Setelah dokter Ana pergi, Delano dan Canna masih berada di kamar yang sama. Canna hanya mampu menunduk saat Delano mendekat padanya.
"Kenapa menunduk? Dimana keberanianmu tadi yang melotot padaku?"
Canna berpaling kearah jendela menghindari tatapan tajam Delano yang terasa mengulitinya.
"Jangan menghindari tatapanku! Tatap mataku!" ucap Delano dingin.
Canna memutar kepalanya menuruti perintah Delano. Ia menatap Delano dengan sorot benci.
"Jangan perlihatkan sorot itu padaku, cukup perlihatkan pada orang yang sudah membuatmu celaka."
Canna kembali menunduk. "Kamu memang pantas mendapatkan tatapan seperti itu karena kamulah yang membuatku celaka, terkurung dan tertindas!" Canna membatin.
Mata Delano tidak sengaja menatap kearah nakas. Masih ada makanan yang belum di sentuh oleh Canna sama sekali.
"Gadis keras kepala! Bisakah kamu menuruti sedikit ucapanku demi kebaikan tubuhmu!"
Canna mengernyit, bersikap waspada sambil menatap sorot tajam Delano. Matanya terbelalak saat tahu yang di maksud oleh Delano. Ia lupa untuk memakan makanan tersebut.
"Apa kamu tidak sayang sama tubuhmu!?" Delano berbalik dan menyorot Canna masih dengan sorot tajam.
"Dan masih ingatkah kamu mengenai hukumanku waktu itu kalau kamu tidak ingin makan? Apakah kamu ingin aku perlakukan seperti tempo hari?"
Canna menggeleng, wajahnya tampak pias, mengingat lagi perlakuan Delano yang terus-menerus melecehkannya.
"Oh. Kamu sangat menikmati perlakuanku waktu itu rupanya. Bukankah begitu, Nona Kelinci?" Delano menyeringai.
Canna kembali menggeleng, mundur beberapa langkah dengan waspada. Menatap Delano yang berjalan kearahnya.
Delano meraih pergelangan tangan Canna dan menariknya, membawanya keluar kamar menuju kearah ruang makan. Menghempaskannya dengan lembut di meja makan.
"Duduklah!!" ucap Delano menggelegar karena marah melihat perlawanan Canna padanya.
"Bisakah kamu diam dan menurut padaku tanpa melawan!!" Lagi, Delano menggertak Canna hingga membuat wanita itu menciut.
"Pelayan!!" teriaknya.
Beberapa pelayan tampak berlari kearahnya.
"Iya, Tuan," sahut mereka sambil menundukkan kepalanya.
"Sediakan makanan untuk gadis ini, jangan tinggalkan dirinya sebelum makanannya habis tanpa sisa!!" perintah Delano.
"Aku tidak ingin melihat ada gadis yang mati kelaparan di kediamanku!" ucapnya masih menatap kearah Canna.
Para Pelayan mengangguk dan segera menuju keruang dapur. Menyediakan makan malam untuk Canna.
"Kamu. Jangan coba-coba menipuku. Aku akan memeriksa dirimu lagi, apakah kamu benar-benar makam ataukah tidak!"
Delano berdiri dan berbalik meninggalkan Canna di ruang makan tersebut.
"Kenapa? Kenapa kamu perduli padaku? Padahal aku sangat merugikanmu?" lirih Canna masih menunduk.
Delano berbalik dan menyorot Canna dengan tajam. Menyapu ujung dagunya dengan jari jempolnya.
"Aku perduli padamu?" Delano menatap Canna dengan tatapan remeh.
"Kamu hanyalah gadis biasa dan tidak ada satupun hal yang menarik dari dirimu! Aku hanya tidak ingin kamu menjalani kematian dengan begitu mudahnya."
"Ingat! Aku akan membuatmu membayar semua kerugian yang aku alami karena kesalahanmu waktu itu!" ucap Delano dengan nada rendah.
Canna terkejut mendengarnya, tangannya mengepal. Menatap kepergian Delano tanpa berpaling kearahnya.
"Aku harus bisa lari dari rumah ini, disini bukan tempat yang aman bagiku!" Canna bergumam sambil mempermainkan jari-jemarinya, melirik ke kiri dan ke kanan.
"Nona. Ini makanannya," Fiore meletakkan beberapa piring steak untuknya bersamaan dengan beberapa sayuran.
"Makanlah!" Fiore berdiri tidak jauh dari Canna untuk mengawasi gadis tersebut seperti perintah Delano tadi.
"Fiore, bisakah kamu menemani aku makan?" Canna menatap penuh harap kearah Fiore.
"Tidak bisa, Nona. Saya tidak mau Tuan murka dan menghukum kami semua yang ada disini," tolak Fiore halus.
"Tapi aku tidak bisa menghabiskan semuanya. Ini terlalu banyak untukku sendirian. Dan lagi, dia tidak akan tahu mengenai ini!" bujuk Canna.
Fiore menggeleng, ia masih berdiri pada posisinya.
"Makanlah, Nona. Dan turuti ucapan Tuan muda agar hidup Nona aman."
Canna melirik ke kanan ke kiri dengan wajah di tekuk kesal. Suasana ruang makan tampak sunyi tetapi sejak tadi Fiore terlihat gelisah. Canna merasa kalau mereka sedang di awasi. Ia ingat dengan ucapan Delano. Ia harus makan bagaimanapun caranya. Kalau tidak, maka ia akan mendapat hukuman seperti yang diucapkan lelaki tersebut.
"Baiklah. Aku akan memakannya sendirian!" sahut Canna. Ia melahap semua makanan dengan rakusnya tanpa memperdulikan tatakrama makan bagi orang kaya. Biarlah mereka jijik melihatnya, siapa tahu dengan melihatnya makan seperti itu, maka Delano juga menjadi jijik padanya.
Di ruang kerjanya, Delano tampak sibuk menatap layar CCTV yang ada di hadapannya, menatap pergerakan Canna yang sedang berada diruang makan.
"Gadis itu, begitu keras kepala. Bahkan ia rela menahan laparnya hanya demi gengsinya! Tapi lihat dirinya sekarang, seperti **** yang sedang kelaparan!"
Delano mematikan layar monitor tersebut.
"Bagaimana? Apakah kamu sudah mendapatkan semua identitas Kelinci Kecil itu?"
Derris mengangguk. "Sudah Tuan. Dia hanyalah anak yatim piatu yang ditinggal oleh kedua orang tuanya bersama seorang adiknya. Dan adiknya masih bersekolah di Sekolah Dasar."
"Bagaimana dengan kerabatnya yang lain?" tanya Delano memastikan.
"Tidak ada. Mereka benar-benar hidup berdua saja."
"Begitukah?" Delano melirik kearah Derris untuk memastikan.
Derris mengangguk.
"Lalu, bagaimana dengan luka gadis itu di punggungnya? Apakah benar kalau dia adalah seseorang di masa remajaku dulu?" tanya Delano.
"Saya tidak yakin tentang luka itu. Karena beberapa tahun ini Nona Canna juga mendapatkan luka dipunggungnya karena menolong adiknya yang hampir tertabrak mobil."
Delano terdiam mendengarnya. Apakah ia salah mengenali gadis itu. Ataukah ia salah dalam melakukan hal yang sudah di ambilnya.
"Apakah ada hal lain yang harus saya lakukan?" tanya Derris melihat keterdiaman Delano.
"Tidak ada. Hanya saja, kamu selidiki lelaki yang akhir-akhir ini dekat dengannya! Dan kirim identitasnya secepatnya padaku!"
"Baik, Tuan." Derris membungkukkan sedikit kepalanya.
Delano berjalan ke kamar Canna, untuk melihat keadaannya. Kamar yang sudah di siapkan olehnya tepat berada disisi kamar miliknya. Ia hanya tidak ingin gadis itu lepas dari pengawasannya.
Sesampainya di depan pintu, ia membuka pintu yang tidak di kunci sama sekali dan tidak mendapati gadis itu ditempat tidurnya.
Delano bergegas kearah balkon. Benar saja, Canna sedang duduk menikmati angin malam sambil memeluk dirinya sendiri. Gadis itu terlihat rapuh saat sendirian.
"Apa yang kamu lakukan di luar sini?"
Canna terkejut, ia melirik kearah Delano yang sedang bersandar di tiang balkon kamar.
Lekas-lekas Canna berdiri dan ingin meninggalkan lelaki tersebut, tanpa ingin menjawab pertanyaannya.
"Mau kemana? Apakah kamu ingin menghindariku?" tanya Delano tajam. Gadis ini selalu saja mengabaikannya dan membuatnya kesal.
"Aku hanya ingin sendirian!" sahut Canna ketus tanpa menatap padanya.
"Kamu tidak bisa bersikap sesukamu seperti ini. Aku adalah Tuan rumah disini! Dan kamu adalah tawananku. Kamu tidak patuh padaku maka kamu tidak akan pernah aku beri kebebasan!"
Delano menangkap tangan Canna dan memegangnya erat.
"Lepaskan aku. Kamu memang Tuan rumah disini. Tetapi jangan kamu jadikan aku seperti bonekamu! Seorang tahanan tidak harus selalu patuh padamu, yang patuh itu adalah budakmu. Dan aku bukan budakmu!"
Canna menghempaskan tangan Delano. Membuat lelaki tersebut menggertakkan giginya, matanya tampak berkilat.
"Apakah kamu gadis batu ataukah kamu bukan seorang manusia!?" Suara Delano terdengar menusuk di telinga.
"Aku hanya ingin bekerja di luar dan bukan menjadi tawananku seperti ini. Aku akan mengganti semua kerugianmu waktu itu tapi aku ingin kebebasan!"
Delano terkekeh mendengarnya, menatap rendah kearah Canna.
"Kamu tidak pantas mendapatkan kebebasanmu. Beruntung kamu tidak aku penjarakan dan lebih memilih untuk menghukummu secara pribadi."
Delano menatap Canna yang terdiam dengan tatapan tajamnya.
"Tetapi nyatanya, aku lebih suka masuk penjara daripada dikurung secara pribadi olehmu Tuan Delano," sahut Canna menentang.
"Benarkah? Kamu hanya tidak merasakan seperti apa dinginnya dibalik jeruji besi sehingga berani berkata seperti itu," sahut Delano terkekeh.
Canna terdiam sambil menggigit bibirnya, ia memang tidak berani untuk masuk ke penjara. Pastilah disana terjadi kekerasan sesama penghuni lapas seperti di televisi yang sering ditontonnya.
"Kalau kamu masih ingin melihat adikmu hidup dengan layak, maka turutilah semua keinginanku!" Bisik Delano tepat di telinga Canna. Membuat gadis itu terperanjat.
"Jangan kamu lakukan apapun pada adikku. Dia tidak salah apapun padamu. Akulah yang bersalah!" Canna tampak melunak. Meraih tangan Delano tetapi ditepis kasar oleh lelaki tersebut.
"Bukankah adikmu juga ikut andil dalam kehidupanmu. Jadi dia juga harus merasakan kesakitan dan hukuman yang diterima oleh kakaknya. Bagaimana kalau adikmu yang manis itu aku kurung di suatu tempat tanpa aku beri makan?"
Canna kembali terkejut mendengarnya, matanya menatap takut kearah Delano, tangannya bergetar hebat.
"Jangan lakukan apapun pada adikku, dia tidak salah padamu. Akulah yang bersalah dan aku akan menuruti semua ucapanmu mulai hari ini."
Delano terkekeh senang mendengarnya. Ternyata mengancam gadis ini agar menurut padanya sangatlah mudah, hanya bermodalkan adik lelakinya saja.
"Baiklah. Sebagai langkah pertama kalau kamu memang benar-benar tidak keras kepala, bagaimana kalau malam ini kamu tidur denganku?"
Canna semakin mengepalkan tangannya, menatap benci kearah Delano.
"Kamu akan dihukum kalau menatapku seperti itu. Dan akan aku ringankan setiap hukumanmu kalau kamu bersikap manis padaku, bagaimana?" tawar Delano lagi.
Ia begitu senang mempermainkan wanita yang ada dihadapannya ini.
Canna memutar otaknya, berusaha untuk menolak perintah Delano yang sangat merugikan dirinya dan menginjak harga dirinya.
"Aku bersedia apapun perintahku tetapi aku juga punya 1 syarat," sahut Canna.
Delano terkekeh. "Syarat? Apakah kamu sedang mengajakku bernegosiasi?" Delano menarik napasnya sejenak.
"Apakah pantas wanita rendahan sepertimu mengajukan syarat? Apa kamu pikir kalau dirimu ada harganya?"
Lagi. Canna tidak dapat berkutik. Harga dirinya benar-benar di rendahkan.
"Setidaknya aku hanya menginginkan sebuah syarat sebagai penawaran untukku. Tidak ada yang lain." Canna masih pada pendiriannya.
Delano tampak berpikir. "Katakan!"
Canna terlonjak senang, ia tidak menyangka kalau Delano mau meloloskan pengajuan syarat darinya.
"Aku akan melakukan apapun perintahmu tapi untuk tidur bersama, aku menolaknya!" ucap Canna tegas.
"Kenapa?" Delano menyorot Canna dengan sorot tidak suka. "Bukankah kamu sudah pernah tidur denganku sebelumnya?"
Canna tampak geram mendengarnya. Tidur dia bilang. Yang ada Canna di perkosa olehnya.
"Karena aku hanya ingin tidur dengan seseorang lelaki yang sah dihadapan Tuhan dan juga sah dalam aturan negara!"
Delano tertawa sinis mendengarnya.
"Kamu menginginkan pernikahan? Ternyata kamu sama saja dengan gadis lainnya, gila kehormatan dan kepopularitasan."
Delano berjalan meninggalkan Canna yang kembali merasa di injak-injak harga dirinya untuk yang kesekian kalinya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 137 Episodes
Comments
epifania rendo
kasian canna
2023-08-31
0
Naswa Indah
aq benci kekerasan Thor tolong
2021-05-28
0
Opung Boru Caroline
canna hetul.delano enak aja niduri anak orang tanpa status
2021-05-04
0