Acara lamaran pun berlangsung dengan meriah. Semua orang terlihat bahagia apalagi kedua calon pengantin yang sebentar lagi akan menjadi pasangan sah. Kedua keluarga itupun saling mengobrol dan bercerita satu sama lain untuk saling mengenal. Yuni dan Angga terlihat sedang asyik mengobrol dengan beberapa sepupu mereka. Vivi duduk bergabung bersama Papa dan anggota keluarga lain sambil menikmati hidangan yang disediakan.
“Wah, sebentar lagi Pak Darmawan akan memiliki dua menantu sekaligus nih,” Goda Om Indra~Adik dari Papa Yuni. Papa menanggapinya dengan tawa.
“Jadi ini calon menantu laki-lakinya? Ganteng sekali, Pak Darmawan memang pintar memilih menantu ya?” Kata Tante Gina~Istri dari Om Indra tak kalah menggoda Papa. Seraya menunjuk Raffi dengan tersenyum lebar.
“Tentulah pintar, anak-anaknya saja sudah cantik dan tampan,” Gelak tawa bahagia terdengar gemuruh dirumah itu. Vivi yang sejak tadi di goda oleh mereka pun hanya tersipu malu dengan kedua pipi memerah.
“Kalau bisa kita menikahkan keduanya saja secara bersamaan supaya terlihat meriah, ya kan, Pa?” Kata Tante Risty~Adik Papa. Suaminya menjawab dengan anggukan kepala.
“Haha, kalian ini bisa saja.” Kata Papa dengan wajah yang ceria. Papa terlihat bahagia saat ini. Vivi merasakan hal yang biasa dari Papanya. Semenjak kematian Mama, Papa jarang sekali tertawa lepas seperti ini. Vivi bersyukur bisa melihat Papa ceria lagi seperti sebelum kepergian Mama.
Kedua bola mata Vivi sibuk berkeliling mencari-cari sesuatu. Kemudian ia beranjak menuju kesana. Ikut bergabung bersama beberapa sepupunya dan pasangan calon pengantin.
“Gimana, Vi? Seru kan? Ayolah kalian secepatnya.” Goda Yuni yang dibarengi dengan senyuman lebar, Angga ikut tersenyum menggoda adiknya. Vivi hanya tersenyum kemudian menoleh ke arah Raffi yang sedang duduk bersama Papa dan Om Tantenya.
“Ciyee jangan Cuma diliatin, hayuk ah gas keun.” Angga menggoda Vivi sambil menyenggol lengannya.
“Iih apaan sih kalian. Mentang-mentang sebentar lagi menikah.” Vivi pura-pura cemberut. Namun yang lainnya malah terus-terusan semakin menggodanya.
“Vi, kenapa sih lo ga jujur aja sama dia kalo lo suka sama dia?” Tanya Yuni.
“Ih apaan, siapa yang suka, gue biasa aja.” Vivi berkilah.
“Halah, kita-kita juga tau kali kalau lo suka sama dia, keliatan Vi dari sorot mata elo ke dia, ya kan, Guys??” Kata Yuni sambil menoleh ke arah sepupu-sepupunya. Mereka semua mengiyakan membuat Vivi semakin merasa kesal dengan godaan mereka. Tapi dalam hatinya ia sedikit senang dengan godaan mereka. Berkali-kali ia menoleh ke arah Raffi yang terlihat sibuk mengobrol. Ia tak pernah tau kalau Raffi diam-diam memperhatikannya. Dan Raffi mengetahui bahwa Vivi selalu curi-curi pandang terhadapnya. Bibirnya menyunggingkan senyum, merasa lucu dan geli dengan sikap Vivi yang tak mau mengakui perasaannya kepada dirinya.
Setelah acara selesai mereka pulang, Raffi meminta izin kepada Papa untuk mengajak Vivi jalan-jalan terlebih dahulu. Papa mengizinkannya, kemudian Papa pulang bersama Angga dan anggota keluarga lainnya.
“Kenapa sih kita gak pulang aja?” Tanya Vivi penasaran. Angga segera menyalakan mobil dan menjalankannya.
“Sayang dong, Vi. Elo udah cantik gitu masa cuma dirumah-rumah aja.” Katanya sambil fokus menyetir. Vivi tersipu.
“Terus? Kita mau kemana?”
“Ketempat yang bagus.” Jawabnya singkat. Vivi masih ingin bertanya namun ia mengurungkannya. Mobil mereka melesat menuju tempat tujuan yang Vivi belum ketahui.
Mereka sampai didepan sebuah restoran mahal. Vivi mengernyitkan alisnya. Sebenarnya ia sudah tak heran apabila Raffi membawanya ketempat mewah karena ia mengakui jika Raffi memang orang kaya namun ia heran mengapa Raffi membawanya ketempat mewah nan romantis tersebut.
“Raf, ngapain kita kesini?” Vivi bertanya namun Raffi tak menjawab. Ia membuka pintu mobil dan keluar lalu bergegas membukakan pintu untuk Vivi. Vivi tersipu malu wajahnya memerah. Raffi mengulurkan tangannya dihadapan Vivi. Vivi ragu namun ia menerima sambutan tangan Raffi dengan perasaan malu dan bahagia. Raffi menggandeng Vivi memasuki restoran mewah tersebut. Membimbingnya hingga ketempat yang memang sudah ia pesan. Menarik kursi untuk Vivi. Setelah Vivi duduk ia segera menarik kursi didepan Vivi dan duduk disana. Perasaan Vivi campur aduk tak menentu. Antara senang, malu, bahagia dan penasaran. Ia diperlakukan sangat romantis oleh orang yang bukan kekasihnya. Iya Raffi adalah calon suaminya namun mereka tak pernah ada ikatan cinta, hubungan mereka sebatas teman. Vivi menghargai keinginan Papa. Namun perlakuan Raffi terhadapnya begitu manis membuat Vivi semakin jatuh cinta kepadanya. Vivi masih keras kepala. Bersikukuh untuk tidak mengakui perasaannya. Raffi tetap sabar menanti, ia percaya suatu saat nanti Vivi akan mencintainya.
Suasana romantis terlihat jelas didepan mata. Gemerlap lampu berwarna warni menghiasi ruangan tersebut. Tidak terlalu terang dan juga tidak terlalu gelap. Cahaya redup dan sebuah lilin menyala dihadapannya. Suasana yang romantis. Vivi merasakan dirinya seperti didalam adegan film-film romantis yang pernah ia tonton. Dan kini ia berada disana, menjadi pemeran utama dalam film romantis tersebut. Seorang pelayan datang dengan membuka satu buket bunga cantik berwarna warni yang tertata apik. Kemudian memberikannya kepada Raffi. Raffi mengambil bunga tersebut dan memberinya kepada Vivi.
“Buat lo.” Seraya menyodorkan bunga dengan gaya ala-ala romantis versinya. Vivi tersanjung dibuatnya. Pipinya memerah, untung saja cahaya diruangan itu redup sehingga wajahnya tidak terlalu terekspos. Jika saja cahayanya terang mungkin ia akan menutupi wajahnya dengan sapu tangan. Vivi menerima bunga itu dengan malu-malu. Kemudian hidangan pun datang. Raffi mempersilahkan Vivi untuk menikmati hidangan mewah tersebut. Tak banyak kata yang keluar dari mulutnya. Semua diam dengan perasaannya masing-masing.
“Vi, lo suka?” Tanya Raffi setelah beberapa menit mereka tak bersuara. Vivi mengangguk malu.
“Suka banget. Tapi apa lo gak salah?”
“Salah kenapa?”
“Harusnya lo ngajak seseorang yang spesial kesini, bukan gue.”
“Lo kan spesial buat gue.”
“Iya tapi yang gue maksud spesial adalah seseorang yang mencintai lo dan lo mencintainya.”
“Emang lo gak mencintai gue,?” Raffi balik bertanya membuat Vivi sedikit gelagapan. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan Raffi. Berkali-kali ia menepis perasaannya dan menolak mengakui perasaannya.
“Lo gak mau jujur sama gue.” Kata Raffi sedikit kecewa. Mereka terdiam sejenak. Beberapa menit kemudian seorang pelayan muncul sambil membawa kotak berwarna merah. Kegelisahan Vivi menuncak sampai keubun-ubun ketika melihat kotak tersebut. Dadanya terasa sesak rasanya ingin meledak. Tangannya mendadak menjadi sedingin es. Ia tahu isi kotak itu. Dan ia tidak sanggup menahan segara perasaannya saat ini.
Raffi berjalan ke arahnya kemudian berlutut didepannya. Vivi sangat malu hingga rasanya ingin lari keluar dari ruangan itu. Untung saja itu adalah ruangan privat khusus yang digunakan orang-orang kaya untuk melakukan dinner romantis bersama pasangannya. Sehingga tidak ada orang lain disana hanya mereka berdua. Pelayan restoran pun sesekali memasuki ruangan untuk mengantarkan segala pesanan yang sudah dipesan oleh Raffi. Memang sebelumnya Raffi sudah mempersiapkan hal ini untuk Vivi. Jantung Vivi rasanya mau meledak. Ia menjadi sulit bernafas, ruangan yang seharusnya lebar pun terasa pengap seperti ruangan berukuran 1 X 1 meter saja.
“Viviana Putri Darmawan, maukah kau menjadi istriku?” Tanya Raffi dengan sangat romantis. Lidah Vivi mendadak kelu. Ia mematung. Nafasnya terasa berhenti. Raffi menunggu jawaban Vivi dengan sabar dan terus berlutut. Vivi mencoba mengatur nafasnya, menenangkan diri dan berusaha menyadarkan dirinya.
“Ayolah Vivi lo pasti bisa.” Teriaknya dalam hati.
“Viviana Putri Darmawan, maukah kau menjadi istriku?” Tanya Raffi sekali lagi. Vivi benar-benar ingin menjawab namun rasanya ia berubah seperti bisu. Kemudian dengan segenap kekuatannya ia mencoba menatap mata Raffi. Mereka saling menatap satu sama lain. Ajaibnya tatapan mata Raffi membuatnya yang tadinya beku menjadi meleleh. Tanpa ia sadari mulutnya berkata.
“Iya.” Jawabnya sebisa mungkin. Seluruhnya tubuhnya gemetar. Raffi terbelalak. Ia tersenyum lebar. Detak jantungnya yang sejak tadi bergemuruh pun rasanya semakin memompa dengan cepat. Ia segera memasukkan cincin ke jari manis Vivi dengan tangan yang gemetar.
Cincin tersebut sudah terpasang di jari manisnya. Sangat cantik dan cocok untuknya. Raffi berdiri kemudian menarik tubuh Vivi untuk berdiri dihadapannya. Raffi memegang kedua tangan Vivi dengan perasaan bahagia. Tiga tahun lebih ia menunggu cintanya terbalas dan inilah puncak dari penantian panjangnya. Vivi telah menerima cinta tulusnya. Mereka saling bertatapan, memancarkan cahaya cinta yang begitu terang dari matanya. Raffi memeluknya dan Vivi membalas pelukan Raffi dengan senyum bahagia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments