Bertemu Ayah Kandung

Entah berapa kali Farhan melihat ke arah jam yang ia kenakan. Sudah pukul 20.00 WIB, tetapi yang ditunggu belum juga muncul. Berkali-kali ia duduk dan berdiri dari kursi bandara sambil sesekali menghela nafasnya. Berapa lama kemudian ia bangkit dari duduknya dan dengan sedikit berlari ia menuju seseorang yang telah ia tunggu. Dengan sigap ia membantu membawakan koper.

“Langsung ke mobil aja, Vi. Ini udah malem soalnya. Lo belum makan kan, kita makan dulu, lo pasti laper banget.” Kata Farhan sambil matanya melirik ke arah Raffi. Raffi sedikit menganggukkan kepalanya dengan sopan untuk menyapa Farhan. Vivi mengangguk untuk mengiyakan ajakan Farhan. Rasa lelah membuatnya enggan berbicara ditambah lagi rasa pusing yang dirasakan sejak di dalam pesawat masih belum hilang.

Mereka bergegas menuju mobil dan tanpa banyak bicara mereka segera melaju dengan kecepatan sedang. Beberapa menit kemudian Farhan memarkirkan mobilnya didepan sebuah restoran dengan nuansa pedesaan. Terasa sangat asri dan menyejukkan. Memang sengaja restoran tersebut di setting ala-ala pedesaan dengan menu-menu yang juga bernuansa pedesaan. Farhan mengajak Vivi dan Raffi duduk di kursi yang mengarah ke jendela. Setelah memesan berbagai menu, mereka pun menunggu tanpa mengucapkan sepatah katapun. Vivi memang terlalu kelelahan sehingga ia lebih memilih untuk diam. Raffi ikut diam karena ia masih belum mengenal Farhan. Ia canggung. Begitu juga dengan Farhan. Mereka sibuk bermain dengan pikirannya masing-masing.

“Ekhem. Elo yang bernama Raffi?” Tanya Farhan membuka pembicaraan.

“Eh, iya. Gue Raffi.” Jawab Raffi sangat canggung.

“Gue kakak kandung Vivi, Farhan.” Sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Raffi menyambut tangan Raffi dengan sopan.

“Gue Raffi.” Jawabnya.

“Oh ya, Vi. Gimana kabar Angga?” Ia bertanya kepada Vivi.

“Baik.” Jawab Vivi singkat. Ia begitu malas berbicara, selain lapar ia juga capek luar biasa. Ditambah lagi ini pengalaman pertama Vivi naik pesawat terbang. Bisa dikatakan ia mengalami mabuk perjalanan. Raffi yang mengetahui keadaan Vivi pun merasa sedikit khawatir. Ia memandang Vivi dengan sorot mata yang lembut penuh kekhawatiran. Vivi tetap sibuk memandang ke luar jendela dengan pandangan kosong.

Pesanan mereka pun datang. Mereka segera menyantap dengan lahap sampai habis. Tanpa ada sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka. Suasana benar-benar canggung namun semua masih nyaman. Setelah selesai makan mereka memulai perjalanannya menuju kerumah Farhan yang jaraknya tidak jauh dari restoran tersebut. Sesampainya di sana, mereka disambut oleh Papa kandung Vivi.

Papa sudah menunggu lama. Ia sudah terlalu rindu kepada anak yang tidak pernah ia lihat. Perasaan bersalah menggunung dihatinya. Ia menyesal dulu menyerahkan Vivi kepada orang lain. Ia tak sanggup merawat anaknya dengan baik. Ia merasa telah menjadi orang tua yang gagal. Pertama kali ia melihat Vivi saat Vivi baru dilahirkan dan saat itu pula merupakan terakhir kalinya ia melihat Vivi.

Vivi berdiri mematung sambil memandang Papa kandungnya. Manakala air matanya menetes ketika melihat Papanya hendak memeluk dirinya. Air mata semakin deras saat Papa memeluknya. Kerinduan yang sudah sebesar gunung itu runtuh seketika. Mereka menangis penuh rindu. Raffi terpaku melihat sepasang anak dan ayah yang saling meluapkan kerinduan didepan matanya. Farhan terharu melihat kejadian itu. Tiba-tiba terasa sesak yang begitu berat didada membuatnya menjadi sulit bernafas. Ia mencoba untuk menenangkan diri. Ia menghela nafas panjang. Tanpa ia sadari ada dua butir air bening yang menitik dipipinya. Farhan tidak tahan lagi. Ia berhambur memeluk Papa dan Vivi. Tangisan mereka terdengar begitu riuh ditelinga Raffi. Ia pun ikut terharu.

Suasana keharuanpun berakhir, Papa memerintahkan Vivi dan Raffi untuk beristirahat didalam. Farhan menunjukkan kamar untuk Vivi. Vivi mengikutinya dari belakang.

“Ini kamar Mama sama Papa dulu. Lo istirahatlah disini.” Kata Farhan sambil membuka pintu kamarnya. Vivi melangkahkan kaki masuk kedalam kamar. Dipandanginya kamar tersebut dengan seksama. Kemudian menoleh ke Farhan.

“Terus Papa tidur dimana?”

“Papa udah gak pernah tidur disini lagi. Katanya jadi inget terus sama Mama. Karena gak ingin buat Mama gak tenang maka Papa gak tidur disini. Papa tidur di kamar belakang.” Jawab Farhan. Vivi manggut-manggut. Ia duduk disudut kasurnya.

“Ya udah gue mau nunjukin kamar Raffi dulu. Lo istirahat aja. Buat senyaman mungkin seperti dirumah lo sendiri.” Farhan menutup pintu kamar tersebut dan bergegas pergi untuk menemui Raffi yang masih duduk diruang tamu. Vivi membaringkan tubuhnya diatas kasur. Terasa begitu empuk dan nyaman. Vivi memejamkan matanya sambil menghirup aroma di kamar tersebut. Ia merasakan kenyamanan dan kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Vivi menelentangkan tubuhnya. Matanya memandang ke langit-langit kamar. Ukiran-ukirannya begitu unik. Vivi menyukainya. Bibirnya tersenyum.

“Mama, sosok yang seperti apakah dirimu.” Vivi berbicara kepada dirinya sendiri. Vivi memejamkan matanya meresapi kenyamanan yang ia rasakan dikamar tersebut. Hingga lama kelamaan ia pun tertidur.

“Raf, lo tidur sekamar sama gue. Karena ga ada kamar lagi yang kosong.” Kata Farhan kemudian ia bergegas menuju kamarnya. Raffi berdiri dari kursi dan melangkah mengikuti Farhan. Sesampainya dikamar Farhan langsung membaringkan tubuhnya dikasur seraya berkata.

“Lo kalo mau tidur tidur aja, kalo mau mandi juga kamar mandinya ada dibelakang lo cari aja. Gue mau tidur dulu. Badan gue capek.” Setelah berkata begitu ia langsung memejamkan matanya untuk tidur.

“Makasih, Han.” Kata Raffi.

“Hmm.” Farhan menjawab dengan mata terpejam.

Mata Raffi berkeliling melihat isi kamar Farhan. Terlihat sederhana, tak semewah kamar miliknya dirumah namun terasa nyaman. Bahkan lebih nyaman dari kamar miliknya. Farhan termasuk orang yang rapi. Hal itu terbukti dari isi kamarnya yang tertata begitu rapi. Raffi berdecak kagum. Sangat bertolak belakang dari dirinya yang kurang memperhatikan keadaan kamar. Mungkin karena ia memiliki asisten rumah tangga yang tugasnya merapikan kamarnya setiap hari. Hiasan-hiasan kamarnya pun begitu klasik tapi masih indah dipandang mata.

Raffi keluar dan mencari kamar mandi. Ia sudah merasa gerah dan letih. Ia sangat ingin mandi. Raffi berjalan ke arah belakang sambil matanya berkeliling melihat-lihat seisi rumah. Tatanan yang begitu apik dan bernuansa klasik membuat rumahnya terkesan tenang dan damai. Berkali-kali Raffi berdecak kagum. Ia terbayang rumahnya yang sangat berbeda. Rumahnya terasa panas ditambah lagi dengan arsitekturnya yang bergaya ala eropa. Meskipun mewah Raffi merasa biasa saja tinggal disana.

Raffi berdiri didepan pintu kamar mandi. Tangannya bergerak untuk membuka pintu. Sebelum tangannya menyentuh gagang pintu, pintu tersebut terbuka. Raffi terkejut.

“Astaga!” Raffi mengelus dadanya. Jantungnya berdetak kencang. Orang yang membuka pintu kamar mandipun tak kalah terkejutnya.

“Mau ngapain lo! Mau ngintipin gue?!” Teriaknya Vivi. Raffi membungkam mulut Vivi dengan cepat.

“Jangan keras-keras ini dirumah orang.” Kata Raffi dengan berbisik.

“Ih.” Vivi memberontak untuk melepaskan bungkaman tangan Raffi.

“Ngapain lo disini.?” Tanya Vivi dengan suara lirih.

“Gue mau makan.”

“Hah?! Dikamar mandi? Wah sarap lu.”

“Elu yang sarap. Jelas-jelas gue kekamar mandi ya artinya mau melakukan kegiatan yang dilakukan dikamar mandilah. Ogeb lu. Minggir!” Kata Raffi sambil menggeser Vivi. Vivi kesal dan memelototinya.

“Apa lo, mau ikut?” Raffi balas memelototi Vivi. Vivi meringis sambil menunjukkan ekspresi jijik.

“N4j1s lo!” Setelah berkata begitu ia pergi meninggalkan Raffi. Raffi memandang Vivi dengan ekspresi geram.

“Dasar cewek freak.” Kemudian ia menutup pintu kamar mandi

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!