“Kudengar kau mahasiswa bisnis yang memiliki portal belanja online. Apa kau mengelolanya sendirian?”
Hun yang telah mendengar banyak cerita tentang Yebin pun memulai kembali pembicaraan. Ia mendengar tentang kakaknya yang menjadi model di portal belanja online karena permintaan khusus Yebin. Tadi juga Hun telah melihat foto kakaknya terpajang di website Biniemoon dengan beragam pose dan pakaian yang dikenakan. Hun merasa benar-benar terkejut melihat kakaknya yang ternyata cukup berbakat menjadi model. Padahal selama ini Yul sangat anti dengan yang namanya kamera. Ia hampir tidak pernah berfoto kecuali untuk acara resmi seperti pesta kelulusan Hun setahun lalu. Pada waktu itu Yul dipaksa berfoto bersama Hun yang baru lulus sekolah hukum. Mau tidak mau Yul pun berfoto bersama adiknya beberapa jepretan.
“Khusus di website aku mengelolanya sendirian untuk saat ini. Ada satu orang temanku yang membantu mengelola akun media sosial dan pemasarannya.” Yebin menjelaskan singkat.
Ketiga orang yang duduk mengelilingi sofa itu meneruskan kegiatan berbincang mereka dalam waktu lama. Menghabiskan dua porsi pizza dan kudapan malam lain. Serta memperbincangkan banyak hal dan melontarkan canda tawa. Sikap Hun memang tak seramah dan tak sesupel kakaknya. Ia juga tak begitu pandai berbasa-basi serta lebih blak-blakan dalam bertutur kata. Tetapi Hun tetap menyenangkan saat diajak bercanda. Yebin memiliki kesan yang positif terhadap Hun.
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam ketika semua kudapan yang tersaji di atas meja sofa itu lalap. Tiba-tiba ponsel Yul di atas meja bergetar. Ada panggilan masuk dari nomor yang dinamainya Haeri.
Yebin sempat melihat layar ponsel Yul sebelum pria itu mengangkat telepon. Mendapati yang meneleponnya itu adalah Haeri, Yul segera beranjak dari duduk. Pria itu menaiki tangga lantai dua untuk berbincang dengan Haeri melalui telepon.
Secara otomatis napas Yebin berembus panjang. Pandangannya ikut naik ke lantai dua mengikuti Yul yang baru tenggelam ke sebuah ruangan. Begitu laki-laki yang membuatnya menghela napas itu menghilang dari pandangan, Yebin mengerlingkan kepala ke arah meja. Mengambil satu kaleng minuman soda yang masih utuh.
“Apa tidak ada bir?” tanya Yebin yang tiba-tiba ingin meminum alkohol.
Hun mengerutkan kening. “Kau ingin minum bir?”
Kepala Yebin mengangguk pelan. “Tiba-tiba aku ingin minum alkohol.”
Selesai melontarkan jawaban pasrahnya, Yebin membuka kaleng soda. Tidak ada bir soda pun jadi. Yebin yang sebenarnya menginginkan alkohol untuk menghilangkan kebingungannya, meneguk soda yang hanya bisa meredakan rasa haus.
Ketika Yebin baru menelan dua tegukan soda, Yul berjalan menuruni tangga. Tetapi pakaian pria itu sudah berubah. Ia memakai coat panjang musim dingin dan syal hitam yang melingkari leher. Di genggamannya ada kunci mobil yang hendak digunakannya untuk keluar.
“Mau pergi ke mana, Hyeong?” tanya Hun spontan melihat kakaknya yang bersiap pergi di waktu yang hampir menunjukkan tengah malam ini.
“Aku mau keluar sebentar, bertemu Haeri. Jangan lupa tutup semua pintunya nanti.”
Pria itu bahkan menjawab tanpa menoleh, seolah Hun dan Yebin yang duduk di atas sofa itu tidak terlihat. Yebin yang membatin seketika itu melengoskan pandangan dari Yul. Ia tak mau tahu lagi apa yang pria itu hendak lakukan malam-malam begini dengan bertemu dengan Haeri.
Dalam sekejap Yul telah keluar dari rumah. Melesat menuju distrik Dongjak untuk bertemu Haeri di kantornya. Wanita itu bekerja sebagai pengacara di sebuah firma hukum terkenal Seoul yang terletak di distrik Dongjak.
Lidah Yebin tiba-tiba tidak nafsu meminum soda. Ia benar-benar membutuhkan alkohol. Jika tidak meminum alkohol mungkin ia tidak akan bisa tidur malam ini karena terus memikirkan Yul yang bertemu Haeri di waktu yang sudah sangat malam. Setidaknya, jika ingin bertemu Haeri malam-malam begini, bisakah Yul melakukannya diam-diam? Tanpa membuat Yebin mengerti dan merasa hatinya teriris seperti ini.
Napas Yebin terhela panjang sementara tangannya terulur ke atas meja untuk meletakkan kaleng soda. Merasa dadanya benar-benar sesak, Yebin menatap memelas ke arah Hun yang duduk di seberang.
“Hun Oppa, apa kau tidak ingin mengajakku keluar untuk minum?” Yebin bertanya seperti sedang memohon. Tatapannya memelas sembari menatap Hun penuh harap.
Hun yang merasa mengerti kenapa Yebin mengatakan hal itu, memberi tanggapan dengan santai. “Kau ingin pergi ke hiburan malam?” tanyanya ragu. Sebenarnya ia pun tak terbiasa dengan tempat seperti hiburan malam. Tetapi tidak ada salahnya pergi ke tempat itu untuk menghibur hati Yebin yang tiba-tiba memendung.
Yebin sontak menggeleng. “Aku punya trauma dengan klub malam. Aku lebih senang datang ke tempat yang membiarkanku meminum alkohol dengan tenang.”
Beberapa waktu pria itu terdiam. Ia mencerna permintaan Yebin. Dan teringat suatu tempat yang seperti dimaksud Yebin.
“Aku tahu tempat seperti itu. Kau mau pergi denganku?”
***
Lagu klasik dengan nuansa xylophone mengisi seluruh ruanganan. Gelombang suaranya yang indah dan bermelody menyentuh telinga Yebin yang baru melangkah masuk. Wanita berambut hitam lurus itu berjalan ragu di sebelah Hun yang membawanya ke sebuah tempat di mana ia bisa meminum alkohol dengan tenang, sesuai permintaannya.
Hun baru dua hari tiba di Korea. Dan ia tidak tahu banyak tempat di Seoul yang setiap tahun berkembang dan semakin banyak bangunan-bangunan megah. Pun ia merasa ragu apakah Yebin akan menyukai tempat bernuansa kontemporer ini. Tempat inilah yang dinamakan Bar Vintage. Bar yang sering didatangi Yul. Yul sering datang ke tempat ini untuk bertemu dengan teman-teman bisnisnya dan juga teman kuliahnya. Hun yang satu tahun sekali pulang ke Korea selama liburan musim panas, selalu diajak Yul ke bar yang terletak di Apgujeong-dong ini untuk minum berdua.
“Ini rupanya yang dinamakan Bar Vintage. Aku sering melihat iklannya di internet. Dan ternyata tempatnya memang bagus,” kata Yebin yang diarahkan oleh Hun duduk di tempat pojok dekat pohon draceana.
Yebin mendudukkan tubuhnya ke atas kursi kayu bar yang berwarna coklat tua. Di hadapannya terdapat meja furnitur bundar yang tampak elegan dengan desain kontemporer. Hun duduk berseberangan meja dengan Yebin. Mereka berhadap-hadapan.
“Ini pertama kalinya kau datang?” tanya Hun yang sedang melambaikan tangannya kepada seorang pelayan.
“Kalau tidak karenamu, mungkin aku tidak akan pernah kemari. Kudengar tempat ini sangat mahal. Mahasiswa sepertiku mana sanggup membeli minuman di sini? Kalau pun terpaksa, mungkin aku harus menyisihkan uang sakuku selama satu bulan untuk meminum satu gelas coktail.” Yebin bercerita panjang lebar. Membuat Hun terkekeh-kekeh. Perkataan Yebin yang terdengar seperti candaan itu sebenarnya masuk akal.
Tepat setelah itu seorang pelayan bar datang. Ia mencatat pesanan Hun dan Yebin. Lalu pergi menyiapkan pesanan dua orang pelanggan itu.
Sedari tadi Yebin penasaran satu hal tentang Hun. Kesan pertama Yebin ketika melihat Hun adalah ‘pria itu pasti sangat pintar’. Membuatnya memiliki rasa penasaran yang tinggi tentang Hun. Selama ini ia hanya beberapa kali mendengar Yul bercerita tentang adiknya yang tinggal di Amerika. Dan cerita itu menurut Yebin tidak begitu mendetail. Saat Yul bercerita singkat Yebin merasa tak begitu penasaran. Namun setelah melihat langsung sosok Hun, tiba-tiba saja Yebin memiliki rasa penasaran yang tinggi terhadapnya.
“Oppa, apa pekerjaanmu? Kau terlihat bukan seperti pebisnis atau pun seniman seperti Yul Oppa.” Yebin pun bertanya setelah menatap wajah Hun cukup lama.
Senyum tipis yang terasa hangat tersungging di bibir Hun. Pria itu menaikkan kacamatanya untuk memberi tanggapan.
“Kau belum mendengarnya dari kakakku?”
Otomatis Yebin menggeleng. Ia mendesah panjang karena tak mendengar banyak hal dari Yul.
“Yul Oppa orangnya memang supel dan ramah. Tapi dia tidak pernah menceritakan banyak hal tentang keluarganya, baik orang tua maupun adiknya. Kecuali jika aku memang bertanya, pasti dia akan jawab. Sayangnya aku sering merasa ragu untuk bertanya. Aku takut pertanyaanku itu bisa membuatnya semakin kesepian. Mengingat dia yang tinggal sendirian saat itu.” Yebin menjelaskan.
Hun yang mengerti, menganggukkan kepala. Yul itu orangnya memang ramah dan sikapnya bersahabat. Tetapi dia tidak pernah mau menceritakan tentang dirinya dan keluarga kecuali orang yang mau tahu itu bersedia menanyakan keadaannya. Bukan karena alasan lain. Hanya saja Yul merasa tidak semua orang mau mendengarkan ceritanya. Kalau orang tersebut mau bertanya, otomatis ia bersedia mendengar cerita Yul. Itu yang kemudian menjadikan Hun, yang sebenarnya pendiam dan tak banyak bicara, memiliki keramahan dan rasa peduli yang tinggi pada orang lain. Hun tidak pernah tahu bagaimana keadaan kakaknya kecuali ia mau bertanya. Sedangkan Yul adalah satu-satunya keluarga yang tersisa untuk Hun. Mau tidak mau Hun harus banyak bertanya dan lebih memperhatikan kakaknya.
“Aku bekerja sebagai hakim. Mulai Senin depan aku bekerja di Pengadilan Pusat Seoul.” Setelah mencerna jawaban Yebin, Hun menjawab. Itu membuat Yebin ternganga.
Bola mata Yebin terbelalak. Ia menutupi mulutnya yang ternganga menggunakan kedua tangan. Jadi, laki-laki yang terlihat pintar itu seorang hakim muda? Sama sekali Yebin tidak pernah membayangkan hal tersebut.
“Hakim? Oppa itu seorang hakim? Hakim seperti Yeon Woojin di drama televisi itu?” Yebin memekik tak percaya. Ia memikirkan aktor Yeon Woojin yang berperan sebagai hakim dalam sebuah drama dan menggumam-gumam, “Gawat. Bagaimana aku bisa mengajak seorang hakim untuk minum bersama di bar?”
Tiba-tiba saja Yebin merasa melakukan kesalahan. Tidak peduli jika dirinya memang suntuk memikirkan Yul, mengajak seorang hakim untuk minum bersamanya tidaklah benar. Niat Yebin ingin minum alkohol sampai mabuk karena besok tak ada jadwal kuliah. Namun sepertinya niat itu harus segera Yebin musnahkan. Kalau ia sampai mabuk dan berbuat kesalahan, itu bisa jadi masalah.
Melihat wanita itu memasang raut wajah canggung membuat Hun terkekeh-kekeh. Pada saat bersamanaan pesananan minuman Hun sudah datang. Hun mengulurkan gelas wine kepada Yebin. Menuangkan minuman anggur ke dalam gelas kaca wanita itu sambil berujar, “Jangan berlebihan. Sampai aku bekerja nanti aku belum menjadi hakim. Jadi minumlah sepuasmu.”
Yebin menatap Hun kikuk sambil menerima gelasnya. “Kau bersungguh-sungguh? Aku benar-benar ingin minum banyak malam ini. Jangan salahkan aku kalau nanti mabuk.”
Hun memberi jawaban meyakinkan dengan anggukan kepala. Lesung pipit yang dalam di pipi kirinya membuat Yebin memercayai anggukan kepala itu. Yebin yang menginginkan alkohol pun segera meneguk minumannya. Keningnya mengernyit merasakan aroma wine yang sangat mencekat di leher.
“Oppa, apa kau tahu wanita bernama Jin Haeri?” Yebin lanjut bertanya setelah meneguk wine-nya.
“Kak Kak Haeri? Tentu aku mengenalnya.”
Yebin mengisi kembali gelasnya. Lalu mengambil satu potong keju di atas piring dan melahapnya.
“Wanita itu dengan Yul Oppa, tidak hanya berteman kan?”
Sejenak Hun terdiam. Laki-laki yang pandai membaca situasi itu mengangguk-angguk misterius.
“Mereka memang berteman. Kakakku dengan Kak Haeri berteman sejak SMA. Dan keluarga kami juga dekat.” Hun bercerita singkat. “Tapi, Kak Haeri itu sebenarnya cinta pertama kakakku. Tidak banyak orang yang tahu karena mereka berteman sangat dekat seperti saudara. Kakakkku menyukai Kak Haeri dalam waktu lama. Dan seperti laki-laki bodoh, kakakku menjadi anti peluru untuk wanita itu yang berkencan selama sepuluh tahun dengan laki-laki lain.”
Dari awal Yebin sudah menduga hal ini. Ia curiga kalau hubungan Yul dengan Haeri itu sangat mencurigakan untuk dikatakan sekadar teman. Dan itu semua sudah terbukti sekarang. Hun membuktikan kacurigaan Yebin yang tidak meleset.
“Dasar laki-laki bodoh.” Yebin menggumam kemudian meneguk kembali setengah gelas wine.
“Tapi itu sudah lama sekali. Kalau sekarang sepertinya mereka benar-benar berteman.” Beberapa waktu kemudian Hun mengimbuhkan. Kisah cinta Yul yang bertepuk sebelah tangan itu terjadi saat Yul masih SMA. Sudah puluhan tahun berlalu. Hun tidak berpikir kalau perasaan Yul tidak berubah sampai sekarang.
“Mana ada pertemanan antara laki-laki dan perempuan? Sampai bumi ini terbelah menjadi dua aku tidak percaya.” Yebin yang terlanjur sakit hati merutuk-rutuk.
Sudah. Yebin tidak ingin memikirkan laki-laki itu lagi. Ia mengajak Hun ke tempat ini untuk meminum alkohol supaya ia bisa meredakan kegelisahan hatinya tentang Yul. Dengan membicarakan pria itu terus menerus, kepedihan hati Yebin akan berlipat-lipat. Jika itu sampai terjadi, minum sampai mabuk tidak akan selesai. Yebin akan semakin sulit menghilangkan kepedihan dalam hatinya itu.
Kedua manusia yang ada di dalam bar itu melanjutkan kegiatan minumnya sembari bercakap-cakap. Mereka membicarakan banyak hal mulai dari pekerjaan hakim Hun sampai bercerita tentang olah raga sky yang sebentar lagi akan ramai. Menghabiskan banyak waktu di bar sampai menghabiskan wine yang dipesannya. Perlahan-lahan Yebin larut dalam cerita yang lelaki itu lontarkan. Ia mulai melupakan apa yang terjadi pada Yul dan wanita bernama Haeri yang membuatnya merasa tidak nyaman itu. Yebin menikmati waktunya bersama Hun di bar. Dan memperbincangkan banyak hal yang ternyata keduanya merasa memiliki kecocokan. Hingga waktu berjalan semakin larut. Tubuh Yebin mulai melemas karena mabuk. Sementara itu, Hun yang tidak meminum sedikit pun alkohol karena harus mengemudikan mobil, masih sadar seratus persen. Pria itu membopong tubuh Yebin yang sudah dikuasai alkohol masuk ke dalam mobil. Lalu melaju pulang di waktu yang menunjukkan pukul setengah tiga dini hari.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 187 Episodes
Comments
Mila Karmila
yebin sm hun aja thor...lebih nyambung
2023-03-31
0
Nanik
sama hun juga boleh yebin
2019-09-05
2