"Ayah tidak bisakah kau mengijinkanku keluar saat ini? Berada di tempat ini seharian penuh sungguh membuatku ingin mati." Sin Lou tak henti-hentinya membujuk ayahnya agar mengizinkannya pergi dari tempat itu.
"Tidak." Sin Xhou menjawab singkat.
"Tapi bukankah sudah banyak yang membantu ayah di tempat ini? Lagipula ini sudah hampir…"
"Tidak!" potong Sin Zhou kembali.
"Ugh… Menyebalkan!" Sin Lou mendengus kesal sambil mendang ke sembarang arah.
***
Di rumah Fu Chen, saat ini dia sedang membantu ibunya membuat beberapa lampion untuk diri mereka sendiri. Sebagian akan mereka gantung di langit-langit teras rumah mereka dan sebagian lainnya akan mereka terbangkan bersama dengan warga desa lainnya.
Disana juga ada Fu Mei yang selalu setia di samping ibunya meski tidak membantu banyak, namun dirinya tetap bersikukuh untuk mencoba.
Di sela-sela kesibukan itu, Fu Chen kembali menanyakan tentang latihannya. "Apakah ibu juga baru akan melatihku saat aku berumur delapan tahun?"
"Apakah ayahmu mengatakan demikian…?" Balas Xin Xue tenang, tangannya masih saja sibuk untuk membuat lampion.
"Iya, ibu benar… Jangan bilang jika ibu juga akan mengikuti ayah?" Fu Chen menjawab lemas.
"Hehe… kau tenang saja, hal itu tidak akan terjadi. Ibu akan mengajarimu membaca serta menulis setelah Festival di Desa kita ini selesai dan setelahnya ibu tidak akan ikut campur lagi…" Xin Xue tersenyum lembut pada anaknya.
"Ibu juga akan mengajariku kan…?" Fu Mei memasang wajah memelasnya pada mereka berdua. Xin Xue dan Fu Chen yang melihatnya langsung luluh begitu saja.
Fu Chen merasa wajah adiknya itu sangat menggemaskan dan ingin sekali dia mecubit kedua pipi sang adik yang dirasanya sangat besar.
Fu Mei yang melihat kakaknya sedang memperhatikan dirinya lekas menjulurkan lidahnya dengan wajah mengejek. "Mblee…"
Fu Chen justru semakin gemas dengan adiknya dan akhirnya dia mulai berdiri dan berjalan mendekati Fu Mei dengan senyuman jahat. Fu Mei yang sadar kakaknya akan mengerjainya lagi segera berlindung di balik Xin Xue.
"Ibu… lihatlah, kakak-" Fu Mei yang bersembunyi di balik Xin Xue begitu terkejut ternyata Fu Chen sudah berada di dekatnya.
"Mau kemana kamu ha…?" Fu Chen mulai meremas-remas jarinya memulai pemanasan.
"Tidaaaak…!" Fu Mei berteriak kencang saat tangan kakaknya mulai mecubit kedua pipinya.
"Ulululu… masih berani mengejek kakakmu ini hm…?" Fu Chen mencubit gemas pipi adiknya, sesekali dirinya juga menggelitiki sang adik.
"Ibu… kak… maafkan aku, Meimei janji tidak akan mengulanginya lagi…!" Fu Mei berhenti meronta, buliran air mata sedikit keluar dari ujung matanya karena terlalu banyak tertawa. Menurutnya, gelitikan sang kakak adalah siksaan terberat yang pernah ia rasakan.
"Sudahlah Chen'er, bukankah adikmu sudah meminta maaf…" Kata Xin Xue yang juga ikut terhibur melihat tingkah keduanya.
"Ibu juga melihatnya bukan? Pipi besarnya itu sungguh sangat menggemaskan." Fu Chen melirik ke arah adiknya dengan seringai jahat. Fu Mei yang menyadari raut wajah kakaknya lengsung berlari menuju kamar dan segera mengunci pintu.
Fu Chen sudah terlanjur mengejar Fu Mei, dia akhirnya terbentur pintu dan terjatuh dengan benjolan di kepalanya. Xin Xue hanya bisa menghela nafas melihat tingkah anaknya, pada akhirnya dirinya tetap mengerjakan lampion itu sendiri.
***
Keesokan malam harinya suasana Desa Sungguh berbeda dari biasanya. Lampion-lampion terpasang rapi di setiap rumah warga dengan ornamen-ornamen yang berwarna merah keemasan.
Jalanan bahkan terasa sangat padat oleh pengunjung. Di sebuah aliran air cukup besar, yang letaknya tak jauh dari seberang jalan juga telah ada sampan-sampan kecil yang berisi beberapa lampion yang menyala, membuat suasana begitu sesusai untuk seseorang yang ingin mencari pasangannya.
Bahkan cekungan besar simbol dari Desa yang biasanya selalu sepi kini telah di hiasi obor sepanjang tembok yang membentang disana. Langit malam yang di isi oleh bintang-bingang serta bulan yang bersinar terang seolah ikut menikmati Festival itu.
Rombongan keluarga Fu Chen dan warga lainnya kini sedang menuju lokasi cekungan yang tepat berada di ujung Desa. Jalanan begitu terang serta tidak ada kebisingan yang terdengar sama sekali yang menyertai langkah mereka ke ujung Desa dan di tuntun oleh obor yang terpasang rapi di sepanjang jalan.
Lampion di pegang erat bagi setiap orang yang menuju ke sana. Rombongan yang di pimpin oleh Kepala Desa itu khusyuk memikirkan hal yang akan mereka ucapkan untuk menyertai lampion yang akan mereka terbangkan.
Saat telah tiba tepat di hadapan pintu gerbang cekungan itu, barisan yang sebelumnya memanjang itu kini mulai melebar dan memendek. Menyisakan Kepala Desa yang berdiri seorang diri tepat di barisan paling depan. Obor juga sudah di tancapkan dengan mantap di setiap barisan warga Desa.
Tidak ada panggung, tidak ada podium, maupun tempat lainnya yang lebih tinggi. Semuanya sama rata ketika menghadap sang Dewa yang mereka percayai selama ini.
Kepala Desa melangkah maju mendekati obor di depannya, hingga wajahnya terlihat cukup jelas karena pancaran cahaya dari obor itu. Nama Kepala Desa itu adalah Yoshi Kishimoto, dirinya mulai menangkupkan kedua tangan tepat di depan dada dan mulai menundukkan kepala.
Seluruh warga Desa juga ikut melakukannya meski tanpa ada arahan yang di berikan Kepala Desa, sedangkan pengunjung dari luar Desa serta pedagang yang juga ikut hadir juga mulai menundukkan kepala mereka meski tak tau apa yang harus mereka lakukan setelahnya.
Seluruh warga Desa disana berdoa dalam hati mereka agar di berikan kelancaran dalam Festival malam ini.
Setelah kurang lebih tiga menit, akhirnya mereka mengangkatkan kepalanya. Ada rasa kelegaan tersendiri yang warga Desa rasakan Setelahnya.
Kepala Desa yang tadi menghadap obor di depannya mulai berbalik dan kini ia menghadap pada seluruh warga yang hadir sebelum memulai acara Festival yang sudah di nantikan.
"Selamat malam semuanya…!" Hening tak ada jawaban. Yoshi Kishimoto mulai mengumpulkan mentalnya sejenak.
"Malam ini adalah hari peringatan bagi kita semua untuk mengingat leluhur serta bangkitnya Desa ini dari sebuah ketiadaan…" warga Desa yang hadir kembali menundukkan kepala mereka dengan tangan yang saling berpegangan satu sama lain.
"Malam ini adalah malam bagi sang Dewa untuk melihat Desa yang telah ia berkati. Malam ini adalah malam bagi kita semua untuk lebih dekat dengan sang Dewa yang agung. Kita semua adalah sama di hadapannya, hanya ketulusan hati yang akan di pandang oleh sang Dewa…!" Yoshi Kishimoto berbicara cukup lantang agar dapat di dengar oleh warga yang di ujung barisan.
"Berkati Desa ini agar namamu tersebar luas di daratan ini, kami akan selalu mengenang dirimu sepanjang generasi yang kami lahirkan… dengan Lampion yang tampil bersahaja… dengan cahyanya yang secukupnya… menebar aura magis romantis bagi siapapun yang melihatnya… bersiap menyambut malam…" Yoshi Kishimoto menarik nafas sejenak.
"Di antara kegembiraan
Di antara rasa haru
Di antara rasa saling memiliki
Di antara rasa kekeluargaan
Ada banyak kegagalan, serta harapan
Di balik setumpuk beban di pundak
Ada contoh keteladanan yang di perlukan.
Dengan Lampion-lampion yang di terbangkan dengan sebait tulus untuk sebuah kedamaian…" Yoshi Kishimoto menyeka sedikit air mata yang keluar dari matanya.
"Dengan Lampion ini, diriku mewakili seluruh warga yang berharap akan kesejahteraan. Dengan lampion ini, diriku mewakili negeri ini yang mengharapkan kemakmuran… Dewa, sertailah langkah kami dengan berkat mu…" Yoshi Kishimoto mulai menyalakan lampionnya yang di ikuti seluruh warga.
"Izinkanlah lampion ini sebagai jembatan penghubung atas harapan kami…" Setelah Yoshi Kishimoto menyudahi kalimatnya, ia langsung melepaskan lampion itu agar dapat terbang tinggi, kemudian di ikuti oleh seluruh warga yang hadir.
Tak berselang lama setelahnya, dua orang paruh baya yang mengangkat sebuah peti kayu berjalan menghampiri Yoshi Kishimoto.
"Wahai Dewa, jagalah harta benda dari warga Desa yang kami titipkan ini di tempatmu dan kutuklah bagi siapapun yang berani mencurinya dari pengawasanmu…"
Yoshi Kishimoto beserta seluruh kepala keluarga disana mulai memasuki gerbang dan berjalan menuju gedung yang tidak jauh dari tembok yang memisahkan Desa dengan gedung itu.
Meski terlihat cukup menyeramkan, namun kenyataannya kondisi di dalam sana cukup bersih dan terawat.
***
Di sebuah tempat jauh dari Desa Bintang Jatuh, seorang pria paruh baya yang terlihat berusia 60 tahun sedang duduk di sebuah batu di atas bukit. Dirinya memendangi langit yang bertebaran banyak sekali lampion.
Meski usianya sudah cukup tua, namun matanya masih sangat tajam memandang ribuan lampion sampai ujung batas pengelihatannya.
"Ini Sudah kelima kalinya aku melihat itu, namun diriku masih tidak bisa menemukan dari mana datangnya lampion-lampion itu berasal." pria paruh baya itu menghela nafasnya kasar sebelum kembali menegak sekendi arak di tangannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 165 Episodes
Comments
Arwin Atune
lampion
2024-08-17
0
Dzikir Ari
Smoga tidak terputus ditengah jalan Tor kayak novel lainya
2023-07-08
0
Harman LokeST
next author
2022-06-09
0