Lelah itulah yang Renata rasakan saat ini. Harapan untuk bisa menikmati liburan dengan bersantai nyatanya hanya ada dalam angannya saja.
“Ayo bu ... semangat tinggal sedikit lagi! Atur nafas, kalau sudah terasa seperti ingin BAB mengejan sekuat tenaga ya! Semangat, ibu pasti bisa!” Itu bukan suara Renata melainkan suara sang bunda. Saat ini Renata sedang berlaku sebagai asisten yang membantu sang bunda menangani persalinan. Suara sang bunda yang membimbing persalinan sudah seperti melodi yang dia dengar sejak tadi. Jujur saat ini matanya terasa berat dan perih, karena menahan kantuk. Namun Renata mencoba bertahan sebisanya karena dia dan sang bunda masih memiliki tanggung jawab untuk menyelamatkan dua nyawa.
Membantu sang bunda menangani persalinan pasien bukan hal baru bagi Renata. Karena nyatanya sejak SMA dia sudah dilatih sang bunda untuk membantunya sebagai asisten. itu menjadi salah satu alasan kenapa Renata memilih kuliah di jurusan yang sama dengan sang bunda. Selain karena kuliahnya yang memang tidak terlalu lama, dirinya juga sudah terbiasa menghadapi berbagai kasus mengenai kehamilan dan persalinan.
Namun ketika kuliahnya sudah memasuki semester 3, Renata sudah dilatih menolong persalinan mandiri meskipun sang bunda masih mendampingi sebagai asisten. Tentu saja dengan catatan, pasien yang ditolong dalam kondisi stabil dan tidak mengalami kelainan apapun.
"Kak, siapkan alat dan tempat untuk resusitasi bayi!" Ucapan bernada tegas dari sang bunda seketika menghilangkan kantuk yang dirasakan Renata sejak tadi. "Jangan lupa kamu pegang mucus extraxtor juga." Lanjut bunda nya lagi.
Renata segera melakukan apa yang disuruh oleh bunda nya, karena dia tahu ada hal urgent yang akan terjadi pada bayi yang akan keluar sebentar lagi itu.
"Sudah bun," ucap Renata yakin setelah selesai menyiapkan alat untuk resusitasi bayi baru lahir. Alat resusitasi harus selalu ada bagi tenaga medis yang akan menolong persalinan. Resusitasi neonatus umumnya dilakukan pada bayi baru lahir yang mengalami permasalahan transisi kehidupan, yang awalnya dari dalam kandungan menjadi kehidupan di luar kandungan. Sedangkan mucus extraxtor adalah alat hisap riak bayi manual model selang dan tabung.
"Kak lakukan suction!" ucap bunda panik ketika bayi yang baru saja lahir tubuhnya sudah membiru dan tidak mengeluarkan suara sama sekali. Hal ini memang bukan pengalaman pertama yang Renata alami, akan tapi tetap saja kejadian seperti ini bisa membuatnya sport jantung. Dia segera memasukkan selang mucus extraxtor yang dia pegang kedalam hidung bayi sedalam 3 cm, kemudian melakukan penyedotan untuk mengeluarkan lendirnya. Lalu dia langsung memindahkan selang itu kedalam mulut bayi sedalam 5 cm kemudian melakukan penyedotan lagi. Teknik ini digunakan untuk membersihkan lendir dari jalan nafas si bayi, agar pernafasannya bisa lancar sehingga bayinya bisa menangis.
Si bayi mulai merintih ketika Renata selesai melakukan kegiatan itu untuk kedua kalinya. Merasa belum ada respon maksimal dari si bay,i sang bunda segera melakukan resusitasi untuk si bayi. Sedangkan Renata melakukan penatalaksanaan untuk ibu sang bayi, karena mereka berdua adalah dua nyawa yang wajib diselamatkan oleh tenaga medis yang menolongnya.
Renata segera menyuntikkan cairan oksitosin ke paha si ibu, untuk merangsang kontraksi agar placenta atau ari-ari di dalam perut si ibu bisa segera keluar.
Tangisan bayi dalam ruangan itu, menandakan kalau perjuangannya dan sang bunda membuahkan hasil. Bersamaan dengan itu Renata juga berhasil mengeluarkan placenta dari dalam perut sang ibu bayi.
Renata berpandangan dengan sang bunda, dan mereka berdua tersenyum sambil menghela nafas panjang. Tapi bukan berarti setelah ini tugas seorang bidan selesai dan mereka bisa bersantai. Karena baik bayi maupun ibu yang baru melahirkan harus dipantau terus minimal sampai 2 jam pasca melahirkan.
"Kak kamu yang jahit sekalian ya!" ucap sang bunda dengan senyum lebar. Renata hanya menghela nafas panjang sambil mengangguk pasrah. Ini sudah ketiga kalinya dalam satu hari ini Renata berkutat dengan alat jahit khusus wanita itu.
Butuh waktu 30 menit untuk menjahit dan membersihkan segala alat yang telah dipakai. Renata kemudian membuka seluruh APD (Alat Perlindungan Diri) yang dipakai selama menolong persalinan. Renata hendak beranjak mengambil ponselnya ketika tangannya ditahan sang bunda. Renata menoleh seolah bertanya tanpa kata, kenapa bunda nya itu menghentikannya.
“Kak kamu yang observasi ya, Bunda mau istirahat dulu. Bunda capek, nanti gantian.” Ucap sang bunda sambil tersenyum.
Apalagi yang bisa dilakukan Renata selain mengangguk pelan. Sejujurnya tubuhnya juga lelah dan tulangnya rasanya mau ambyar. Dia baru istirahat sekitar 2 jam setelah perjalanan jauh dari Kediri, dan sudah diharuskan membantu sang ibu menangani 3 pasien yang hendak bersalin. Namun Renata juga tidak tega membiarkan sang bunda yang terlihat lemas begitu melakukan observasi, sedangkan dirinya menikmati kasur empuknya. Apalah dayanya yang hanya seorang anak yang sangat menyayangi ibunya dan mencari pahala dari Tuhan.
Sebenarnya bunda Renata memiliki 3 orang asisten bidan yang membantunya setiap hari, namun karena hari ini weekend maka mereka meminta libur serentak. Tentu saja sang ibu menyetujui, karena ada Renata di rumah yang bisa membantunya.
Renata melirik jam yang ada dilayar ponselnya, dia menghela nafas panjang ketika waktu sudah menunjukkan pukul 3 dini hari. Ngalamat nggak tidur sampai pagi, keluh Renata dalam hati.
Kemudian Renata membuka aplikasi perpesanan dalam ponselnya, senyumnya terukir sekilas ketika melihat berapa banyak pesan yang belum dia baca. Dan sebagian besar berasal dari kekasihnya.
Memang dari sehabis maghrib Renata tidak memegang ponsel sama sekali karena ponselnya harus diisi dayanya, sedangkan dia sudah repot sendiri mengurusi pasien-pasien sang bunda.
Tapi walaupun sekilas, dirinya tadi sudah memberi tahu Calief kalau akan sibuk dengan para pasiennya. Ketika pesan dari Calief, sudah dibaca semua oleh Renata tiba-tiba ponselnya berbunyi dan nama sang kekasih tertera di layar sebagai penelepon.
"Assalamu'alaikum," jawab Renata sambil berjalan agak menjauh dari kamar pasien. Dia merasa tidak nyaman, jika menerima telepon didekat pasiennya. Selain mengganggu istirahat pasiennya, juga takutnya apa yang akan dibicarakan sang kekasih merupakan privasi diantara mereka berdua.
"Waalaikum salam. Kamu sudah selesai tugas?"
"Belum, masih observasi. Mas Calief belum tidur?"
"Nggak bisa tidur sweetie." Mendengar itu Renata mengerutkan keningnya.
"Kenapa? Mas sakit?" tanya Renata karena khawatir.
"Sepertinya iya. Dan mas harus ke Pacitan dulu buat cari obatnya."
"Kenapa harus jauh-jauh kesini Mas? Di Solo kan juga ada. Mas tinggal ke apotik atau ke rumah sakit di sana—"
"Mas rindu kamu." Tiga kata yang diucapkan Calief dengan nada tenang nyatanya mampu membungkam mulut Renata.
"Hah—Mas a-pa?" tanya Renata dengan ragu. Renata takut kalau apa yang didengarnya barusan adalah halusinasi telinganya saja karena efek lelah.
"Mas merindukan kamu. Dan obatnya hanya bertemu dengan kamu sweetie. Sepertinya Mas benar-benar harus ke Pacitan sekarang juga." Renata berdeham untuk meredakan rasa gugupnya karena mendengar perkataan sang kekasih. Renata hanya wanita biasa yang bisa tersipu dengan jantung yang jumpalitan tidak karuan ketika ada yang merayu nya. Apalagi yang merayunya adalah kekasihnya sendiri.
"Jangan ngaco Mas, ini masih pagi buta. Lagi pula Mas belajar menggombal dari mana coba?" ucap Renata ketus, untuk menutupi rasa gugupnya.
"Yang Mas bilang itu fakta, Mas memang rindu kamu. Lagi pula kamu tahu kan kalau Mas paling tidak bisa menggombal," jawab Calief dengan santai, yang langsung mendapat dengusan keras dari Renata.
"Menggombal itu bisa dipelajari Mas. Tapi anggap saja aku percaya, mending sekarang mas tidur! Aku mau lanjutkan observasi ku dulu."
"Tunggu!"
"Kenapa lagi Mas?" tanya Renata dengan nada lelah namun bibirnya tidak berhenti tersenyum.
"Ti amo Renata"
"Hah?" Renata benar-benar speechless. Bukan karena dia tidak tahu arti dua kata yang diucapkan Calief dalam bahasa Italia itu. Namun dia tidak menyangka kalau Calief akan berkata manis di tengah malam begini. Renata menjadi curiga kalau Calief terkena pengaruh makhluk gaib, namun dia segera menepis pikiran aneh itu dari otaknya.
"Tidak ada siaran ulang sayang. Mas tidur dulu. Assalamu'alaikum." Ponsel itu langsung dimatikan sepihak oleh Calief. Sejujurnya dia kecewa karena Renata tidak membalas pernyataan cintanya, namun dia teringat janjinya yang tidak akan memaksa Renata untuk membalas perasaannya.
" Waalaikum salam," ucap Renata lirih sambil menurunkan ponsel yang ada ditangannya. Kemudian dia memandangi ponsel yang sudah mati itu. Hatinya tersentuh mendengar Calief yang terkenal kaku berani mengucapkan kata-kata manis padanya. Namun untuk membalas ungkapan cinta Calief, lidah Renata masih nampak kaku.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
kiran
te amo mucho 😍😍😍😍😍 buat critany thor💞
2021-01-21
1
soenaryati
hmmm bahasa kalbu
2020-12-31
1
Ms. Violin
19 like+rate udah mendarat untukmu kaka!
semngat selalu dalam berkarya!
Ditunggu feedback nya di karya baruku 'I Become Wife of the Atrocious Duke'.
2020-11-07
1