Matahari sudah mulai naik, sekarang pukul 10.00 pagi. Berkali-kali Papa mengetuk pintu kamar Vivi namun tak ada sahutan. Papa menggelengkan kepalanya sekaligus khawatir.
“Vivi..” ‘Tok tok tok’
“Vivi bangun, Nak.” Masih belum ada sahutan dari dalam. Papa memanggilnya sekali lagi. Vivi memicingkan sebelah matanya kemudian meregangkan otot-ototnya. Ia melirik kearah jendela. Sinar matahari telah sampai memasuki ventilasi kamarnya. Vivi bangun dan duduk sambil menguap.
“Hooaammm, jam berapa sih ini.” Kemudian mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja kecil didekat tempat tidur. Matanya terbelalak begitu melihat jam yang tertera di layar ponselnya. Ia buru-buru bangun tanpa memberesakan seprai yang berantakan tersebut dan berlari keluar kamar menuju kamar mandi.
Setelah selesai mandi ia merasakan kesegaran yang luar biasa. Vivi tersenyum lebar kemudian melangkah dengan penuh semangat. Ia melihat Papanya sedang bersiap-siap untuk menaiki sepeda didepan rumahnya. Vivi berlari mendekati Papa.
“Pagi, Pah.” Papa menoleh. Keningnya berkerut kemudian mengangguk sambil tersenyum.
“Makanan udah ada dimeja makan. Kalau kamu lapar jangan segan-segan ya. Papa mau kekebun dulu.”
“Oh ya, Pah. Kok sepi ya. Ngomong-ngomong yang lain kemana ya?” Tanya Vivi seraya berkeliling melihat keadaan sekitar.
“Tadi pagi kamu ditungguin Kakakmu dan Raffi untuk jalan-jalan mengelilingi desa sambil melihat-lihat kebun. Tapi kamu susah dibangunin.”
“Yah ditinggal dong.”
“Kamu mau ikut Papa lihat kebun?” Tanya Papa.
“Em engga deh, Pa. Vivi mau nunggu mereka pulang aja.” Jawab Vivi bermalas-malasan.
“Yaudah Papa berangkat dulu. Kalau ada apa-apa segera telpon Kakakmu.”
“Iya, Pah, hati-hati.” Kemudian Papa segera mengendarai sepedanya dan pergi meninggalkan Vivi. Vivi mulai kebingungan.
“Duh enaknya ngapain ya? Kekamar aja deh?” Katanya kemudian langsung bergegas menuju kamar.
Empat jam kemudian, Vivi sudah merasa bosan dan suntuk berada sendirian dirumah. Ia sangat kesal karena yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Kemudian telinganya mendengar suara deruman motor dari arah depan. Ia segera bergegas untuk melihatnya.
Farhan dan Raffi sudah terlihat akrab. Mereka mengobrol sambil sesekali tertawa dan saling menepuk bahunya disela-sela gurauannya. Vivi mengerucutkan bibirnya sambil tangannya menyilang didada. Ia berdiri di dekat pintu rumah. Farhan dan Raffi memasuki rumah dan tak menyadari adanya Vivi.
“TEGA!” Bentak Vivi. Kedua laki-laki tersebut terperanjat. Saking kagetnya sampai terpental menabrak dinding rumah.
“ASTAGFIRULLAH.” Ucap mereka berdua sambil mengelus dada. Vivi melotot.
“Gue pikir setan penunggu rumah ini.” Kata Farhan.
“Emangnya dirumah ini ada setannya, Han?” Tanya Raffi menoleh ke Farhan.
“Kadang emang sering muncul.” Jawab Farhan bercanda.
“Vi, tadi setannya muncul gak pas lo sendirian?” Raffi menakut-nakuti Vivi.
“Apa jangan-jangan ini bukan Vivi. Ini setan yang menyerupai Vivi ni. Gue yakin banget. Ya kan, Han?” Kata Raffi berbicara seolah-olah serius. Farhan yang mengetahui bahwa Raffi sedang menggoda adiknya, ia pun ikut bertingah serius.
“Kayaknya iya deh, Fi. Soalnya setan disini sering banget nyerupa gitu. Kadang jadi bokap gue, kadang jadi gue,”
“Wah bener ini, Han. Ini setan nih. Cari Vivi yang asli yuk, kasian dia di umpetin setan, pasti sekarang lagi nangis-nangis tu.” Raffi melihat kesekeliling seolah-olah sedang mencari sesuatu. Vivi semakin kesal. Mukanya memerah dan matanya melotot.
“Nah kan bener, bukan Vivi ini. Lihat matanya serem banget.” Farhan berlari menjauhi Vivi dengan diikuti Raffi.
“ELU SETAN!” Bentak Vivi kemudian ia masuk kekamar.
“HAHAHAHA, NGAMBEEEKK.” Ledek Raffi. Farhan sudah tertawa terbahak-bahak sampai suaranya tak terdengar lagi.
“Vi,, lo kalo ngambek gak diajakin jalan sama Raffi looo.” Ledek Farhan sambil memegangi perutnya yang sakit gara-gara tertawa.
“Tau ah, ngambekan, mending isi perut, lapar gue, mau gak lo,Vi?” Tanya Farhan sambil tertawa renyah. Ia berdiri didepan pintu kamar Vivi, dilihatnya Vivi sedang duduk sambil memainkan ponsel. Wajahnya terlihat marah.
“Gamau ya, yaudah gue makan sendiri.” Farhan bergegas menuju meja makan. Vivi tak acuh sambil terus memainkan ponsel.
Raffi masuk kekamar Vivi dan duduk di sebelah Vivi.
“Masih marah?” Tanyanya dengan suara lembut. Vivi mengacuhkannya.
“Jalan-jalan yuk. Lo kan belum ada keluar sama sekali. Bagus tau pemandangannya, lo pasti gak nyesel, yuk?” Ajak Raffi berusaha menghiburnya. Vivi masih terdiam.
“Ayoklah, sekalian ini permintaan maaf gue gara-gara tadi ninggalin lo jalan-jalan.” Katanya lagi. Vivi menoleh ke arahnya. Raffi pun sedang menatapnya. Hingga tanpa sengaja Vivi menatap bola mata Raffi. Vivi merasakan kelembutan disana. Raffi tidak pernah membencinya justru malah berusaha melindunginya semua terlihat jelas dimatanya.
Lima detik mereka saling menatap. Vivi sadar dan berusaha membuang muka. Raffi hanya tersenyum melihat reaksi Vivi. Kemudian Vivi berdiri dan menoleh ke Raffi.
“Yaudah, jadi gak?” Katanya dengan raut muka masam. Raffi tersenyum lebar, kemudian bangkit dan menarik tangan Vivi keluar.
“Iih gak perlu tarik-tarik juga, gue bisa jalan sendiri.” Katanya sambil marah-marah.
“Oh, its ok.” Raffi berjalan melenggang kedepan. Vivi mengekorinya dengan perasaan yang masih kesal.
Sesampainya ditempat yang dituju, Vivi terpana melihat pemandangan tersebut. Sejuk, banyak pepohonan dan terasa begitu nyaman. Ia menghirup udaranya dalam-dalam sambil memejamkan mata.
“Suka?” Tanya Raffi. Vivi mengangguk tersenyum dengan mata masih terpejam.
“Suka.” Jawabnya.
“Gue juga suka.” Kata Raffi.
“Sama lo.” Lanjutnya. Vivi buru-buru membuka matanya dan menoleh.
“Apa barusan? Gue gak terlalu dengar?” Tanya Vivi serius.
“Iya gue suka loh sama pemandangannya sama kaya lo. Emang bagus banget sih ini, jadi betah pengen lama-lama disini, ya kan?” Raffi berkilah. Ia memandang lurus kedepan menghindari mata Vivi.
“Owhh, iya emang nyaman banget bikin betah.” Kata Vivi sambil menatap Raffi dengan tatapan curiga. Namun ia menepis dugaan-dugaan yang muncul dikepalanya. Ia kembali memutuskan untuk menikmati suasana yang tak dapat ia rasakan saat kembali ke kota nanti.
“Fi,”
“Ya,?”
“Makasih yah.”
“For What??”
“Karena lo udah bawa gue ketempat sebagus ini.”
“Oh, its ok. Kalo kamu pengen jalan-jalan lagi aku siap kok nemenin kamu. Kemana aja.” Raffi tersenyum.
“Lo gak marah?”
“Marah kenapa?”
“Karena gue selama ini memperlakukan lo dengan buruk.”
“Marah lah.”
“Terus?”
“Tapi dulu, sekarang udah enggak.” Jawab Raffi sambil melangkahkan kaki meninggalkan Vivi. Vivi menatapnya dari belakang kemudian mengejar Raffi dan menjejeri langkahnya.
“Kenapa?”
“Kenapa apa?”
“Kenapa gak marah?” Raffi menoleh dan menatap Vivi. Vivi pun balik menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya. Kemudian Raffi kembali melanjutkan perjalanannya.
“Gak tau, udah gak marah aja gitu rasanya.” Kata Raffi. Vivi menatap wajahnya. Raffi tetap fokus menatap kedepan dengan pandangan kosong. Vivi tidak tahu dengan apa yang Raffi rasakan. Raffi pun tidak yakin dengan perasaannya. Ia terdiam cukup lama dan tak menghiraukan Vivi yang berjalan disebelahnya.
“Udah sore, pulang yuk.” Ajak Raffi. Vivi mengangguk. Mereka pun pulang kerumah Papa dengan mengendarai sepeda motor milik Farhan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments