Raffi

Malam ini Vivi dan Angga sedang makan malam bersama Papa. Papa memberitahukan hal yang penting kepada mereka.

“Angga, Vivi, lusa Papa akan pergi keluar negeri karena suatu pekerjaan. Jadi Papa memutuskan untuk menjodohkan Vivi dengan anak teman Papa.” Kata Papa. Seketika Vivi tersedak. Ia terbatuk-batuk dan segera mengambil minum. Angga pun tak kalah kagetnya.

“Pa! Maksud Papa apa?!” Teriak Vivi.

“Vivi, Papa punya kenalan. Dia anak temen Papa. Dia anak yang baik. Dia juga akan meneruskan perusahaan ayahnya. Kamu cocok sama dia. Cuma itu yang Papa lakukan buat kebahagiaan kamu, Nak.” Kata Papa.

“Tapi gak harus tiba-tiba jodohin, Pa. Vivi punya pacar. Vivi punya hak buat memilih.” Kata Vivi berusaha menolak keinginan Papa. Angga hanya terdiam tak berani ikut campur urusan Papa dengan Vivi.

“Papa gak peduli. Papa gak suka dengan cowok pilihan kamu. Anaknya petakilan gak jelas asal usulnya. Kamu harus nurut sama Papa.” Kata Papa tegas.

“Pa,” Vivi merengek. Papa tetep kekeuh dengan keinginannya.

“Vi, kamu tau kan Papa udah janji sama ayah kamu untuk memberikan yang terbaik buat kamu. Cuma itu yang bisa Papa kasih buat kamu, nak. Tolong jangan buat Papa kecewa.” Papa beranjak meninggalkan meja makan. Vivi terlihat kesal dengan keegoisan Papa. Angga memberanikan diri berbicara.

“Vi, Papa ada benernya. Niat Papa itu baik. Gak ada orang tua yang mau menjerumuskan anaknya meskipun bukan anak kandung.” Kata Angga. Vivi berdiri dari kursi dan pergi meninggalkan Angga sendiri di ruang makan.

Sudah sejak lama Papa berniat menikahkan Vivi dengan anak sahabatnya. Ia yakin anak sahabatnya bisa membahagiakan Vivi dan mensejahterakan hidupnya. Ia hanya memiliki satu perusahaan dan itu akan ia turunkan kepada Angga. Karena Angga laki-laki. Ia lebih pantas untuk menjadi pemimpin. Namun ia tidak pilih kasih. Ia tidak ingin membiarkan Vivi hidup tanpa masa depan yang terjamin seperti Angga. Oleh karena itu, ia menjodohkan Vivi dengan anak sahabatnya yang merupakan bos kaya raya. Anaknya akan menggantikan posisi ayahnya. Papa tidak meragukan kehidupan Vivi kelak jika Vivi menikah dengan anak sahabatnya tersebut. Adil bukan?

Keesokan harinya, Papa kedatangan tamu. Ternyata tamu itu adalah sahabat Papa beserta anaknya yang akan dijodohkan dengan Vivi.

“Vivi, kenalkan ini Raffi.” Kata Papa kepada Vivi. Raffi mengulurkan tangannya. Vivi diam namun Papa menyenggol tangannya. Vivi pun terpaksa menyambut tangan Raffi.

“Raffi.” Kata Raffi.

“Viviana Putri.” Sahut Vivi.

“Vivi, temani Raffi ya. Papa sama Papanya Raffi mau ngobrol didalam. Ada urusan penting mengenai pekerjaan yang harus kami bicarakan.”

“Iya, Pa.” Vivi sedikit kesal namun berusaha ramah kepada Raffi. Papa pun masuk kedalam diikuti oleh Papa Raffi. Mereka terdiam. Saling canggung dan bingung. Vivi mulai bosan dengan situasi ini. Ia pun memulai pembicaraan.

“Kok diam aja sih. Diminum tuh tehnya. Nanti mubazir.” Kata Vivi.

“Iya.” Sahut Raffi.

“Yaudah cepet minum jangan diliatin doang!”

“Galak banget sih.”

“Biarin. Masalah buat lo?”

“Engga.”

“Yaudah.”

“Nyolot banget.” Gumam Raffi namun terdengar lirih di telinga Vivi.

“Ngomong apa lo barusan?!”

“Ngomong apa gue gak ada.”

“Ih sebel gue sama lo.”

“Sama.”

“Apa!” Vivi melotot. Raffi hanya cuek sambil melihat ke arah lain. Vivi mendengus kesal. Malam ini adalah malam pertemuan mereka yang pertama kali dan memberikan kesan kurang mengenakan bagi Vivi.

Saat Vivi sedang duduk menyendiri di depan rumah, Angga datang menghampiri dan berkata.

“Lagi mikirin siapa lo, Vi? Raffi ya?” Angga nyeletuk sesukanya.

“Enak aja lo bilang!?” Vivi kesal. Wajahnya langsung mengkerut. Angga tertawa.

“Haha.. ya habis lo duduk bengong sendirian gini.”

“Gue tu lagi kepikir Papa gitu. Aneh gak sih tiba-tiba jodohin gue sama cowok gak dikenal gitu udah jelas gue punya pacar.”

“Udah kenalan kan, Vi?”

“Sama?”

“Raffi.”

“Udahlah tadi malam.”

“Tu katanya gak dikenal.”

“Eeh maksudnya. Ih lo tu ya ngeselin banget!” Vivi makin kesal karena terus digodain Angga. Angga terus tertawa melihat adiknya marah-marah.

“Gue becanda Vivi. Oke-oke coba nanti gue tanya sama Papa, alasan Papa jodohin lo sama Raffi.” Angga beranjak pergi. Ia menghampiri Papa yang sedang duduk sambil membaca koran di ruang tamu.

“Pa, Vivi kan udah punya pacar nih, terus kenapa Vivi dijodohkan sama Raffi. Apa alasan Papa?” Tanya Angga. Papa meletakkan koran di atas meja dan menyeruput kopinya.

“Gini, ga. Dulu Papa sama Mama udah janji dengan temen Papa untuk menjodohkan anak-anak kami supaya ikatan persaudaraan kami tidak putus. Kebetulan anaknya temen Papa itu laki-laki jadi Papa jodohkanlah sama Vivi. Papa hanya ingin menepati janji yang telah kami buat bersama Mamamu.”

“Ooh.” Angga mengangguk tanda mengerti. Kemudian Papa beranjak pergi menuju kamarnya.

Hari minggu tidak terlalu banyak kegiatan yang dilakukan oleh Vivi. Hanya menonton TV, membaca buku, mengerjakan tugas sekolah atau sekedar bermain game di gadgetnya. Tiba-tiba Bi Ijah mengetuk pintu kamarnya.

“Permisi Non Vivi, didepan ada yang ingin menemui Non Vivi.”

“Siapa, Bi?” Tanya Vivi.

“Yang kemarin, Non.” Setelah berkata Bibi langsung pergi kedapur. Vivi penasaran. Ia pun bergegas menuju ruang tamu. Sesampainya disana ia malah kesal karena yang datang adalah seseorang yang ia benci.

“Ngapain sih lo kesini.” Kata Vivi dengan nada jutek.

“Sebenarnya gue juga ogah kesini. Terpaksa aja. Lebih tepatnya dipaksa.” Jawab Raffi yang juga kesal terhadap perlakuan Vivi.

“Vivi, temani Raffi mencari kado ulang tahun ibunya.” Tiba-tiba suara Papa terdengar dari arah belakang. Vivi menoleh. Ia menjadi semakin kesal. Namun ia tidak bisa membantah Papa. Ia pun bersiap-siap untuk pergi menemani Raffi.

“Lo gak punya pacar apa?!” Kata Vivi setelah mereka berada di dalam mobil.

“Gak.”

“Ga da yang mau sama lo?”

“Apa sih.” Raffi fokus menyetir. Dia juga enggan memandang wajah Vivi yang selalu ditekuk. Vivi juga tidak pernah menoleh ke arah Raffi. Ia memandang lurus kedepan atau melihat ke jendela mobil. Sesampainya di toko mereka segera masuk dan memilih-milih kado yang cocok untuk ibunya Raffi. Vivi mendekati kumpulan jilbab dan mengambil satu yang ia sukai lalu diberikan ke Raffi.

“Nih! Bagus.” Kata Vivi sambil menyodorkan jilbab tersebut. Raffi mengambilnya dan mengamati jilbab itu sambil berkata.

“Seleranya jelek.”

“Kalau gak suka ga perlu menghina selera orang!” Vivi emosi. Ia pun segera pergi meninggalkan Raffi sendirian. Raffi kembali mengamati jilbab pilihan Vivi. Setelah dipikir agak lama ia pun bergumam dalam hati.

“Lumayan juga sih.” Katanya. Kemudian ia membawa jilbab tersebut ke kasir untuk segera membelinya. Setelah urusan selesai ia keluar dari toko dan menuju mobil. Vivi sudah berada didalam mobil dengan muka masam.

“Nanti turunin gue di kafe depan sana.” Kata Vivi judes.

“Gak mau diantar pulang?”

“Gak. Enek gue sama lo lama-lama.”

“Ok. Baguslah gue gak susah-susah.”

“His.” Vivi mendengus kesal. Raffi memang nyebelin begitu kata Vivi. Raffi cuek tanpa memperdulikan Vivi yang sudah bersungut-sungut.

Setelah menurunkan Vivi di depan kafe yang diinginkan Vivi tersebut Raffi segera melajukan mobilnya dan menghilang dalam pandangan. Vivi geram. Ia menghentakkan kakinya ke tanah sambil mulutnya tak berhenti menyumpah serapahi Raffi. Kemudian Vivi segera masuk kedalam kafe dan menemui Johan. Johan heran melihat Vivi yang terlihat marah-marah.

“Kenapa sayang. Kok marah-marah?”

“Lagi kesal gue.”

“Sama Angga?”

“Bukan.”

“Terus?”

“Kucing jalanan tadi.”

“Kucing?”

“Iya.”

“Serius kucing?”

“Iya terus apa lagi?! Jangan bikin kesel juga deh.”

“Duh ya ampun. Iya iya, jangan marah-marah dong.”

“Makanya.”

“Iya iya.” Johan menggelengkan kepala sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia bingung dengan sikap aneh Vivi yang tiba-tiba marah gak jelas tersebut.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!