"Heh, hahahahahaha!"
Aku terkekeh, kemudian terus tertawa.
Mencoba meminum kopi kaleng dalam genggaman untuk mengenyahkan rasa geli---tak bisa, aku justru kembali tertawa.
Lantas aku menoleh ke arahnya, Fate masih dengan wajah seriusnya membuatku semakin terbahak-bahak.
Aku menutup muka menggunakan telapak tangan kiri dan menopang siku ke paha, mencoba menahan rasa geli.
Di tengah tawa, aku menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan.
Sudah jauh lebih tenang, aku sedikit meneguk kopi kaleng yang sudah dingin.
Sedingin malam ini.
"Bercanda."
"Aku tidak bercanda dan aku tidak bisa berbohong." Cepat Fate membalas ucapanku.
Mendengar itu, aku menyeringai.
Aku kembali meneguk kopi. Lama sekali habisnya padahal hanya satu kaleng. Mungkin karena aku meminumnya sedikit-sedikit. Sangat sedikit.
Terlebih rasa hangat telah berubah menjadi dingin seperti salju yang terus turun menyelimuti malam; seperti kehangatan yang hilang menyisakan beku.
"Memang ... terlahir dari iblis atas keinginan mereka. Bahkan sudah membunuh manusia. Kehadiran saya hanya berarti kehancuran."
Seketika ingatan itu kembali muncul di dalam kepala.
Tentang para penduduk yang menusukku; menahanku ke tanah dengan garpu taman besar. Luka di sekujur tubuh adalah buktinya.
Meski telah lama, semua berbekas jelas dalam raga. Saksi bisu atas rasa sakit menjalar heboh hingga ke ubun-ubun.
Tubuhku menjadi dingin saat darah tak henti mengalir. Aku tak bisa melakukan apa-apa selain berteriak dalam tenggorokan yang tercekik, sampai rasa pedih menelanku sepenuhnya dan aku kehilangan kesadaran.
Ketika sadar ... hancur.
Kota itu hancur, semua orang mati, tetapi pedang ramping yang panjang di tanganku.
Melihat itu aku histeris. Napas pun terputus-putus. Aku sangat ketakutan.
Api juga menjalar ke mana pun.
Padahal aku tidak bermaksud melakukan itu.
Gedung-gedung kuno runtuh. Rumah-rumah ambruk. Anak kecil menangis di depan mayat orang tua mereka yang sudah tak berbentuk.
A-aku tidak bermaksud---
"Kau tersiksa dan hampir mati, itu hanya upayamu untuk bertahan hidup," tegas si gadis yang duduk di samping, menyadarkanku dari pikiran sendiri.
Dan tanpa sadar, ternyata aku sudah mencengkeram kepala dengan satu tangan dan menyandarkan siku ke paha.
Lantas aku memejamkan mata dan mengembuskan napas panjang.
"Bukan suatu alasan untuk membunuh, lagi pula saya tidak akan mati."
"Tapi kau merasakan sakit," timpalnya yang kembali membuatku tertegun.
Kini aku melihat kedua tangan dengan kepala masih menunduk. Terdiam sesaat kemudian berkata, "Siksaan yang pantas untuk makhluk berdosa seperti saya."
Bahkan ... jika suatu saat bisa mati dan bertemu Tuhan, Tuhan pasti akan menempatkanku ke neraka terdalam.
Aku sudah melakukan dosa tak termaafkan. Keabadian ini dan rasa sakit, sebuah siksaan yang pantas.
Itu mengapa aku selalu berdoa, karena itu satu-satunya cara untukku bertahan.
"Tuhan Maha Pemaaf. Jika tidak, kau tak akan mendapat kesempatan ke dua seperti sekarang."
Apa katanya?
Hah, omong kosong.
Aku memiliki banyak dosa dan tak mau menambahnya karena hanya dengan dosa yang sekarang, tak mungkin dimaafkan. Mana mungkin---ah, kenapa tanganku tak henti bergetar?
Aku merasakan sesuatu seperti terbakar dalam dada.
Aku ... tanganku berguncang heboh sampai mati-matian menggenggam pergelangan tangan kanan agar kopi kalengku tak jatuh.
"Tapi saya ... akh, sudah ... membunuhnya." Suaraku sedikit melengking, terasa seperti tenggorokan bagai tercekik.
Apa yang terjadi? Terasa aku---
"Karena penyesalanmu, Tuhan memaafkanmu."
Minumanku jatuh.
Cokelat kopi menodai putih salju di atas tanah bersamaan dengan air mataku yang keluar tanpa permisi.
Apa yang terjadi?
Perasaan ... perasaan ini---aku tak pantas merasakannya!
Aku langsung mencengkeram erat dada menggunakan kedua tangan.
Tak boleh, tidak boleh merasakan apa pun!
Aku mengeratkan gigi, berusaha sekuat tenaga menekan sesuatu yang meluap di dalam dada hingga terasa sesak. Hampir tak bisa bernapas.
"Agh, tapi---ah, membunuh ... sayang---"
"Dan ia juga menyayangimu. Mungkin aku tidak akan bisa menggantikannya, tapi aku akan menemanimu, sebagai diriku sendiri."
Seketika aku teringat ucapan terakhirnya ....
Ingatlah, aku selalu di sini.
Tak ada dari kita ingin berakhir seperti ini, tapi kita tak akan bisa lepas dari jerat iblis yang terus mengikutimu.
Ini juga caraku untuk menebus dosa. Aku mengorbankan diri demi kamu, karena ingin kamu bisa tersenyum lagi.
Mungkin perbuatanku ini sedikit egois, tapi ... aku mencintaimu, melebihi yang kamu bayangkan.
Tangisku pecah, tidak mampu lagi aku terus menahan perasaan yang memenuhi dada.
Aku terus menyeka air mata yang tak henti mengalir hingga terasa sakit di bawah pelupuk mata.
Kembali menyeka. Air mata masih mengalir. Wajahku panas. Kembali menyeka. Aku---
"Tidak apa-apa untuk menangis."
Aku merasa ... Fate menggenggam tanganku, mengelus kepalaku. Aku merasa---
"Aaagh!"
Tangisku menjadi. Tanpa sadar, aku sudah memeluknya.
Aku sungguh tak tahan.
Gejolak emosi ini terlalu kuat.
Aku merintih.
Meneteskan air mata.
Terseduh-seduh.
Menangis. Menangis. Menangis.
Fate merangkulku ... lembut, tangannya membelai halus rambutku secara perlahan.
"Rasa sedih; penyesalan, itu adalah perasaanmu yang sesungguhnya, kau memiliki hati."
"Ah. Hah. Iblis---"
Aku ingin berkata, tetapi tak sanggup. Kalah dari ledakan emosi.
Aku mengeratkan gigi. Air mata masih belum menunjukkan tanda akan berhenti. Rasa ini ... rasa ini---
"Kau memiliki hati, mungkin itu jauh terpendam dalam dirimu, karena ... tidak ada iblis yang akan menangis seperti ini."
Aku memeluknya semakin erat. Tanganku mencengkeram baju belakang Fate. Aku membenamkan wajah ke pundaknya.
Perasaan---perasaan ini ... hangat.
"Kau manusia."
Aku biarkan emosiku meluap.
Fate juga tidak menolaknya, dia menerima. Memelukku pelan. Mengelus kepalaku perlahan.
Aku biarkan mata terus menangis. Aku biarkan mulut terus bersedu. Napas mulai terputus-putus, tetapi aku biarkan. Aku biarkan semua perasaan itu mengalir.
Aku biarkan ....
Selama ini, aku terus mencari kehangatan.
Namun, ia telah tiada dan aku hidup dalam kesepian. Aku merasa sengsara saat kehilangan seluruh kebahagiaan itu.
Dan keabadianku ibarat memupuk seluruh rasa sakit menjadi sangat dalam.
Aku berakhir mengunci diri, karena tak tahu cara melepaskan diri dari penjara ini. Aku tertahan; terbelenggu, dalam masa lalu.
Sebab senyuman orang terkasihku ... begitu manis, bagaikan suatu cahaya harapan.
Apa suatu saat, aku bisa melihat senyuman semanis itu lagi?
Entah sudah berapa lama waktu berlalu, air mataku mengering. Napas juga kembali teratur. Aku merasa sangat lemas, tetapi ... ringan.
Tanpa sadar, aku sudah berada di pangkuan Fate. Dia tak henti mengelus rambutku.
Pandanganku redup. Tubuh terasa lelah.
Perlahan-lahan, aku memejamkan mata.
Kapan, terakhir kali aku diperlakukan sebaik ini?
"Selamat tidur."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 192 Episodes
Comments
John Singgih
menangis karena diperlakukan dengan baik
2022-05-29
0
☞︎︎︎🥨🥨🥨☜︎︎︎
nge feel sh
2021-10-29
0
Ritsu 73
haoabsjsgs
2021-10-29
0