"Aku tidak mau menikah dengan pria itu, Bi. Dia sangat menakutkan, aku takut. Pria itu sudah menghancurkan masa depanku." Sabrina duduk lemas dilantai kamar meremas lututnya sendiri.
Eis berjongkok mengimbangi Sabrina. "Bibi tahu ini sangat sulit untukmu, tapi jika kamu tidak menikah dengan pria yang sudah menodaimu. Siapa yang mau menikahimu, nanti? Bibi nggak mau kamu dicela orang."
Sabrina menangis sejadi-jadinya, tak menyangka nasibnya akan seburuk ini. Ia memukuli lututnya. Eis yang melihat itu segera memeluk Sabrina memberinya ketenangan kalau semua akan baik-baik saja.
"Kenapa semua ini terjadi padaku, Bi. Apa salahku, selama ini aku sudah berusaha menjadi anak baik. Aku tak malu bekerja menjadi pembantu untuk meraih cita-citaku menjadi seorang bidan."
"Bibi tahu kesedihanmu, Sayang. Kamu jangan menangis lagi." Eis tak kuasa menahan air matanya, tak menyangka nasib ponakannya sangat tidak beruntung.
Suara ketukan pintu menghentikan kesedihan yang sedang dilalui keduanya. Eis segera menjawab, ya sebentar. Setelah itu ia segera membuka pintu kamarnya.
"Nyonya," sapa Eis, mempersilahkannya masuk.
Tiwi melihat keadaan Sabrina benar-benar hancur. Tak ada semangat hidup dari raut wajahnya, hampa. Pandangannya kosong tak tentu arah. Tanpa ragu Tiwi memeluknya, mengelus kepalanya dengan penuh sayang.
"Ibu! Ibu." Sabrina menangis dalam dekapan Tiwi, menyebut nama ibunya yang sudah tiada.
Tiwi ikut menangis, gadis ceria yang dalam dua bulan ini mengisi hari-harinya. Semenjak pertama bertemu Sabrina, Tiwi sudah menyukainya. Kepolosan dan kejujurannya sudah mencuri hati Tiwi. Namun kini, senyuman manis yang selalu terukir di bibir Sabrina sirna karena perbuatan putranya sendiri, kejadian itu tak akan mudah hilang akan melekat dalam ingatan dan membatin dalam jiwa.
"Menangislah, Sayang. Agar hatimu jauh lebih tenang," ucap Tiwi tak lepas memeluk Sabrina. "Mami janji, Alex akan memperlakukanmu dengan baik." Tiwi menangkup wajah Sabrina yang masih terisak, setelah itu membangunkan gadis itu agar tidak duduk dilantai.
"Mulai sekarang, kamu dan Bi Eis jangan tidur di kamar belakang lagi. Mami sudah siapin kamar untukmu."
Sabrina menggeleng, ia tak mau pindah kamar. Apalagi harus sering bertemu dengan pria jahat itu.
Tiwi menggenggam tangan gadis yang kini mulai tenang dari tangisnya, meyakinkannya kalau si bule arab itu tak akan berani mengganggunya.
Sabrina menoleh pada Eis yang sedari tadi berdiri samping Tiwi. Ia pun meyakinkan Sabrina kalau semuanya akan baik-baik saja. Sabrina akhirnya setuju, mengemas pakaian dibantu Eis dan pindah ke kamar utama yang sudah Tiwi siapkan untuknya.
"Sekarang ini menjadi kamarmu," ucap Tiwi.
Eis begitu terpukau dengan keindahan kamar baru Sabrina. Menilik satu persatu hiasan yang menempel didinding. Tiwi menyuruh Sabrina menyimpan pakaiannya di lemari dibantu Eis.
"Naik pangkat," ledek Alex pada Sabrina, ia berdiri depan pintu kamar yang terbuka.
Tiwi yang mendengar itu menegur Alex dan melototin putranya.
Setelah mendapat teguran. Alex menuju meja makan, perutnya terasa lapar usai berolah raga tadi.
"Ayo makan dulu, kamu pasti lapar." Tiwi mengajak Sabrina makan di meja makan. Tanto pun ikut memberi perhatian, kasihan melihat Sabrina yang ketakutan saat berada dekat Alex.
Sedangkan Alex merasa marah melihat perhatian orang tuanya pada gadis cupu yang sudah menghancurkan mimpinya itu.
***
Sore harinya Alex memaksa membawa Sabrina keluar tanpa sepengetahuan Tiwi dan Tanto. Sepanjang perjalanan Sabrina hanya menangis karena panik, mencoba melawan pun tak berani. Alex terlihat sangat menakutkan.
"Bisa berhenti nggak nangisnya?" Alex menghentikan mobilnya mendadak ditengah jalan, membuatnya kena tegur dari pengendara lain.
Sabrina mengangguk, menahan tangisnya. Alex segera melajukan mobilnya kembali. Satu jam kemudian mobil Alex berhenti di sebuah apartemen mewah, ia melirik Sabrina yang terus menunduk dan terlihat ingin menangis kembali.
"Jangan sakiti aku lagi," ucap Sabrina gemetar. Air matanya kembali jatuh membasahi pipi.
"Cengeng banget sih kamu, pusing kepalaku jadinya. Ayo turun," titah Alex membuka pintu mobil.
Sabrina diam saja, ia benar-benar takut. Apa yang akan terjadi padanya lagi? Apalagi ia dibawa ke sebuah apartemen.
"Malah bengong nih bocil, turun nggak!" gertak Alex, Sabrina pun segera turun dari mobil.
Sesampainya di pintu apartemen. Alex menarik tangan Sabrina agar gadis itu masuk kedalam.
"Aku nggak mau, lepaskan."
"Mau membantah, hah! Kamu itu hanya seorang pembantu, nggak lebih. Jangan harap bisa naik pangkat setelah menikah denganku!" bentakan itu membuat hati Sabrina tersayat, sakit dengan hinaan yang bertubi didapatnya.
Pernikahan terhitung empat hari lagi, dengan sarat tak akan ada orang lain yang tahu akan pernikahan tersebut. Mau ditaruh dimana mukanya? Di closet, tak mungkin. Seorang anak dari keluarga ternama menikahi pembantunya sendiri, memalukan!
Bukan itu saja, peraturan pernikahan pun tertulis dalam sebuah map berwarna biru. Dilemparkannya map tersebut kepada Sabrina yang sedang duduk dilantai berkeramik warna putih itu.
"Baca dan patuhi!"
Alexsander Wijaya duduk manis dikursi sambil menyilangkan sebelah kaki. Tatapannnya tak lepas pada gadis di depannya, yang sesekali mengerutkan kening. Peraturan yang sedang dibacanya membuat kepala seketika pusing, sangat tak adil. Hanya pihak pertama saja yang pantas bahagia, sedangkan Sabrina bagai burung dalam sangkar.
"Huh." Sabrina mengusap keringat yang membasahi keningnya. Letih, membaca peraturan sang tuan rumah yang tak berujung.
"Dandatangani!" titah pria bertubuh atletis itu, sambil melemparkan pensil kearah Sabrina. Tanda bahwa sang gadis dengan senang hati menuruti semua keinginannya.
"Tapi, Pak." Mulut tertutup itu akhirnya bersuara.
"Ucapkan lagi!"
"Ini sangat tak adil untukku, Pak!"
"Bapak, kurangajar. Sejak kapan aku menikah dengan Ibumu, hah! Matamu buta." geram Alexsander mencengkram dagu sang gadis.
"Panggil nama saya," titahnya dengan mata melotot.
"Saya lupa nama, Bapak!"
Alexsander mengerang keras, bagaimana bisa ia menikahi gadis bodoh seperti itu. Sudah menjadi hal biasa bagi seorang Alex bermain dengan wanita yang disenanginya. Dan kali ini ... apes sekali hidupnya ketahuan kedua orang tuanya meniduri seorang pembantu, itu juga karena sedang mabuk.
Kalau bukan karna ancaman dikeluarkan dari daptar hak waris keluarga, ia akan memilih pergi dan menikahi wanita yang menjadi ratu hatinya selama ini.
"Kalau kamu lupa siapa namaku, seharusnya kamu juga lupa sama kejadian malam itu. Bukan malah minta pertanggung jawaban, bodoh!"
"Aku juga mempunyai hak hidup, Bapak sudah merusak hidup saya. Menghancurkan mimpi saya dan sekarang, Bapak berkata dengan entengnya merasa paling dirugikan."
Alex berdiri dari duduknya, setelah itu berjongkok mengimbangi Sabrina yang duduk dilantai. Mencengkeram pundak gadis itu dengan kasar.
"Aku akan membuatmu mengingat namaku seumur hidupmu, dan akan selalu terngiang ditelinga menyelusup kebagian terdalam di hatimu." Alex menatap tajam Sabrina.
"Lepaskan!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Surati
enak aja suruh lupain ntar tak benyek2 baru tahu rasa😬😬
2022-11-12
0
SᗩᖴI᙭ ᙅᗩᑎᗪᖇᗩ
sabar ya sabrina
2022-03-15
0
Barti Lila
bagus ceritanya
2022-01-19
0