Episode 7

Kulemparkan tubuhku di sofa ruang tamu. Rasanya benar- benar nikmat sekali. Punggung dan bahuku terasa sakit sekali. Restoran makin hari makin ramai sekali. Aku dan kedua karyawanku rasanya tak cukup mengatasi ini.

'' Capek Ibra? '' tanya ibu yang ikut duduk di ruang tamu.

'' Sedikit bu...''

'' Oh ya... ibu menemukan ini saat membersihkan kamarmu. Milikmu?''

Spontan aku langsung mengambil rosario itu dari tangan ibu. Melihatku seperti itu, ibu hanya memandangku tajam.

'' Ini pemberian teman bu...'' ucapku.

'' Sepertinya sangat berharga. '' sahut ibu.

Aku hanya diam.

Kulihat ibu akan beranjak dari tempat duduknya, sebelum itu...

'' Tunggu bu... ''

Kuhela nafas panjang. Tak seharusnya aku membuat ibuku merasa seperti orang asing dalam kehidupan putranya sendiri.

'' Apa pemberinya adalah calon menantu ibu? ''

'' Kenapa ibu bisa berpikir seperti itu? ''

Ibu hanya tersenyum.

'' Kenapa tidak pernah membawanya pada ibu? ''

'' Saat itu... Ibra tak cukup percaya diri untuk mendekatinya sebagai seorang pria yang menginginkanya bu. Ayah meninggalkan kita, kondisi keuangan kita buruk, dan kondisi kesehatan ibu pun tidak stabil. Ditambah dia yang membantu biaya sekolah Ibra dan biaya pengobatan ibu. Ibra semakin tidak punya keberanian bu. ''

Ibu terlihat syok dengan ceritaku. Matanya mulai berkaca- kaca.

Sungguh sebenarnya aku tak ingin ibu mengetahui ini sampai akhir. Biar aku yang menyimpannya sendiri bu. Akan tetapi bila aku tetap diam, entah seberapa dalam kecewa ibu padaku. Seberapa asing putramu ini di matamu.

'' Dimana dia sekarang? '' tanya ibu.

'' Entahlah bu. Kali terakhir Ibra bertemu dengannya ialah 11 tahun yang lalu. Saat dia memperkenalkan kekasihnya pada Ibra, bu...''

Kali ini airmata ibu benar- benar jatuh.

Kuberikan pelukanku pada ibu.

'' Maaf karna tidak pernah memahami deritamu, Ibra... '' ibu menangis sesenggukan di pelukanku.

'' Selama Ibra masih memiliki ibu, Ibra tidak semenderita itu bu. Jangan menyesal. Juga jangan bersedih atas pengakuan Ibra ini. Cukup lihatlah Ibra yang sekarang. Putra yang ibu besarkan. Bisa jadi, segala kebaikan yang Ibra dapatkan di masa sekarang, adalah bentuk kompensasi dari Tuhan atas ujian dan kesedihan di masa lalu. Cukup berpikir seperti itu saja bu. Maka semoga hati kita akan baik- baik saja.''

'' Se dewasa inikah putra ibu...?''

Kulepaskan pelukanku. Ku usap airmata di pipi ibu. Dan kuberikan senyum terbaikku padanya.

.

Ibu telah masuk ke kamarnya. Sementara aku berdiri di balkon kamarku. Tidak ada rasa mengantuk sama sekali. Meskipun badanku terasa sangat lelah.

Ku pandangi Hp ku. Haruskah aku menghubunginya?

Beberapa menit kemudian...

' Sudah tidur? ' ku kirim pesan pada Nadia.

Di menit itu juga.

' Belum. ' Nadia membalas pesanku.

' Bolehkah mengajakmu mengobrol di telpon? ' Kirimku.

' Kapanpun jika ingin menelpon, langsung saja. Kita teman pilihan orang tua bukan? hehe' Balasnya.

Ku telpon Nadia.

'' Halo...'' jawab Nadia.

'' Betul tidak mengganggumu? '' tanyaku memastikan.

'' Tidak Ibra... ayolah lebih santai. ''

Krikkk

Krikkk

'' Ehm... sebenarnya aku ingin mengajakmu mengobrol tapi...''

'' Tapi kamu bingung harus ngobrol apa...'' sahut Nadia sembari tawanya terdengar olehku.

'' Kamu sedang apa Ibra? ''

'' Ehm... hanya berdiri di balkon kamarku. ''

'' Merasa kesepian? '' tanya Nadia.

'' Kurasa... ya. '' jawabku.

Biasanya untuk pertanyaan yang melibatkan perasaan terdalam aku jarang menjawabnya. Tapi dengan Nadia, semua pertanyaan terasa menenangkan.

'' Nanti... kapanpun kamu merasa kesepian dan butuh teman bicara. Kamu bisa menelponku. '' ucap Nadia.

'' Lebih dari itu?? ''

'' Hahh?? '' nada suara Nadia terdengar terkejut.

'' Tenang! Tenang! Maksudku mungkin lain kali bisa bertemu...'' jelasku agak sedikit tergesa- gesa. Takut kalau kalau Nadia salah paham.

'' Baiklah. Mari bertemu lain kali Ibra. Mari sama- sama mulai mencoba menjadi teman pilihan orangtua yang baik. ''

'' Kurasa sejak awal... kamu sudah mencoba menjadi teman yang baik. Kamu mencoba membuatku merasa nyaman. Bahwa mengenalmu tidak harus membuatku menjadi orang lain. ''

'' Karna menjadi orang lain adalah hal yang paling melelahkan Ibra...''

Kurasa nada suara Nadia terdengar begitu menyedihkan. Sedihkah dia? Mengapa kalimatnya yang terakhir membuat hatiku merasa bahwa hatinya sedang tak baik- baik saja. Sebenarnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!