Hari ke empat mengenalkan akademi kepada Fate.
Sangat memakan waktu padahal hanya menunjukkan gedung apa ini, fasilitas apa itu, berbagai macam akomodasi yang tersedia, dan hal-hal dasar lainnya.
Wajar saja, tempat ini luasnya keterlaluan. Bisa dibilang seperti kota dalam kota.
Aku mendengkus. Sayang orang yang tinggal di sini hanya sedikit dibandingkan dengan besarnya Akademi Vaughan.
Kadang jalan utama terlihat sepi. Aku bisa memaklumi karena rata-rata dari mereka sangat sibuk dengan misi atau tugas lainnya.
Terlebih tak banyak manusia memiliki kemampuan istimewa dan kami, meski aku dan Fate juga memiliki kekuatan spesial ... aku berbeda.
Kadang terasa ada kesenjangan. Mereka seperti menjauhiku, bahkan beberapa murid tak berani memandang mataku.
Bukankah ini seperti dulu? Ketika manusia takut padaku dan ....
Hanya Fate yang mau dekat denganku.
Dia dari dunia lain dan aku juga; dia tidak ingat apa-apa dan aku tak tahu banyak; dia sendirian dan aku kesepian, kami sama.
Begitu menurutku.
Aku menghentikan langkah dan mata membelalak ketika merenungi kata-kata barusan. Bukankah aku pernah mengatakan hal yang serupa?
'Jadi, kaulah orangnya.'
Mendadak kalimat itu menggema dalam kepala dan aku mencengkeram baju di dada kiri.
Bisikan, aku merasa khawatir dengan ini hingga terasa dingin perlahan merambat punggung.
Seketika bulir peluh mengalir kecil di kening karena aku ingat, waktu dulu ketika mendengar bisikan, aku lepas kendali dan ia---
"Red, orang itu terlihat kesulitan." Seketika Fate menarik lengan bajuku; memancing fokus pada orang yang ia maksud.
Benar. Di bawah pohon dekat lapangan basket, ada siswa yang tak henti berjalan ke sana kemari. Kedua tangan ia silangkan dan tangan kanan memegang dagu, terlihat seperti orang susah.
Kami pun mendekatinya. Namun, ia tampak kaget dan sedikit ... marah?
"Siapa kalian? Heh, mau menangkap adikku?!"
"Ah, tidak. Kami hanya ingin tahu apa kamu butuh bantuan ...," balasku.
"Bantuan? Aku cuma butuh makan dan minuman."
Aku pun menoleh kepada Fate, ekspresinya seperti ingin menolong orang ini.
Akhirnya aku menangguk dan pergi ke kafetaria terdekat di sekitar lapangan olahraga, diikuti oleh Fate.
Dari kejauhan, dia melihat kami tetapi kembali tak peduli; sibuk dengan pikirannya lagi. Entah mengapa juga merasa ada yang tak beres dengannya.
Setibanya, aku mendekati rak kaca penuh makanan bungkus; memilih satu kotak bekal instan dan sebotol air mineral; meletakkan layar ponsel ke depan kotak sensoris tepat di sebelah rak kaca.
"Oh!"
Aku langsung menoleh ke arah Fate, dia bagai ... menyadari sesuatu?
"Hm, ini? Kamu bisa menyimpan uang dalam dompet digital, jika ingin membeli sesuatu langsung saja melakukan scanning. Tidak hanya di Vaughan, di kota atau tempat umum lainnya pun sama. Kalau kamu mau, bisa langsung serahkan uangmu pada EVE yang ada di ruang waktu itu, nanti dia bantu proses," jelasku.
"Hmmm, menarik juga."
Aku terkekeh kecil melihat gelagat Fate. Tak bisa dimungkiri, dia memang imut.
Setelah selesai, aku mengambil makanan dan minuman yang sudah disediakan oleh mesin pintar ini.
Kami kembali mendekati pohon besar samping lapangan basket dan ... dia masih di sana. Apa dia sering berada di sini? Tetapi dia terkejut, tampak terlalu sibuk berpikir hingga tidak menyadari kami sudah di dekatnya.
"Ini. Saya harap, ini bisa membantumu," ucapku menyerahkan kantong berisi makanan dan minuman yang baru dibeli.
Siswa itu menatapku dalam-dalam dan menaikkan sebelah alis. "Huh? Kamu serius beliin aku ...."
Setelah menerima pemberianku, mendadak dia pergi, seperti terburu-buru. Sedangkan aku terdiam karena bingung dengan tingkahnya.
Seketika Fate menarik kerah bajuku---aaa, terlalu dekat, tetapi si gadis berbisik, "Red, bisa kita ikuti dia? Aku merasa ... ada sesuatu."
Aku mengangguk cepat. Tanpa pikir panjang mencoba mencari ke mana siswa itu pergi.
Ketika ditelurusi, ternyata dia masih di sekitar wilayah kafetaria, berdiri depan mesin jual otomatis. Aku mencoba menepuk pundaknya, tetapi siwa itu sudah menoleh terlebih dulu.
"Huh, kalian lagi! Sekarang mau kasih aku uang, nih?!"
Aku tertegun, dia sedikit membentak, tetapi Fate berkata, "Kau butuh uang?"
Cepat aku mengecek dompet. Ah, beruntung masih ada uang muka.
Aku pun mengeluarkan beberapa lembar uang secukupnya. "Ambilah jika kamu sangat butuh."
"Ini ke dua kalinya kalian memberiku sesuatu, benar-benar merasa kasihankah?" Dia menunduk, menggigit bibir bawah dan pelan-pelan mengambil uang yang ada di tanganku.
Sebelum pergi, samar-samar dia bergumam, "Masih ada orang baik di dunia ini? Huh, kok bisa ...."
Dan siswa itu berlari meninggalkan aku dan Fate yang masih tetap berdiri, mata jelagaku menyaksikan dia semakin jauh dari kafetaria.
Sedangkan Fate terdiam dan menyentuh dagu, cukup lama. Aku masih berdiri di sampingnya.
Fate seperti memikirkan sesuatu, rasanya ingin menanyakan apa itu, tetapi di sisi lain tidak mau mengganggu sebab terlihat begitu serius.
Hingga Fate tertegun dan menoleh ke sana kemari, seperti terkejut mengetahui siswa tadi sudah tidak ada di sini.
Fate mencoba menelusuri ke mana perginya. Menaiki tangga di sebelah kiri kafetaria yang menuju jalan utama akademi ... kosong, kami kehilangan jejak.
"Mungkin kita bisa bertemu lagi dengannya nanti. Lagi pula masih ada yang harus kita lakukan," ucapku setelahnya, Fate hanya mengangguk sebagai respons.
...****************...
Kami kembali ke club untuk makan malam.
Aku berada di paling pojok kiri meja makan memanjang. Entah mengapa, terasa seperti diasingkan, tetapi tak peduli dan terus memakan daging sapi panggang beserta sayurannya.
Enak.
Ini mengingatkan dengan masakan orang terkasihku. Andai masih hidup, pasti tak henti mengajarkan berbagai macam resep.
Mengunyah pelan makanan, aku merasa rindu masa-masa itu. Aku tidak berani untuk kembali memasak ... mengingatnya kembali.
Mendadak perasaan itu kembali menusuk---ah, aku tak mau mengingatnya lagi pun berusaha mengenyahkan pikiran; aku sedikit menggeleng dan menoleh ke kanan.
Seperti biasa, mereka ramai berbincang-bincang sambil melahap makanan di atas meja. Di sampingku hanya ada Crist.
Dia cukup khidmat menikmati makan malam, bahkan sesekali menyisihkan rambut ungu nan panjang ke belakang telinga.
Tidak mau mengganggunya, jadi aku berpaling ke arah Fate di depan. Gadis itu terus saja terdiam dengan mata menatap kosong makanan di piring.
"Masih memikirkan siswa tadi siang?" Yang dituju sepertinya tidak mendengarku, tergolong mereka--para anggota club--juga cukup ramai. "Kalau makananmu habis, kita bisa keluar mencarinya."
Fate langsung menatapku dan---ah, akhirnya dia menyentuh makan. Aku merasa lega dan ikut menghabiskan makanku.
Setelah selesai, Fate menatap Crist dalam-dalam. Rasa ingin tahu menggelitik pun aku turut melihatnya, tetapi Crist sudah berdiri dari kursi.
"Red, Fate, jika sudah selesai aku bawakan piringnya, ya? Kalian ingin pergikan?"
"Eh, bagaimana kamu tahu?" tanyaku heran.
"Aku duduk di sampingmu, jadi bisa dengar." Crist tersenyum lembut dan mengambil piring kami yang sudah kosong. "Maaf kalau terkesan menguping tapi apa pun yang kalian lakukan, semoga beruntung!"
...****************...
Aku membawa payung demi meneduhi kami berdua karena salju kembali turun.
Sudah cukup lama menelusuri akademi, tetapi belum juga menemukan sang siswa.
Malam dingin seperti ini tak mungkin ia keluar club. Namun, Fate menarik ujung bajuku, menuntun pada tempat siang itu.
Di bawah pohon besar dekat lapangan basket yang sudah putih karena salju, dia di sana. Apa yang dilakukannya?
"Malam ini sedikit dingin, adikku bagaimana ...." Dia kembali bergumam, tetapi aku bisa mendengarnya.
Akhirnya aku mencondongkan payung agar salju tidak terus-terusan memendam dia yang melamun.
Menyadari ini, siswa itu menatap sendu kepada kami. "Kalian lagi ...."
"Salju turun malam ini, jadi aku bawakan teh hangat," ucap si gadis seraya menyodorkan minuman kaleng.
Ah, ternyata Fate sudah mempersiapkannya.
"Terima kasih banyak, aku bingung harus berbuat apa kalau kalian enggak menolongku. Ramuan sudah aku dapatkan ... tapi keanehan itu kembali lagi." Siswa ini terus menggumamkan hal yang tidak aku mengerti.
Aku memutuskan untuk melihat Fate, dia berwajah sedikit serius. "Boleh kami bertemu adikmu?"
"Baiklah, tapi kita harus melakukan teleportasi ke sana. Aku tidak mau ada orang lain yang tahu. Jika kalian tidak keberatan, akan kuberikan koordinatnya ke Heart Core kalian."
Kami mengangguk setuju dan mengeluarkan Heart Core dari tas pinggang masing-masing.
Kemudian dia menampilkan layar holografi dan Heart Core dalam genggaman tangan kami beresonan.
Seketika, kami melakukan teleportasi. Ah, sensasi ini, seperti tertarik dalam ruangan yang diguncang-guncangkan.
Aku memilih untuk menutup mata dan setelah kubuka ... sudah berada di dalam gua.
Tunggu, bagaimana bisa dia memiliki akses ke tempat ini? Mungkinkah sepeninggalan markas sementara untuk misi grade tinggi?
Belum sempat bertanya, siswa tadi langsung berlari dan Fate mengikuti. Sedangkan aku berjalan pelan melihat-lihat sekitar.
Tempat ini remang-remang dan sedikit lembap. Setelah masuk lebih dalam, terdengar suara rintihan. Aku turut menyegerakan langkah.
Di depan, aku melihat ... gadis kecil, badannya sedikit bersisik dan dia menangis tersedu-sedu bagai menahan sakit.
Fate bergegas bersimpuh di dekatnya dan memegang pipi anak itu.
"Red, dia terkontaminasi."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 192 Episodes
Comments
John Singgih
ternyata dia butuh pertolongan segera
2022-05-28
0
☠️ghostring☠️
kômèn
2021-11-01
0
☞︎︎︎🥨🥨🥨☜︎︎︎
di bwah phon liat penampakan
2021-10-29
0