Sudah seminggu sejak kejadian itu, Canna dan Delano tidak saling menyapa. Bahkan Canna cenderung menghindarinya. Apalagi saat sarapan, ia membiarkan Delano terlebih dahulu sarapan hingga berangkat ke kantor.
Sedangkan malam harinya, Delano selalu tidur seranjang dengannya tanpa sepengetahuan Canna. Lelaki itu akan bangun pagi-pagi sekali sebelum Canna membuka matanya. Bahkan ia berpindah kamar secara diam-diam.
Hari ini Canna sedang berada di ruang dapur, menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri. Makanan Delano sudah ada koki yang memasakkan untuknya. Ia masih ingat dengan ucapan Derris padanya, Delano tidak akan memakan masakannya yang tidak ada bandingannya dengan masakan koki di rumah ini.
Ia pikir Delano akan pulang saat malam seperti biasanya. Tetapi tidak disangka Delano sudah duduk di meja pantry dibelakangnya. Menatap Canna intens tanpa sepengetahuan Canna.
Sedangkan pelayan lainnya sudah pergi meninggalkan dapur, memberikan privasi untuk Canna dan Delano berbaikan. Mereka tahu kalau Delano dan Canna sedang terjadi perang dingin.
"Bukankah sudah aku katakan agar kamu jangan ke dapur!"
Delano membuka suaranya, membuat sutil yang di pegang oleh Canna terlempar ke belakang dan tepat berada di kaki Delano.
"Kamu. Kenapa mengagetkanku?" Canna berbalik dan menatap Delano kesal.
"Aku tidak mengagetkanmu. Aku berbicara seperti biasa. Hanya kamunya saja yang kebanyakan melamun saat bekerja," sahut Delano, kembali menambah kekesalan pada diri Canna.
Canna hanya menatap sutil yang berada di dekat kaki Delano sekilas tanpa mau mengambilnya. Ia kembali berbalik dan mematikan kompor yang masih menyala.
"Aku ingin tidur denganmu!" bisik Delano tepat di telinga Canna. Tangannya terulur memeluk pinggang Canna. Membuat Canna memberontak, menolak sentuhan lelaki dingin itu padanya.
"Bukankah kamu sudah berjanji untuk tidak mengajakku tidur dan tidak menyentuhku. Kamu sudah melanggar peraturan yang kita buat bersama!"
Delano tertawa mendengarnya. Bersandar pada meja pantry dengan tangan terlipat di dada.
"kamu begitu galak terhadapku. Apakah kamu tahu surat apa yang sudah kamu tandatangani kemarin?" Menatap remeh kearah Canna.
"Kamu menipuku!?" wajah Canna memerah menahan emosinya. Tidak menyangka kalau Delano menipunya. Menyesal ia menandatangani kertas kosong itu. Seharusnya ia meminta dulu perjanjian mereka dan membacanya, kemudian membubuhi tandatangan disitu.
"Dasar lelaki baj*ngan! Kurang ajar! Apa isi dari surat perjanjian itu?" maki Canna tepat di hadapan Delano, membuat lelaki itu mengatup rahangnya rapat.
"Rahasia!"
Canna semakin kesal dibuatnya, ia menghentak-hentakkan kakinya kemudian berlari meninggalkan Delano kearah kamarnya. Melewati anak tangga dan berpapasan dengan Key yang menuruni tangga. Tetapi ia tidak perduli pada Key yang menatapnya heran. Ia tetap melangkah menuju kearah kamarnya. Menutup pintu dan menguncinya rapat.
"Apa yang sudah kamu lakukan terhadapnya, sehingga ia begitu marah terhadapmu?" Key bersandar di pintu ruang pembatas antara dapur dan ruang makan dengan gaya santainya.
"Tumben berada di ruang dapur?" tanya Key lagi, menatap heran Delano.
"Itu bukan urusanmu!" Delano berdecih. Sambil berlalu kearah ruang santai. Key mengikuti langkahnya.
"Itu akan menjadi urusanku, karena dia sekarang adalah kakak iparku!" Key menghempaskan dirinya di kursi ruang santai.
"Lagi pula, apa yang sedang kamu lakukan di ruang dapur? Apakah menggoda pelayan lain?" ejek Key. "Sehingga kakak ipar marah padamu?"
Delano langsung menatap Key dengan tajam, bahkan giginya terdengar bergelatuk. Key hanya memutar bola matanya malas, lelaki ini sangat sulit diajak bercanda.
"Iya-iya. Tau. Jangan terlalu suka menggodanya, perempuan kalau marah susah untuk dijinakkan!" ucap Key santai.
"Berhentilah mengurusi urusanku. Urus sendiri urusanmu! Lagi pula, dia bukan binatang seperti perkataanku!" sahut Delano dingin.
"Kapan aku menyebutnya sebagai binatang?" Key menggerutu.
Delano berjalan meninggalkan Key menuju keatas ke kamarnya. Ia tidak ingin makan malam sebelum Canna makan terlebih dahulu. Wanita itu terlihat lebih kurusan di bandingkan sebelumnya.
"Suami istri sama saja, tidak jelas!" gerutu Key bergumam.
"Hati-hati! Kamu akan menyesal kalau mempermainkannya! Hati wanita bukan untuk permainan. Bagaimana kalau dia pergi meninggalkanmu? Aku akan sangat senang mendengar kabar ini!" teriak Key.
"Aku sudah jatuh cinta pada wanita itu, sehingga aku menahannya untuk tetap berada di sisiku! Dan aku tidak akan membiarkan dia pergi selangkah pun dari hidupku!" gumam Delano pada dirinya sendiri.
Langkahnya terhenti tepat didepan kamar yang di tempati oleh Canna. Menatap dengan ragu, tangannya terulur ingin mengetok pintu tersebut tetapi urung.
"Tuan, apakah ada yang bisa saya bantu!"
Kepala Pelayan menghampirinya, menunduk sekilas. Delano melirik kearahnya.
"Ambilkan duplikat kunci kamar ini!" perintah Delano.
Kepala Pelayan tersebut mengangguk. Delano masuk ke kamarnya.
"Ini kunci kamarnya, Tuan," Kepala Pelayan menyerahkan duplikat kunci kamar tersebut. "Apakah masih ada lagi yang Tuan perlukan?"
"Siapkan air hangat untukku mandi!"sahut Delano masih berdiri di balik tirai jendela.
Delano melepaskan seluruh pakaiannya. Pikirannya terus tertuju pada Canna yang berada di kamar sebelah. Entah apa yang di lakukannya sekarang. Apakah wanita itu sedang melamun ataukah sudah tidur.
"Airnya sudah siap, Tuan."
Delano mengangguk. "Bagaimana dengan Derris?"
"Tuan Derris masih berada di ruang kerja, sepertinya sebentar lagi pekerjaannya akan selesai," sahut Oryza.
Delano segera masuk ke kamar mandi mewahnya. Melakukan ritual untuk membersihkan seluruh tubuhnya.
Selesai mandi, Delano langsung mengerjakan beberapa pekerjaannya bersama Derris.
Oryza kembali datang padanya.
"Apakah Canna sudah makan malam?" tanya Delano tanpa menatap lawan bicaranya.
"Sudah, Tuan. Fiore mengantarkan makan malam untuknya ke kamar. Sebaiknya Tuan segera makan ke ruang bawah."
Delano mengangguk dan segera makan malam bersama dengan Key. Setelahnya, ia kembali melanjutkan pekerjaannya hingga waktu tidak terasa sudah menunjukkan hampir tengah malam. Ia menutup laptop miliknya. Mengambil kunci duplikat kamar yang ditempati oleh Canna.
Delano terpaku menatap Canna yang tertidur dengan selimut membalut separuh badannya. Wanita itu begitu cantik di matanya, bahkan saat tertidur sekalipun. Dengan bulu mata hitam lentik. Bibir tipis merah mudanya. Hidung mancung dan mungil, ditambah dengan alisnya yang tebal tetapi tertata rapi.
Dengan perlahan ia naik keatas ranjang dan memeluk Canna dari arah belakang. Tidak ada pergerakan sama sekali dari wanita itu. Tidurnya sangat nyenyak sekali. Membuat Delano semakin mempererat pelukannya dan ikut memejamkan matanya.
Pagi harinya Canna membuka matanya terlebih dahulu. Merasakan beban berat yang menimpa pinggangnya. Ia merabanya dan berusaha untuk menyingkirkannya tetapi tidak bisa karena terlalu berat.
"Apa ini?" Canna mengangkat tangan Delano ke atas. Matanya terbelalak melihat tangan tersebut. Melemparnya kearah belakang. Dengan cepat ia berbalik sambil meraih selimut dan menutupi dirinya hingga sebatas dada, Delano masih memejamkan matanya.
"Lelaki ini, sudah berani naik ke atas ranjangku. benar-benar!" Canna sangat kesal padanya. Ia mengumpati Delano di dalam hatinya.
"Rasanya rumah ini benar-benar sudah tidak aman lagi untukku. Dia selalu datang ke kamarku dengan diam-diam, padahal kamar yang kutempati sudah kukunci dengan benar," gumamnya sambil melangkah ke kamar mandi. Meninggalkan Delano yang benar-benar bangun kesiangan kali ini.
Canna bergegas turun ke ruang dapur untuk membantu para pelayan menyiapkan makanan, setidaknya ia menyiapkan untuk dirinya sendiri tanpa merepotkan orang lain.
"Nona. Apa yang Anda lakukan di ruang dapur?" Oryza, Kepala Pelayan menatapnya dengan seksama.
"Aku hanya ingin melakukan sesuatu!" sahut Canna acuh.
"Tetapi Nona, di dapur sudah ada para koki yang bisa memasak segalanya," tolak Oryza. Ia tidak ingin dimarahi oleh Delano karena sifat Canna yang pembangkang dan sulit diatur.
Canna menatapnya sekilas. Selalu berbicara seperti itu setiap kali ia pergi ke ruang dapur.
"Aku ingin memasak makanan untukku sendiri. Aku tidak suka makanan yang terlalu istimewa."
Canna kembali meneruskan kegiatannya, mengiris beberapa bawang dan sayuran serta mengiris sosis. Ia ingin memasak sesuatu, makanan yang berat di pagi hari.
"Nona tidak perlu melakukannya, tinggal katakan saja pada koki makanan apa yang Nona inginkan, maka para koki akan memasakkannya untukmu."
Canna menghentikan kegiatannya mentap kesal kearah Oryza. Dia terlalu banyak mengatasi kegiatan Canna tetapi sudah sewajarnya karena ia adalah kepala pelayan. Canna kembali melanjutkan kegiatannya tanpa menjawab ucapan kepala pelayan tersebut. Memotong lebih cepat dari sebelumnya.
"Nona, mengertilah. Kalau Tuan tahu maka Tuan akan marah."
Canna kembali menghentikan kegiatannya, menatap jengah kearah kepala pelayan tersebut.
"Aku bukan siapa-siapa disini. Aku hanyalah orang asing. Jadi, anggap saja aku sebagai pelayan juga di rumah ini. Bukan begitu, Tuan Oryza?"
Oryza menunduk mendengarnya, ia tidak berani mengucapkan kalau Canna adalah nyonya di rumah ini. Tidak ingin membantah larangan dari Delano untuk mengatakan yang sebenarnya mengenai keadaannya.
"Ada apa ini? Kenapa ribut sekali pagi-pagi begini?"
Delano menatap satu persatu pelayan yang ada disana. Mereka menunduk dan ketakutan. Ini adalah kali kedua Delano memasuki dapur setelah tadi malam.
Biasanya Delano tidak pernah memasuki ruang dapur. Baginya dapur adalah bagian yang paling tidak ingin di masuki olehnya. tetapi hari ini semuanya menjadi berbeda. Mungkin penyebab utamanya adalah keberadaan Canna di ruang dapur.
"Wah! Pagi-pagi sudah sibuk di dapur rupanya? Apakah kamu sedang berperan menjadi seorang istri yang baik?"
Delano menghampiri Canna yang tidak menggubrisnya bahkan sejak kedatangannya tadi. Canna sengaja memotong sayurannya dengan lebih bertenaga, bahkan ia sengaja memotong terong dihadapan Delano. Membuat Delano bergidik ngeri membayangkan miliknya yang mengalami semua itu.
"Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu memotongnya dengan kasar!?"
Canna menatap kearah Delano mengernyitkan dahinya, kembali menatap terong yang sudah terpotong menjadi dua.
"Aku sedang memotong terong, memangnya ada masalah?"
Delano menggeleng samar, melirik kearah tangan Canna yang masih memegang pisau.
"Hati-hati. Nanti tanganmu terluka. Aku tidak ingin melihat jari itu berdarah."
Canna mendelik tajam kearahnya. Memasukkan sayuran tersebut kedalam wajan penggorengan. Mengaduknya hingga rata dan tercium aroma yang harum, kemudian memasukkan nasi putih kedalamnya.
"Aku tidak akan terluka. Aku sudah lihai memegang benda seperti ini. Bahkan aku juga sering memegang palu dan juga Kampak!" sahut Canna masih sibuk mengaduk nasi gorengnya. Sesekali tangannya bergerak mengambil bumbu dapur yang lainnya.
Delano hanya terdiam menatapnya. Ia tahu kehidupan Canna di luar sana sangatlah keras terlebih lagi ia tidak mempunyai orang tua sejak beberapa tahun yang lalu.
"Apa yang kamu buat, baunya harum sekali. Aku juga ingin mencicipinya." Delano melongok kesisi leher Canna. Begitu dekat dengan wajah Canna.
Seluruh pelayan yang ada di dapur tampak terkejut mendengarnya. Tidak biasanya Delano memakan makanan berat di pagi hari. Biasanya ia hanya memakan roti dengan isian di dalamnya.
"Menyingkirkan! Masakanmu sudah matang!" Canna bergeser kesamping untuk menghindari jarak mereka yang terlalu dekat.
Para pelayan segera menyingkir dari dapur saat Delano duduk di meja pantry. Mereka sengaja bekerja di dapur dengan jarak yang cukup jauh dari Delano dan Canna.
Sedangkan Canna terlihat sibuk mempersiapkan 2 buah piring. Ia segera mengangkatnya dan memasukkan nasi goreng tersebut kedalam 2 buah piring. Kembali menggoreng telor.
"Duduklah di meja makan. Aku akan menyiapkannya untukmu!"
Delano meraih sebuah piring miliknya dan membawanya sendiri kearah meja makan. Sesampainya di meja makan, kepala Pelayan kembali melongo di buatnya.
"Tuan. Kalau ada yang Tuan perlukan, katakan saja padaku!" Oryza sedikit menunduk padanya.
"Tidak perlu. Biarkan aku berdua dengan Canna," sahut Delano.
Oryza mengangguk dan segera menjauh dari ruang makan.
"Duduklah. Aku ingin makan bersamamu!" ucap Delano saat Canna menuangkan segelas air putih untuknya.
"Aku tidak bisa makan satu meja dengan pemilik rumah ini. Aku lebih layak makam bersama para pelayan di dapur," sahut Canna acuh.
"Terima kasih sudah menganggapku sebagai pelayan di rumah ini dan mau mencicipi masakanku, rasanya aku cukup berguna juga!" ucap Canna tulus.
Delano terdiam mendengarnya, matanya masih menatap Canna yang sudah berbalik dan ingin meninggalkannya.
"Tunggu!" Delano menghentikan langkah Canna. "Sebagai seorang pelayan yang baik, kamu harus menuruti kata-kataku. Aku ingin makan satu meja denganmu!"
Canna berbalik dan menatap Delano dingin.
"Sekali lagi, aku minta ma'af. Aku tidak bisa. Karena itu akan membuat para pelayan yang lainnya merasa di anak tirikan."
Delano menggeram menahan kesalnya, menghadapi wanita ini benar-benar perlu tenaga yang besar.
"Baiklah kalau itu maumu. Maka aku yang akan makan bersama para pelayan di ruang dapur!"
Canna terbelalak mendengarnya, melirik kearah Oryza yang menggeleng beberapa kali padanya. Kalau Delano makan bersama mereka, yang ada justru mereka tidak akan makan karena takut dengan Delano.
"Baiklah. Aku akan makan disini!" sahut Canna dengan setengah hati.
"Jangan duduk terlalu jauh dariku, kamu tidak bisa melakukan sesuatu untukku kalau kamu duduk di ujung sana!"
Canna tampak kesal padanya, Delano begitu cerewet pagi ini.
Canna mendekat kearahnya, menahan sabarnya. Rasanya pagi ini Delano benar-benar menguji kesabarannya. Laki-laki ini terlalu banyak maunya.
"Hmm. Ada drama keluarga di ruang makan!" Key duduk tepat di hadapan Canna. Meraih nasi goreng milik Delano. Menyuap kedalam mulutnya.
"Jangan makan nasi goreng itu!"
Key menghentikan kunyahannya, menatap kearah Delano dengan heran. Tidak biasanya Delano berbicara seperti itu saat sarapan ataupun makan malam.
"Kenapa? Apakah beracun?" tanya Key polos.
"Sembarangan! Itu milikku!" Delano ingin merebut kembali nasi goreng miliknya yang sudah diambil oleh Key. Tetapi Key sudah meraihnya dan menjauhkannya dari jangkauan Delano.
"Bukannya setiap pagi kamu selalu makan roti. Kenapa hari ini berbeda?" tanya Key.
"Aku bosan makan roti setiap hari. Dan hari ini pelayan baru kita memasakkan nasi goreng untukku. jadi, aku ingin mencicipi sendikit masakannya!" Delano melirik kearah Canna. Kembali menatap kesal kearah Key yang kembali memakan nasi goreng miliknya.
"Benarkah ini masakan kakak ipar? Rasanya sangat lezat!" Key menyuap rakus nasi goreng tersebut ke mulutnya. menatap kearah Delano yang menatapnya kesal.
Berbeda dengan Canna, ia merasa tidak nyaman dengan panggilan Key padanya. Tadinya ia sempat terkejut melihat perdebatan adik kakak yang memperebutkan seporsi nasi goreng, persis seperti anak kecil. Canna tersenyum samar menatap keduanya yang masih berdebat.
"Ma'af Tuan Key. Aku tidak punya adik perempuan. Jadi berhentilah memanggilku dengan sebutan kakak ipar."
Key langsung menghentikan perdebatannya dengan Delano.
"Bukankah kamu benar-benar kakak iparku. kalaupun kamu tidak menganggapku sebagai adik ipar, biar aku yang menganggap begitu." Key tampak acuh.
"Sudah kubilang kalau aku tidak punya adik perempuan. Lagian kamu tidak menikah dengan adikku. jadi, berhenti untuk memanggilku kakak ipar," sahut Canna keras.
Key terkekeh mendengarnya, wanita ini benar-benar lucu di matanya. Pantas Saja Delano langsung jatuh cinta padanya.
"Ini nasi goreng untukmu. Aku akan membuatnya lagi untukku!" Canna menyerahkan nasi goreng miliknya yang sama sekali belum di sentuh olehnya.
"Tidak perlu. Kita makan bersama saja," sahut Delano.
Canna ingin membuka mulutnya, menolak ucapan Delano. Tetapi tatapan Delano seolah mengancamnya.
"Suapi aku!" perintah Delano tak terbantahkan. Menatap Canna yang masih terdiam di depannya.
"Bukankah kamu ingin menjadi seorang pelayan yang patuh! Jadi, suapi aku!" ucap Delano sekali lagi.
Dengan terpaksa Canna mau melakukannya, meraih sendok dan menyuapi Delano dengan hati-hati. Ia merasa risih dengan tatapan Delano yang menatapnya dalam.
"Buka mulutmu. Aku tidak ingin melihat kamu meneteskan air liurmu hanya melihatku makan saja!"
Delano mendekatkan sendok kearah mulut Canna. Tetapi Canna menutup rapat mulutnya. Delano mendekatkan kepalanya kearah Canna.
"Kalau kamu tidak menurut padaku, kamu akan tahu bagaimana caraku membuatmu agar mau makan!" bisik Delano.
Canna membulatkan matanya mendengar ancaman Delano. Ia paham apa yang akan dilakukan Delano. Pasti lelaki ini akan menyuapinya dengan menggubakan mulutnya seperti tempo hari lalu.
Dengan terpaksa Canna membuka mulutnya, menerima setiap suapan yang di berikan oleh Delano.
"Rasanya tidak buruk." Delano berdiri setelah menyudahi makannya.
"Bawakan tas kerja milikku!" perintahnya pada Canna yang ingin membereskan meja makan.
"Baik, Tuan!" sahut Canna meraih tas kerja milik Delano dan mengikutinya hingga ke pintu utama. Menatap kepergian Delano bersama Derris dan juga sopir pribadinya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 137 Episodes
Comments
epifania rendo
pasti surat yang di tanda tangan buat urus surat nikah
2023-08-31
0
iL La
😂😂 ada ya bahasa sutil di novel
2021-11-15
0
Anonymous
👌👌
2021-05-21
0