Keesokan harinya, pagi-pagi Canna sudah berada di ruang dapur membantu para pelayan dan para koki untuk menyiapkan sarapan.
"Nona. Sebaiknya Anda duduk saja. Bagaimana kalau Tuan melihat semua ini dan marah. Maka habislah kami semua yang ada disini," ucap salah seorang Pelayan.
"Dia tidak akan memecat kalian. Percayalah padaku! Lagi pula aku bukan siapa-siapanya. Jadi, tidak ada haknya untuk marah pada kalian," sahut Canna tersenyum sambil meneruskan pekerjaannya.
Para pelayan hanya terdiam saat Derris berdiri diambang pintu dapur menatap tajam satu-persatu pelayan dan koki yang ada disana.
"Siapa yang menyuruhnya untuk bekerja di dapur?" tanya Derris tajam.
Seluruh pelayan dan koki menunduk takut.
"Tuan. Kami sudah melarang nona Canna, tetapi dia sangat keras kepala!" sahut salah seorang Pelayan.
"Ma'af Tuan, sebenarnya aku sendiri yang ingin bekerja di dapur!" sela Canna.
Ia tidak ingin mereka dimarahi hanya gara-gara keberadaannya di ruang dapur.
"Kamu. Tidak perlu melakukan apapun juga. Tuan tidak akan memakan masakan yang kamu buat. Karena masakan para koki jauh lebih berpengalaman rasanya dibandingkan masakanmu!"
Derris berbalik.
"Dan kamu ikuti aku, masih ada sesuatu yang harus kamu lakukan selain mengganggu pekerjaan mereka."
Canna mengangguk dan mengikutinya dari belakang.
"Masuklah. Tuan ingin bicara denganmu!"
Canna kembali mengangguk, meraih gagang pintu dan membukanya dengan ragu. Menatap Delano sedang duduk di sofa miliknya dengan membelakangi pintu. Pagi ini dia terlihat begitu bersinar seperti matahari pagi.
"Aku memanggilmu kemari bukan untuk menatapku seperti itu. Tetapi ada hal yang harus kamu lakukan!"
Canna terperanjat mendengarnya, ia menunduk setelah tersadar dari tatapannya.
"Dan darimana saja dirimu, kamu membuang-buang waktuku cukup banyak!"
Delano melemparkan sebuah kertas padanya.
"Tanda tangan disitu!" perintahnya dingin.
Canna mengernyit bingung menatap kertas kosong yang tidak berisi apapun didalamnya. Menatap Delano beberapa kali dengan tanda tanya.
"Tanda tangan sebagai pernyataan kalau dirimu akan menuruti semua perintahku tanpa terkecuali!"
Delano berdiri dan berjalan kearah ranjangnya. Meraih sebuah dasi miliknya membawanya kearah Canna.
"Tapi bagaimana dengan syarat yang aku ajukan?" tanya Canna.
Delano berbalik padanya. "Sudah aku pertimbangkan. Aku akan melihat situasinya terlebih dahulu. Kalau kamu yang menginginkannya lebih dulu maka aku tidak akan menolaknya!"
Canna tampak geram mendengarnya. Apakah lelaki ini pikir kalau dirinya begitu murahan sehingga meminta sesuatu yang sangat memalukan.
"Apakah kamu sudah selesai menandatanganinya?" Delano menatap kearah kertas yang sudah di tandatangani oleh Canna.
"Bagus. Aku akan mengisinya nanti. Kamu tenang saja, syarat yang kamu ajukan sudah aku pertimbangkan. Dan soal aku akan menyetujuinya atau tidak, kita lihat saja nanti."
Delano menyerahkan dasi berwarna merah maroon miliknya. Meminta Canna untuk memasangkannya.
Canna meraihnya dengan ragu. Berjinjit memasukkannya melalui kepala Delano. Menahan napasnya saat jarak mereka begitu dekat.
"Selesai," Canna menatap kearah Delano yang menatapnya intens, ia memundurkan dirinya dengan begitu cepat. Ia merasa sangat tidak nyaman berada sedekat itu dengan Delano.
"Kamu bau bawang!!" Delano mengernyitkan hidungnya. Mengibas beberapa kali.
Canna meneguk ludahnya kasar, meraba tengkuknya karena merasa salah tingkah dan malu.
"Bawakan tas kerja milikku!" tunjuk Delano dengan dagunya. "Dan layani aku di ruang makan!" perintah Delano meninggalkan Canna terlebih dahulu.
Canna hanya mengangguk, meraih tas milik Tuannya. Bukankah ia sama saja dengan pelayannya Delano. Tapi itu lebih baik daripada dirinya dipaksa melayani Delano di ranjangnya.
Canna hanya mengikuti saja langkah Delano hingga mencapai ruang makan. Ia sudah melihat semua sarapan sudah terhidang di meja.
"Sajikan untukku!" perintah Delano lagi.
Dengan sigap Canna segera meraih nasi goreng.
"Tuan tidak suka makanan berat di pagi hari, Tuan lebih suka sarapan roti dengan secangkir kopi," sela Derris.
Canna mengurungkan niatnya untuk menyendok nasi goreng tersebut. Ia meraih roti dan mengolesinya mentega serta menaburinya keju parut. Dan menyerahkannya pada Delano.
Canna menatap cara makan Delano, bahkan ia begitu kagum melihat cara makan yang begitu elegan. Tetapi rasa kagumnya segera sirna setelah mengingat perlakuan Delano padanya.
"Kepala pelayan! Kamu awasi dia! Jangan sampai dia kabur saat aku tidak ada di rumah."
Kepala Pelayan mengangguk dan sedikit menunduk.
"Baik Tuan. Saya akan melaksanakan perintah Tuan dengan sebaik-baiknya!" Sambil melirik kearah Canna yang masih berada didekat Delano.
"Dan kamu Kelinci Kecil, jangan coba-coba melarikan diri dariku. Kamu akan tahu frekuensinya. Tidak hanya berefek padamu saja tetapi juga pada adikmu!"
Canna terdiam mendengarnya, ia sudah tahu kalau pada akhirnya semua nasibnya dalam genggaman Delano. Ia akan mencoba bertahan di rumah ini yang terasa sangat menyiksa perasaannya. Delano benar-benar menyebalkan.
"Ingat kata-kataku!"
Delano berjalan meninggalkan Canna bersama Derris. Canna melirik kearah Oryza yang acuh padanya. Ia mengikuti langkah Delano hingga ke depan mobilnya.
"Nona, ini daftar catatan yang harus Nona hapal tentang kesukaan dan kebiasaan Tuan! Saya harap Nona cepat mengingatnya."
Derris menyerahkan beberapa catatan kearah Canna selepas mereka memasuki mobil. Meninggalkan Canna yang berdiri di halaman sendirian.
Canna melirik kearah para penjaga yang menatapnya tajam sedari tadi.
"Apakah begitu perlakuan mereka pada setiap orang yang di temuinya?" Canna bergidik ngeri segera masuk kedalam rumah.
"Fiore! Bagaimana kalau kita belanja kebutuhan dapur keluar? Aku merasa sangat bosan berada di rumah."
Fiore menghentikan pekerjaannya sesaat. Menatap Canna yang menghampirinya yang sedang menyiram bunga di taman belakang mansion milik Delano.
"Ma'af nona Canna. Urusan dapur hanya koki yang berhak untuk mengaturnya. Sedangkan kami, tugas kami hanya melayani Tuan Delano dan membersihkan seisi rumah ini."
"Jangan panggil aku Nona. Karena disini aku juga bekerja seperti kalian, sebagai pelayan," sahut Canna berusaha merebut selang air yang di pegang oleh Fiore.
"Ma'af Nona. Kami hanya melakukan apa yang sudah di perintahkan oleh Tuan kami," sahut Fiore lagi.
"Kamu sungguh membosankan, Fiore. Aku merasa kesepian karena semua pelayan di mansion ini selalu menghindariku. Aku tidak tahu, apakah mereka menganggapku seburuk itu." Canna mendesah.
Fiore tersenyum mendengarnya. "Tuan Delano tidak seperti yang Nona pikirkan. Saya harap Nona bisa betah berada disini."
Canna kembali mendesah berusaha menyembunyikan kesedihannya karena terpisah dengan Kezia yang masih berusia 6 tahun.
"Sebaiknya Nona segera beristirahat ke kamar Nona. Bagaimana kalau saya yang mengantar Nona!"
Fiore bergegas menarik Canna untuk mengikuti perkataannya setelah melihat kepala pelayan yang menatapnya tajam. Ia tahu arti tatapan dari seorang kepala pelayan. Tatapan sebuah perintah dan peringatan.
"Aku masih ingin berada disini. Aku masih belum mengenal dengan baik lingkungan mansion ini!" sahut Canna.
"Besok aku akan membawa Nona berkeliling tetapi setelah mendapat izin dari Tuan terlebih dahulu."
Fiore tampak tergesa membawa Canna ke kamarnya.
"Sarapan Nona akan kami antarkan segera!"
"Tapi, aku ingin sarapan bersama kalian saja!" sahut Canna menolak.
"Nona, tolong jangan membantah lagi. Ini adalah perintah Tuan Delano. Kami tidak ingin mendapat hukuman dari Tuan Delano."
Canna terkejut mendengarnya, ia sadar ternyata keberadaan dirinya juga mampu membuat para pelayan dihukum kalau dia melakukan kesalahan.
"Baiklah. Aku akan sarapan disini saja!"
Canna berbalik dan meninggalkan Fiore yang menatapnya sendu.
Canna kembali duduk di balkon kamarnya, menikmati udara pagi. Hanya itu yang bisa dilakukannya. Ia tidak ingin keluar dari kamar seperti yang Fiore katakan. Ia tidak ingin membuat mereka kehilangan pekerjaan ataupun di hukum karena dirinya yang tidak menurut.
"Kezia. Bagaimana kabarmu sekarang?" lirihnya seraya menatap ke langit pagi.
"Pasti kamu sangat kesepian. Kakak sangat merindukanmu. Apakah kamu hidup dengan nyaman bersama tetangga? Mereka benar-benar tetangga yang baik!" Canna terkekeh sendiri. Dadanya terasa nyeri sekarang.
"Nona. Ini sarapannya!" Fiore menghampiri Canna.
"Letakkan saja disitu!" sahut Canna tanpa membalik kepalanya.
"Baiklah. Aku ada pekerjaan yang lain."
Fiore segera keluar. Canna tersadar kalau pintu kamar yang di tempatinya sudah di kunci dari luar. Ia sadar bagaimanapun statusnya di rumah ini, ia tetaplah seorang tawanan.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 137 Episodes
Comments
Anonymous
👌👌👌👌👌
2021-05-21
0
Opung Boru Caroline
nama adeknya kesya.berarti perempuan.ktnya td laki laki
2021-05-04
0
Kunifah Winanto Kunifah
author nya ngantuk tuh...hrs nya konsekuensi thor, bkn frekuensi 🤭
2021-04-27
0