Canna membuka matanya dengan perlahan saat ia mendapati kesadarannya.
"Ternyata aku masih di kamar ini!" gumamnya kembali memejamkan matanya.
"Nona, apakah Anda sudah bangun?" salah seorang pelayan menghampirinya.
"kamu siapa?" tanya Canna datar.
"Saya pelayannya Nona sekarang. Apakah Nona merasa baik-baik saja ataukah ada bagian tubuh Nona yang sakit?"
Canna hanya menatap diam kearah pelayan tersebut. Seandainya ia tahu kalau bagian yang sakit itu adalah hatinya, maka apa yang bisa di perbuat oleh pelayan tersebut.
"Kamu. Apakah sudah lama bekerja disini? Siapa namamu?" tanya Canna masih pada posisinya.
Pelayan itu menunduk. "Saya sudah cukup lama bekerja disini, bahkan sejak ayah dan ibu saya dulu."
Canna mendesah, berarti tidak ada harapan untuk dirinya kabur dari kediaman lelaki baj*ngan tersebut. Sudah bisa di tebak kalau pelayan ini pasti sangat setia pada lelaki itu.
"Dan siapa namamu tadi?" Lagi, Canna kembali bertanya.
"Namaku Fiore, Nona," sahutnya sopan.
"Jangan panggil aku Nona, karena aku bukan Nonamu. Bukankah kamu tahu tentang hal itu?" tegas Canna.
Fiore menunduk, tidak berani menyahut. Ia bergegas keluar kamar Canna setelah melihat kedatangan Derris.
"Ma'af Tuan, saya tidak memberi tahu Anda sebelumnya, kalau Nona sudah sadar." Fiore menunduk saat berada didepan Derris.
"Pergilah! Tuan melarangmu untuk banyak berbicara dengan wanita ini!"
Tatapan dingin itu kembali menghujam kepada Canna. Membuat wanita itu mengalihkan tatapannya, menatap langit-langit kamar. Rasanya lelaki ini benar-benar membekukannya. Membuat seluruh bulu kuduknya berdiri.
"Ada apa kamu kemari?" tanya Canna memecah keheningan diantara mereka. Masih enggan menatap wajah Derris yang masih menatapnya dengan menusuk. Ingin sekali dirinya agar lelaki itu segera menjauh saja dari hadapannya.
"Aku hanya memastikan kondisimu saja. Apakah sudah lebih baik?"
Canna tersenyum sinis mendengarnya, berpaling kearah Derris yang menatapnya datar. Bagaimana mungkin ia baik-baik saja kalau ia di perlakukan seperti binatang. Kehormatannya di renggut paksa. Bahkan rasa sakitnya terkoyak-koyak. Masih bisakah dikatakan kalau dirinya baik-baik saja.
"Berhentilah berdebat dan memberontak terhadap Tuan. Kamu akan baik-baik saja apabila kamu menurut padanya." Lelaki itu kembali membuka suara setelah menunggu cukup lama Canna bersuara.
Canna berdecih tidak suka. Menatap Derris dengan tatapan mengejek.
"Selamanya aku tidak akan pernah baik pada Tuanmu. Kalian sudah menghancurkan hidupku sekarang. Apakah kalian puas!?" Wajah Canna memerah dengan mata melotot.
Derris hanya menatap dingin padanya.Tanpa menjawab sepatah katapun, dia meninggalkan Canna yang menatapnya benci.
Canna menyibak selimutnya, berjalan kearah balkon kamar Delano. Hembusan angin sejuk menerbangkan helaian rambutnya. Matanya menatap kearah bawah. Kedatangan lelaki dingin tadi membuatnya muak.
"Apa yang kamu lakukan disitu? Apakah kamu mencoba untuk melukai dirimu lagi dengan cara melompat!!?"
Suara bass terdengar menggelegar di balik punggung Canna. Tetapi wanita itu sama sekali tidak ingin berbalik dan menyahutinya. Ia tahu kalau lelaki asing itu sedang berjalan kearahnya.
"Apakah kamu bisu?" Kembali terdengar suara dingin dan menusuk.
Canna hanya melirik sesaat kearah lelaki yang sudah berdiri di sampingnya. Menatap dirinya dengan tajam, bahkan tatapannya terasa mematikan. Lebih mematikan dari tatapan lelaki dingin yang pertama tadi.
"Jawab pertanyaanku! Aku tidak suka kamu acuhkan!" Delano meraih tangan Canna dan mendorongnya ke tiang besar, mengunci tangannya ke atas. Membuat pandangan mereka bertemu selama beberapa detik sebelum Canna mengakhirinya.
"Atau kamu sengaja ingin kabur dariku!? Dan mencari kesempatan?" geramnya marah. Gemelatuk giginya terdengar hingga ke telinga Canna. Rasanya sangat mengerikan mendengarnya.
Matanya beralih menatap bibir Canna yang merah dan sedikit basah, membuatnya meneguk ludah kasar beberapa kali. Delano segera meninggalkan Canna yang semakin tidak menyukainya.
"Dasar lelaki aneh!!" umpat Canna.
Matanya kembali beralih menatap kearah bawah. Beberapa bodyguard tampak berjaga di sekeliling rumahnya.
Terima kasih pada Delano karena dia sudah mengingatkan Canna untuk segera mencari cara kabur dari rumah besar itu.
Canna segera masuk kembali ke dalam kamarnya dan mencari keberadaan Delano yang sudah tidak ada di sana lagi.
***
"Nona, ayo makan!" Pelayan datang dengan sebuah nampan di tangannya.
Ayam panggang dengan saos ubi jalar dan Panzanella. Aromanya yang semerbak membuat Canna berpaling dan menatapnya sekilas. Dahinya mengerut saat mendapati bukan Fiore yang mengantarkan makanan tersebut.
Ada berapa banyak pelayan di rumah ini hingga setiap mereka yang masuk ke kamarnya selalu berbeda-beda.
Di depan pintu tampak berdiri Delano dengan tangan terlipat di dada. Menatap angkuh terhadap dirinya.
"Aku tidak mau! Aku ingin pulang!!" teriak Canna marah. Menolak tawaran pelayan tersebut. Bukan maksudnya marah pada pelayan tersebut hingga menakutinya, tetapi keberadaan Delano lah yang membuatnya murka.
"Jangan seperti itu, Nona. Nona baru saja bangun dari pingsan. Sebaiknya Nona banyak makan biar kesehatan Nona cepat pulih," bujuknya takut-takut sembari meletakkan nampan tersebut di atas nakas.
"Aku bilang kalau aku tidak mau. Dan jangan panggil aku Nona, karena aku bukan Nonamu!" Canna berteriak marah sambil menatap sinis kearah Delano.
Pelayan itu tampak semakin ketakutan, membuat Canna merasa kasian melihatnya. Seharusnya ia tidak melampiaskan amarahnya pada pelayan tersebut.
"Tinggalkan dia sendiri! Biar aku yang urus dia!" suara menggelegar keluar dari mulut pria tersebut.
Melangkah kearah Canna yang sudah berpaling dan tidak ingin menatapnya lagi.
"Baik, Tuan." Pelayan tersebut menunduk dan berjalan cepat meninggalkan mereka berdua.
"Cepat makanlah! Kalau tidak, maka aku yang akan memakanmu!"
Canna terkejut dan segera menunduk, menatap kearah makanan yang menggiurkan tersebut. Tetapi ia benar-benar tidak lapar sekarang. Ia hanya ingin pulang dan melihat keadaan adiknya. Apakah ia makan dengan tenang siang ini ataukah ia terluka.
Delano masih menatap Canna yang tetap bungkam, ia meraih makanan tersebut dan meletakkannya di hadapan Canna.
"Kamu mogok bicara!?" hardik Delano kesal karena terus diacuhkan.
"Tapi aku ingin pulang," pinta Canna lemah. Membuat Delano kembali marah.
"Kamu tidak bisa pulang sekarang, sebelum kamu mengganti rugi atas semua kerugian yang aku alami!"
Canna mengangkat kepalanya, menatap Delano dengan tajam saat lelaki itu berteriak didepannya.
"Aku bisa membayarnya dengan cara aku bekerja di luar. Lagi pula aku punya tanggung jawab yang lain!"
"Bekerja di luar, heh? Seumur hidup pun kamu tidak dapat melunasi hutangmu dengan bekerja diluar." Delano berdecih dengan tatapan meremehkan.
"Aku akan buktikan kalau aku bisa bekerja di luar tapi lepaskan aku dulu. Lagi pula, tidak ada yang bisa aku lakukan di rumah ini," tegas Canna dengan tatapan memohon.
Delano terkekeh mendengarnya. Menatap Canna dengan jenaka.
"Ada banyak pekerjaan disini. Kamu tinggal pilih mau yang mana. Mau jadi pelayan pribadiku atau jadi pelayan ranjangku?"
Canna mengatupkan rahangnya ketat, menggenggam tangannya erat, merasa marah dengan penghinaan yang di lontarkan Delano. Ia seperti seorang pelac*r saja di mata lelaki brengsek tersebut.
Tapi kenyataan itu memang benar, sekarang ia sudah tidak suci lagi. Tapi bukan karena dia yang menjual diri, namun Delano lah yang memperkosanya. Tangan Canna terkepal erat. Ingin rasanya ia memukul wajah pria yang memandangnya rendah ini.
"Lagi pula, aku tidak mempercayaimu. Bisa saja kamu melarikan diri dariku atau kamu melakukan percobaan bunuh diri lagi apabila lepas dari pengawasanku."
Delano memperpendek jarak diantara mereka.
"Bagaimana, apakah kamu sudah memikirkannya?" Delano kembali memecahkan kesunyian diantara mereka.
"Aku tidak mau!" sahut Canna dengan ketus dan berpaling kearah lain.
"Baiklah kalau kamu tidak mau maka aku yang akan membuatmu tidak dapat meninggalkan kediamanku ini!"
Delano mendorong Canna hingga telentang di atas ranjang dan menindihnya. Tangannya sebelah kiri mengunci tangan Canna sedangkan tangan kanannya bergerak membelai bibir Canna yang memerah. Delano merasakan gejolak hebat dalam dirinya dan pertahanannya hampir runtuh setelah mendapati Canna yang terus-menerus menggeliat dan meronta-ronta di bawahnya.
"Makanlah! Aku akan mengawasimu dari sini!"
Delano segera duduk dan berpaling menatap kearah pintu. Ia berdehem sesaat untuk menghilangkan sensasi panas dalam dirinya.
"Aku bilang aku tidak mau!!" Raung Canna untuk kesekian kalinya.
"Baiklah kalau kamu tidak mau, maka jangan pernah menyesalinya."
Delano meraih ayam panggang tersebut dan mengunyahnya sampai halus. Ia berpaling kearah Canna yang menatap kearah dirinya. Meraih tengkuk Canna dan menciumnya, memasukkan ayam panggang yang sudah halus tersebut kedalam mulut perempuan tersebut. Mendorongnya dengan lidah hingga ayam tersebut habis di telan oleh Canna.
Ia mengakhiri ciumannya, menatap wajah Canna yang memerah dan menunduk.
"Itu akan aku lakukan setiap kali kamu menolak untuk makan!"
Canna melotot mendengarnya. Bergegas ia meraih piring tersebut dan memakannya dengan rakus. Senyum samar terbit di bibir Delano.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 137 Episodes
Comments
epifania rendo
menarik
2023-08-30
0
Stefannie Elizabeth
masalah apa thor? koq ga jelas? hanya di ksh liat di laptop aja... tp apa yg hra di ganti rugi?
2021-07-25
0
MandaNya Boy Arbeto❤️
isssss devil😠😠😠
2021-04-25
0