki-laki.”
Bagaimanapun juga, Yebin merasa belum terbiasa dengan olah raga es. Kakinya terasa licin setiap kali berjalan di atas permukaan es. Tubuhnya yang tidak begitu berat itu seperti akan terbang dihempas angin saat nyaris tergelincir. Seperti pintu otomatis kaki Yebin yang bernaung di atas papan seluncur, terbuka. Kakinya yang dilapisi celana hangat ski semakin melebar karena licinnya permukaan salju yang membuatnya seketika itu juga terjatuh.
“Agh!”
Tubuh Yebin bergelimpang di atas permukaan salju. Pakaiannya seketika itu juga kotor oleh butiran salju tebal di atas permukaan tanah. Topi di kepalanya bergeser ke belakang sehingga keningnya yang jenong terekspos tanpa terhalangi poni.
Padahal Yul sudah memperingatinya untuk berhati-hati. Tapi bukan Kang Yebin namanya kalau langsung mendengar nasihat itu tanpa merasakan bagaimana itu terjatuh di atas permukaan salju karena kurang berhati-hati.
Sambil merutuk-rutuk Yul berjalan menghampiri Yebin. Pria itu melihat Yebin berusaha bangkit namun terjatuh lagi karena sepatu skinya yang berat.
“Sudah kukatakan hati-hatilah. Kenapa kau itu tidak pernah mendengarku?” cerocos Yul sambil membantu Yebin bangkit berdiri. Bagi Yebin, dirinya itu sudah berhati-hati. Mau berhati-hati seperti apa lagi agar pria itu tidak mengomel? batin Yebin dalam hati.
“Aku kan sudah hati-hati. Kalau tetap jatuh, itu bukan salahku.”
“Baiklah. Kalau begitu itu salahku. Apa kau puas, Nona Kang?” Pria itu lanjut merutuk.
“Bukan berarti itu salahmu, Ajeossi.” Wanita itu menjawab keheranan sambil menggerutu.
“Kau baik-baik saja, Kang Yebin?” Hun yang melihat Yebin jatuh dari kejauhan mendekat pada wanita itu. Ia berhenti tepat di hadapan Yebin yang baru membersihkan pakaiannya dari butiran salju yang menempel.
“Lihatlah, karena siapa aku terjatuh seperti ini?”
“Karenaku?”
Hun yang merasa tidak bersalah, menggumam bingung. Ketika itu juga Yebin membuang tongkat skinya ke belakang. Ia memutuskan untuk tidak menggunakan benda panjang yang tidak tahu bagaimana cara memakainya itu. Di sini ada dua laki-laki yang pandai bermain ski. Yebin merasa bisa menggunakan kedua laki-laki itu sebagai tongkat skinya tanpa harus bersusah-susah menggunakan tongkat ski yang asli.
Yebin mencengkeram erah lengan kanan Yul yang berdiri di sebelah kirinya. Kemudian menarik tubuh Hun untuk berdiri di sebelah kanannya dan mencengkeram lengan kiri pria itu. Kini ia merasa memiliki dua tiang listrik di kanan dan di kiri yang seolah-olah siap menyangga tubuhnya untuk tidak terjatuh lagi.
Seolah mengerti apa yang Yebin inginkan, Yul mendesah panjang, “Ah, kau ingin aku dan Hun membawamu berseluncur di atas es? Baiklah asal kau tidak merengek. Aku tidak berhenti sebelum garis finis.”
“Berangkat!”
Jujur saja Yebin tidak merasa gentar mendengar ucapan Yul. Ia justru merasa semakin bersemangat dan ingin segera meluncur bersama kedua pria tampan yang mengapitnya seperti tiang listrik itu.
Kedua alis Yul menaik mendengar Yebin yang tampak antusias mencerna kalimatnya. Ia bertatapan sekilas dengan Hun sebelum kedua laki-laki itu berteriak, “Berangkat!” sambil mulai melaju di atas permukaan es menggunakan kaki-kakinya yang gesit.
Mereka mulai berseluncur bersama di atas permukaan licin area ski es yang cukup ramai pada malam akhir pekan ini. Ketiganya berseluncur seperti tawanan burung di atas langit yang tidak bisa terpisahkan satu sama lain. Menaiki tanjakan es dan berseluncur turun dari tanjakan itu dengan kecepatan tinggi seperti kereta bawah tanah ekspres yang melaju dari Seoul ke Busan. Yebin yang merasakan adrenalinnya menaik, berteriak penuh semangat seolah sedang mengikuti perlombaan Pyeongchang. Sementara kedua lelaki yang membawanya berseluncur itu tampak bahagia dengan senyum merekah yang terbentuk di wajah. Lesung pipit kedua pria yang sedarah itu tampak dalam sedalam cekungan salju di area ski. Ketiga orang yang tampak begitu gembira itu berseluncur selama beberapa waktu hingga merasa benar-benar lelah dan mereka pun memutuskan untuk beristirahat.
“Wah, aku merasa semua organ tubuhku berdetak. Aku tidak tahu kalau olahraga es itu sangat menyenangkan.”
Sambil terengah-engah Yebin membaringkan tubuhnya ke atas tumpukan es seselesainya mereka berseluncur. Perutnya kembang kempis menghadap ke langit malam yang gelap. Di sebelahnya, suara napas berat dari dua orang pria terdengar dalam. Kedua lelaki itu juga tampak kelelahan setelah menghabiskan banyak waktu untuk berseluncur.
“Huh, jantungku terasa mau meledak.” Yul menggumam sementara masih terengah-engah.
Tidak lama setelah ketiga orang tersebut membaringkan tubuh di atas permukaan es, ponsel Hun di dalam kantongnya berdering. Hun merogoh bagian dalam jaket bulu angsa yang dikenakannya. Mengambil telepon dan memeriksa siapa yang meneleponnya.
Begitu melihat nama ‘Hakim Lee’ di layar ponselnya, Hun beranjak duduk. Ia menjawab panggilan telepon itu segera.
“Halo,” sahut Hun kepada orang di seberang telepon.
Ia berdiri dari duduk. Menjawab telepon yang masuk itu sambil berjalan ke tempat yang sepi.
“Aku sudah menyelesaikan surat putusan bersama Hakim Cho dua hari lalu.”
Selagi Hun bertelepon dengan orang bernama Hakim Lee yang merupakan rekannya di pengadilan, Yebin menggumam-gumam. “Sepertinya Hun Oppa sangat sibuk. Apa bekerja di pengadilan itu sulit?”
“Pada dasarnya semua pekerjaan itu sulit. Tergantung bagaimana orang menjalaninya. Memilih mengeluh karena pekerjaan yang sulit atau bersikap bijak dan menjalankan pekerjaan yang sulit itu dengan sabar.”
Jawaban panjang Yul membuat Yebin menoleh. Ia menatap Yul yang terbaring di kanannya.
“Apa Ajeossi selama ini juga menalami kesulitan?” tanya Yebin tiba-tiba. Membuat Yul ikut menoleh.
“Tentu saja. Itu hal yang manusiawi.”
Tepat setelah itu panggilan telepon Hun telah berakhir. Pria itu berjalan menghampiri Yebin dan Yul yang mulai bangkit duduk.
“Sepertinya aku harus segera pergi.”
“Sekarang juga? Kenapa? Ada ada masalah di kantor?” tanya spontan Yul melihat adiknya terlihat tergesa-gesa.
“Ada hal mendesak yang harus segera kuurus mengenai berkas putusan yang akan dipersidangkan. Aku pergi duluan. Kalian bersenang-senanglah di sini.”
Hun melesat begitu saja dari hadapan Yul yang menatapnya bingung. Dalam sekejap pria berkacamata itu telah hilang dari hadapan. Perlahan Yebin pun beranjak dari duduk. Berdiri sambil menebah-nebah pakaiannya dari kepingan salju.
“Ayo kita bermain lagi, Ajeossi. Hun Oppa sudah pergi tapi kita akan terus bermain.” Wanita yang sedang bersemangat itu kembali menyeru. Ia menarik kedua tangan Yul untuk bangkit berdiri dan kembali berseluncuran di atas es.
“Kau ingin berseluncuran seperti tadi? Astaga, Nona Kang, apa kau tidak lelah? Aku bahkan baru bisa bernapas dengan baik sebelum kau menarik tanganku berdiri.” Yul seperti sedang mengeluh kepada Yebin. Saat manusia semakin tua, tubuh akan lebih mudah lelah dan lebih malas. Persendian lebih mudah sakit dibanding saat Yul masih berusia dua puluhan.
“Kalau begitu ajari aku berseluncur di atas es.”
Yebin memakai kembali peralatan berseluncurnya. Tetapi, karena Yebin hanya ingin belajar berseluncur dari Yul, ia merasa tidak perlu memakai helm yang sempit itu. Ia pun melepaskan helm ski yang membuat telinganya sakit. Membenarkan topi yang menutupi kepalanya itu sambil melihat Yul yang sedang merapikan tatanan rambut setelah melepas helm.
“Sini!”
Kedua manusia itu mulai berdiri berhadap-hadapan di atas salju. Yul memegangi kedua tangan Yebin yang masih belum bisa berdiri dengan baik di atas papan seluncurnya. Papan seluncur Yebin yang licin itu otomatis membuka kakainya seperti engsel pintu. Yebin nyaris tersungkur ke depan setiap kali kakinya terbuka dan mendadak ia harus split di atas es.
“Berdirilah yang tegak. Jangan seperti itu.” Yul memberikan instruksi pada Yebin sembari memegangi kedua tangan wanita itu. “Pertahankan kakimu supaya tidak bergerak berlawanan. Lalu perlahan ikuti langkahku.”
“Ah, kenapa sulit sekali? Sepertinya papan seluncurku bermasalah.”
Merasa tidak bisa mengatakan dirinya itu payah, Yebin menyalahkan papan seluncurnya. Ia tidak memiliki alasan lain yang dapat digunakannya untuk men-desepsi.
Perlahan-lahan Yul melangkah ke belakang. Keduanya berpegangan tangan sembari Yebin mengikuti langkah Yul ke depan. Yebin bergerak sesuai yang diinstruksikan oleh Yul dan akhirnya mereka pun bisa berseluncur bersama dengan pelan.
Yul mulai memperlihatkan atraksinya kepada Yebin. Pria itu mempercepat laju kakinya di atas salju seperti mempercepat kecepatan mobil. Kemudian berputar 360 derajat dan membawa Yebin dalam putaran itu sementara keduanya masih berpegangan tangan layaknya pasangan kekasih yang sedang bersenang-senang di atas es seperti dalam film. Mereka bersenang-senang sementara area ski es ini mulai menyepi.
Alih-alih merasa takut karena putaran itu, jiwa Yebin semakin tertantang. Ia larut dalam putaran yang Yul persembahkan untuk mereka. Merasakan hormon tubuhnya yang meningkat bersama kedua tangan Yul yang membawanya berseluncur cepat.
Tiba-tiba Yebin merasakan kembali perasaan menyakitkan itu ketika menatap wajah bahagia Yul yang membawanya berseluncur dalam atmosfer malam yang hangat. Perasaan bingung yang pada detik yang sama juga membuat hati Yebin meretih sakit. Ia merasakan detakan jantungnya yang mencepat ketika Yul memegangi tangannya dengan erat. Juga merasakan perasaan yang mendesir seperti padang pasir saat Yul yang sedang tersenyum menawan itu menatapnya dalam waktu lama. Yebin kembali dibingunggkan oleh perasaannya. Kepalanya terasa buta oleh perasaan membingungkan yang harus segera ia luapkan ini. Dadanya sesak karena telah memendam perasaan ini terlalu lama. Memendamnya seolah-olah bisa sirna meski pada kenyataannya rasa cinta Yebin semakin besar. Rasa cinta yang tidak masuk akal.
Dada Yebin disesaki oleh semua hal itu. Kepalanya tak terisi apa-apa kecuali pria yang saat ini sedang menggenggam tangannya dengan erat seolah tidak ingin kehilangan Yebin selamanya.
Keseimbangan tubuh Yebin ketika itu juga hilang. Ia jatuh tersungkur meski Yul telah memeganginya erat. Tubuh Yebin yang tak dapat mempertahankan keseimbangan pun bergelimpangan di atas salju. Dalam sekejap topi yang dipakai Yebin telah terlepas dari kepalanya. Rambut coklatnya yang panjang dipenuhi oleh butiran salju dari tanah.
“Kang Yebin, kau baik-baik saja?” Yul yang merasa cemas segera mendekati Yebin dan membantu wanita itu berdiri. Ia memutar-mutar bahu Yebin untuk memastikannya baik-baik saja. Kemudian menebah-nebah pakaian dan rambut Yebin dari butiran salju yang bertengger. “Maaf. Harusnya aku lebih berhati-hati.”
Tubuh Yebin hanya mendiam ketika pria itu membersihkan rambutnya dari salju. Terlihat raut wajah Yul yang mengkhawatirkan Yebin.
“Ajeossi.”
“Kenapa? Apa ada yang terluka?” sahut Yul spontan dengan wajahnya yang masih panik. Ia memegangi kedua bahu Yebin untuk memastikannya baik-baik saja.
“Aku mencintaimu, Ajeossi. Aku mencintaimu.”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 187 Episodes
Comments
Nanik
beneran ngungkapin cinta tuh yebin
2019-09-05
2
ERna Khitiengkhan
Gemesshh banget kang yebin 😂
2019-08-16
5