Sabrina memeluk lututnya sambil menangis, mencengkeram erat selimut yang menutupi tubuh polosnya. Harga diri yang selama ini ia jaga rapat, hancur dalam sekejap. Ia merasa seperti sampah tak bernilai, menangis tanpa suara. Kejadian semalam masih jelas di ingatannya—mahkota berharganya direbut secara paksa.
Rambut panjangnya yang biasanya dikuncir rapi kini berantakan. Sambil terisak, ia memunguti pakaian yang berserakan di lantai, mengenakan bajunya yang sudah robek. Langkah kakinya berat, menahan sakit, menahan luka, menuju pintu keluar. Ia menoleh ke belakang, menatap pria yang sudah menghancurkannya, masih tertidur lelap.
Dengan tangan gemetar, ia membuka gagang pintu dan keluar dari kamar itu. Udara pagi menyambutnya dingin. Ia berdiri di teras depan, bersandar pada tiang besar sambil mencoba bernapas meski dadanya terasa sesak. Detik berikutnya, deru mobil menghentikan lamunannya.
Mobil sedan hitam berhenti tepat di hadapannya.
“Sabrina!” suara seorang wanita berusia paruh baya langsung menyentuhnya, menghampiri dengan langkah panik. Eis, bibi yang selama ini merawatnya, memeluknya erat.
"Bibi... aku takut," lirihnya dalam tangis yang kembali pecah.
"Tenang, Bibi di sini," jawab Eis lembut sambil menghapus air mata keponakannya. Namun hatinya bergemuruh—ia tahu sesuatu yang buruk telah terjadi.
"Ini pasti gara-gara anak sontoloyo itu!" suara berat seorang pria menggeram. Tanto Wijaya, langsung naik ke kamar putranya, Alex.
Melihat putranya masih tertidur nyenyak, amarah Tanto meledak. Ia mengguyurkan air dingin dari ember ke tubuh anaknya.
"Arkh!" Alex terbangun, linglung, kepalanya berat. “Apa-apaan sih, Pi?”
“Pakai baju! Sekarang!” bentak Tanto, lalu membanting pintu dengan keras.
Di ruang tamu, semua berkumpul. Sabrina, ditemani Eis, berdiri dengan kepala tertunduk. Alex menatapnya. Deg. Ada sesuatu dalam ingatannya—kabur, tapi nyata. Kilatan kejadian semalam mulai muncul di kepalanya.
"Apa yang aku lakukan ke dia...?" gumam Alex, mencoba mengelak, matanya mencari perlindungan dari maminya.
Namun, Tiwi justru memukuli putranya dengan bantal. “Kurang ajar! Anak nggak tahu malu!”
Alex mengaduh. “Mi, ampun…”
“Kamu harus tanggung jawab!” bentak Tanto.
"Apa?!"
Alex berdiri mematung. Wajahnya memucat. Tapi sebelum ia bisa protes, Sabrina melangkah maju. Suaranya bergetar, tapi tegas.
"Dia sudah menodai aku," seru Sabrina lantang, suaranya bergetar oleh luka yang mendalam.
Wajah gadis itu basah oleh air mata, hancur dalam diam, tubuhnya gemetar menahan pilu.
Eis, Tiwi, dan Tanto terpaku, syok mendengar pengakuan itu. Tatapan mereka menusuk tajam ke arah Alex, yang hanya berdiri membeku dengan ekspresi tak bersalah.
"Apa itu benar, Alex?" tanya Tiwi, mencoba menahan gejolak amarahnya.
"Serius, Mami percaya omongan si cupu ini? Dia cuma ngarang!" sanggah Alex, nada suaranya tinggi, mencoba menyelamatkan diri.
Namun sebelum ia sempat berkata lebih jauh, sebuah tamparan keras mendarat di pipinya, menghentikan kebohongan yang nyaris lolos dari bibirnya.
“Cukup! Mami tak mau dengar penjelasanmu lagi.”
“Mi, aku ini putramu. Kenapa malah membela dia? Si cupu yang bahkan—”
“Alex!”
Tanto membentak, tak ragu mengayunkan tangan ke arah putranya. Tamparan keras menyayat harga diri Alex, namun yang lebih menyakitkan adalah tak ada satu pun yang berpihak padanya.
“Pokoknya, kamu harus menikahi Sabrina! Kalau tidak, lupakan semua kemewahan yang selama ini kamu nikmati,” ancam sang ayah, suaranya dingin dan tegas, membuat bulu kuduk Alex berdiri.
Pada akhirnya, Alex tak punya pilihan selain menyerah pada kehendak orang tuanya. Ia setuju menikahi Sabrina.
Tapi jangan kira ini akhir dari segalanya—karena mulai saat itu, hidup Sabrina akan berubah lebih menyakitkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Surati
mampir dulu sambil ngopi. Semangat
2022-11-11
0
Rhiedha Nasrowi
berani berbuat harus berani bertanggung jawab
2022-05-05
0
SᗩᖴI᙭ ᙅᗩᑎᗪᖇᗩ
Alex mau enak nya doank😁😁
2022-03-15
0