Saat aku kecil, aku tidak tahu apa yang mereka lakukan.
Di balik jeruji kayu, aku terkurung.
Dari dalam aku melihat mereka menundukkan kepala dan mendekap kedua tangan.
Sebelum ini mereka mengatakan sudah lama menungguku. Mereka menggendongku dan tertawa.
Sungguh merah, kata mereka. Sesuai sekali, lanjut mereka. Aku adalah bintang, puji mereka. Aku akan disimpan, pekik mereka. Tidak ada yang boleh menyentuhku, teriak mereka.
Dan aku berakhir di sini.
Ruang ini sungguh sempit. Tiap hari, aku melewati waktu dengan diriku sendiri dan orang-orang---ah, aku harap mereka selalu berdatangan.
Hingga aku terus tumbuh dewasa, masih tetap terkurung.
Aku tidak tahu apa pun mengenai diri sendiri dan merasa takut dengan perubahan yang terjadi, kaki lebih panjang; juga dengan jemari. Tidak ada yang mengajariku.
Mencoba mencari jawaban, bertanya aku ini apa? Seperti apa? Ini di mana? Dan untuk apa ada di sini? Tetapi ke mana pun melangkah, hanya ada aku ... sendirian.
Lama kelamaan aku mulai cemas dan ketakutan, tidak tahu sudah berapa lama terkurung.
Orang-orang yang berdatangan tampak berbeda.
Akhirnya aku mencoba meniru mereka--berdoa--berharap bisa keluar dan bertemu orang-orang itu. Aku ingin digendong dan diperlakukan baik, seperti dulu.
Di balik jeruji kayu, aku merentangkan tangan. "Aku ... ingin bersama kalian."
Malamnya aku dikejutkan dengan tawa yang keras.
Aku merasa sangat takut karena ada sosok bayangan sepenuh ruangan. Namun, aku memberanikan diri.
Sebelumnya aku sempat memohon 'kan?
Aku yakin dia datang, malaikat penolong memenuhi panggilanku.
Lalu dia mengatakan sesuatu yang tidak aku mengerti, tapi mendengar itu kepala sungguh pusing.
Sakit.
Seolah-olah dihantam sesuatu, aku mengerjap dan mulai memejamkan mata karena ruang terasa berputar.
Takut kehilangan kesadaran, maka sebelum itu aku berkata, "Aku mohon, keluarkan aku."
Tapi dia tertawa, kencang sekali.
Aku mulai merasa terusik. Takut, badanku akhirnya bergetar.
Apa lagi mendengar tawanya terasa jiwa seperti lepas secara perlahan.
"Baiklah. Kau terbuat dari kami para iblis. Jika kau mau, aku bisa melepasnya."
"I-iya, mau. Lakukan, ce-cepat lakukan! Tak tahan lagi."
Gelap.
Lalu ... berjalan.
Aku keluar.
Aku keluar? Akhirnya!
Namun, di belakang sangat menyilaukan.
Lorong gelap sirna, berganti jajaran api merambat hingga ke depan. Rasanya cahaya itu begitu menusuk mata, maka aku berlari.
Akhirnya, kulihat langit yang tak berujung; laut dalam yang indah; hidup baru senantiasa lahir, tapi masih hanya ada aku. Di mana orang-orang?
Aku pun terus mencari, tak henti melanjutkan perjalanan.
Saat tiba di pinggir danau, aku melihat burung aneh leher panjang itu berenang.
Ketika ingin mendekatinya, mendadak mengurungkan niat karena dingin air menjamah kaki, tapi aku melihat bayangan.
Bayangan itu meniru apa yang aku lakukan. Itukah, aku? Bola mata dan rambutnya berwarna sama. Mungkin itu yang mereka sebut dengan merah. Eh, apa benar? Aku masih tak paham.
Aku yakin jawabannya ada di dunia ini, akhirnya kembali melanjutkan perjalanan sampai bertemu makhluk yang asing, tapi mereka mirip sekali dengan orang-orang yang dulu bersamaku.
Mungkinkah mereka manusia?
Namun, aku tidak mengerti apa yang mereka katakan. Bahasa mereka banyak sekali. Begitu pula emosinya. Ada yang mengentakkan kaki; mengalirkan air mata; tertawa.
Manusia itu lebih pintar daripada makhluk yang sering ditemui dalam hutan, mereka bisa membuat pesawat kertas!
Akhirnya aku mencoba mendatangi mereka, berharap manusia dapat menjelaskan tentang diriku.
Namun, langkah kakiku dihentikan oleh aroma harum.
Aku mengendus, mendekati wangi itu dan berakhir melihat jajaran sesuatu yang bulat--roti.
Ketika mencoba mengambil satu, mendadak aku ditendang hingga terhempas ke tembok. Begitu kuat, pandanganku langsung memburam sesaat dan bau adonan tenggelam dalam amis menyengat.
Terasa sesuatu mengalir di belakang kepala, aku pun mengusapnya dengan tangan---ah, mungkin benar aku ini merah.
Susah payah aku mencoba bangun karena kepala terasa berat. Dengan sedikit terhuyung, aku melihat manusia itu lagi.
Sayangnya, aku kembali dipukul dan diinjak-injak.
Seketika aku menangis karena sekujur tubuh terasa nyeri.
Dia terus membentak hal yang tidak kumengerti dan setelahnya, aku dibiarkan begitu saja di pinggir jalan.
Tak lama aku melihat ada manusia lain yang datang ke tempat itu.
Ingin sekali menahan dia untuk jangan dekat-dekat ke sana, tidak mau dia berakhir sepertiku. Namun, aku tak sanggup untuk bangun.
Badan sungguh lemas; penglihatan juga buyar, hanya merah di tanah mengalir dariku yang terlihat sungguh jelas.
Ah. Manusia itu ternyata tidak memukulnya, justru memberi dua potong adonan kepada orang yang berdatangan.
Setelah kesadaran berangsur-angsur kembali, rasa penasaranku memancing untuk mengikuti manusia yang baru datang itu.
Dia berhenti pada tempat lain.
Di situ dia ... makan? Melihatnya, aku merasa lapar tapi apa itu konsep lapar dan makan? Apa saja yang harus kita makan? Aku tak mengerti.
Namun, dia menancapkan alat makannya ke pundakku ketika aku mendekat. Refleks aku menjerit.
Apa aku makanan? Tetapi rasanya ngilu, benda dingin itu masuk dalam tubuh dan merah kembali mengalir.
Bahkan ia tak henti berteriak dengan menunjuk aku yang sudah terjatuh ke tanah.
Manusia lainnya datang, dia terlihat ... marah?
Manusia yang ingin makan itu melempar piring---ah, sayang makanannya jatuh.
Ketika ingin kuambil, aku justru kembali ditendang oleh manusia lainnya. Lalu dia menendang perutku dan beku perlahan merambat.
Sakit. Perih sampai ke ubun-ubun.
Inikah, rasanya menderita?
Akhirnya banyak manusia mengerubungiku.
Manusia yang pertama aku datangi berteriak kepada mereka semua.
Mereka pun menendang-nendangku lagi.
Hentikan! Aku membatukkan merah.
Tidak tahan. Rasanya sungguh menyiksa, tapi dalam dada seperti ada yang lebih sakit daripada ini.
Aku mencakar tanah. Menahan nyeri. Hentikah! Aku menangis kencang.
Apakah benar, ini ... manusia?
Aku terlihat seperti mereka, tapi kenapa?
Kenapa berkali-kali mereka menyiksaku? Setiap waktu; di lain saat, dan aku hanya bisa menjerit sarat meminta pertolongan.
Menyedihkan.
Apa pun yang mereka lakukan, hanya menyakiti.
Berhari-hari; bertahun-tahun, aku tidak mempelajari apa-apa dari mereka selain kepedihan.
Benda tajam menembusku; benda lainnya menghunusku, aku merasakan ini berulang-ulang hingga ... biasa. Mempelajari itu semua; menyerap itu semua, yang membusuk dalam dada sampai terasa sesuatu memenuhi tubuh.
"Akhirnya kau menyerap Deadly Sins."
Suara tawa nan khas kembali menggelitik aku yang sudah terbaring lemas.
Malaikat penolong, dia datang.
Susah payah aku mencoba merentangkan tangan, tapi dia hanya tertawa dan ... menghilang.
Lalu suatu gulita keluar dari badanku, menjalar hingga ke lengan. Kemudian tanganku menggenggam sebuah pedang ramping yang panjang.
Seketika aku mengerti bahwa itu hatiku, berubah tajam dan menyakiti.
Sudut bibirku tertarik samar membentuk lengkung sabit penuh rasa pedih. Pandanganku pun diisi warna kelabu.
Drama menyedihkan.
Beberapa saat kemudian, semua menjadi gelap. Tidak ada lagi pendar bulan, hanya gulita menyelimuti dan menarik kesadaranku secara perlahan.
Bertemu manusia adalah mimpi terburuk.
......................
...Dalam jiwanya, ada rahasia. Dalam matanya, bisa menganalisis sekitar. Namun, sosok kelam dihadapan ... tidak dimengerti....
...(Bagaimana Fate pertama tiba di Organisasi Vaughan dan menjumpai REDstar)...
...https://trakteer.id/applelikecaramel/showcase/pertemuan-fate-pov-AE0WI...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 192 Episodes
Comments
John Singgih
penderitaan sang tokoh utama
2022-05-20
0
Soratobazu
euh
2021-11-17
0
☠️ghostring☠️
komen.
2021-11-01
0