Seperti kemarin, pagi ini Renata berkutat kembali di dapur, membuatkan bubur untuk Calief. Renata langsung menuangkannya kedalam mangkuk, ketika bubur itu sudah matang. Kemudian diletakkannya mangkuk itu di atas baki agar mudah membawanya. Tak lupa Renata juga membawakan segelas air putih dan obat untuk Calief, agar setelah selesai dengan sarapannya Calief langsung bisa minum obatnya.
Dengan langkah pelan, gadis cantik itu berjalan menuju kamar yang ditempati Calief. Namun langkahnya terhenti tiba-tiba di ruang TV. Matanya melotot sempurna dengan tangan yang mencengkeram baki semakin erat, ketika melihat dua wanita tercintanya telah duduk santai di sofa.
"Bun-Bunda?" panggil Renata ragu-ragu dan terbata.
"Iya Kak, ini Bunda. Kenapa kamu lihat Mama sama Bunda seperti lihat debt colector?" tanya wanita yang melahirkan Renata dengan bingung. Kemudian wanita paruh baya yang masih terlihat cantik sampai sekarang itu, menatap sang putri dengan mata memicing.
"Bu-bukan begitu Bun. Masalahnya Bunda tidak bilang sama Kakak kalau mau datang," jawab Renata mencoba untuk tenang. Renata sempat menoleh kearah Rara yang tadi membuka pintu, dan melihat raut bingung sahabatnya itu Renata yakin bahwa Rara juga tidak tahu akan ada inspeksi mendadak dari kedua ibu mereka.
Renata dikit gelisah memikirkan apa yang akan terjadi nanti bila kedua ibu rempong ini tahu jika semalam ada laki-laki yang berstatus kekasihnya menginap disini.
"Bunda mau kasih surprise Kak. Kakak mau sampai kapan berdiri di situ? Enggak mau salim sama Bunda dan Mama?"
"Hah? Oh, Iya!" jawab Renata tergagap sambil berjalan mendekat kearah mama dan bunda nya untuk memberikan salam. Jangan dikira Renata memiliki dua ibu, karena Bunda itu panggilan untuk ibu Renata sedangkan mama itu panggilan untuk ibunya Rara. Mereka ber-empat memang seperti saudara, jadi panggilan untuk ibu masing-masing juga disamakan.
Tuhan, ini masih jam 6 pagi dan kedua wanita tercintaku itu sudah sampai disini? Mereka berdua ini niat banget ya? batin Renata.
“Kakak buat bubur untuk siapa?” tanya Bunda saat Renata meletakkan baki berisi bubur di atas meja. Renata kembali melirik Rara mencoba meminta bantuan tanpa kata. Namun Renata harus menggigit jarinya, ketika Rara hanya mengangkat bahu acuh. Sahabat macam apa Rara ini? Nggak membantu sama sekali, gerutu Renata dalam hati.
“Ini bubur buat Mas Calief Bun, dia lagi sakit.” Akhirnya Renata menjawab jujur meski dengan nada ragu-ragu. Mendengar itu, sang bunda mengerutkan kening bingung, sedangkan mama sudah memekik heboh.
“Calief ada disini? Dia menginap disini?” tanya Mama dengan heboh. Renata menelan ludah pelan, ketika kedua pasang mata wanita paruh baya itu menatap padanya seakan meminta penjelasan.
“Mama jangan lebay please ... Kak Heppy memang semalam menginap disini, itu juga karena dia demam dan enggak mungkin menyetir mobil untuk pulang. Lagi pula kami sudah meminta izin sama yang punya kontrakan. Jadi santai ajalah, enggak usah heboh begitu." Rara akhirnya angkat bicara ketika melihat sang sahabat yang terlihat bingung mau menjawab apa.
“Oalah," respon mama Rara sambil menghela nafas panjang. Kemudian mata mama beralih melihat kearah bunda sebelum bicara, "Calief itu ponakan aku, anaknya Mas Bima yang di Surabaya. Kamu masih ingat kan Rim?” mama menjelaskan kepada bunda, karena seperti nya Bunda masih bingung. Melihat bunda yang mengangguk, senyum mama langsung terbit.
“Terus kenapa Calief datang kesini?” tanya mama lagi penuh selidik kearah Rara.
“Kalau itu noh ... Mama tanya sama Rena saja!” jawab Rara sambil nyengir. Rara menatap Renata sambil menyeringai, seakan menantang sang sahabat untuk berbicara jujur. Sialan si Rara, kalau gini aku bakalan diinterogasi.
Renata berdeham sebentar, untuk mengurangi gugup yang mulai menguasainya. Apalagi sekarang semua mata yang ada di ruangan ini menatapnya penasaran.
“Sebenarnya Rena sama Mas Calief itu ....” Renata berhenti bicara, karena bingung mau mengatakan apa. Dia meremas kedua tangannya gelisah.
“Pacaran. Gitu aja kok ribet sih Ren.” Celetukan Rara yang spontan itu berhasil membuat Renata melotot kearah Rara, tapi hal itu malah membuat Rara cekikikan. Dasar Gila, umpat Renata dalam hati. Kemudian Renata memberanikan diri menatap kedua ibunya.
Diluar ekspektasi yang ada dibenak Renata, sang mama malah memekik heboh dan tersenyum lebar ketika mendengar berita besar itu. Sementara sang bunda yang melahirkannya hanya diam dan memandangnya penuh arti.
“Kamu antar buburnya dulu Kak, kasihan Calief sudah nunggu mau sarapan. Setelah itu Bunda mau bicara sama kamu. Bunda tunggu dikamar kamu sekalian Bunda mau istirahat dulu.” Renata hanya menganggukkan kepalanya pelan sebagai respon atas perintah sang bunda.
Tanpa banyak kata, setelah sang bunda berlalu menuju ke kamarnya, Renata melanjutkan langkahnya menuju kamar yang ditempati Calief dengan ditemani mama. Mama tentu saja khawatir dan ingin melihat langsung kondisi keponakannya itu. Sedangkan Rara, anak itu sedang heboh membuka beberapa oleh-oleh yang dibawa oleh kedua ibu mereka.
“Mas, kamu sakit?” tanya mama langung dengan nada khawatir, ketika melihat Calief yang sedang berbaring di atas ranjang. Ketika mata itu terbuka, sekilas Renata dapat melihat keterkejutan Calief walau hanya sesaat. Mungkin sama halnya dengan dirinya tadi yang tidak menyangka akan ada kunjungan dadakan dari kedua ibunya itu.
“Cuma demam Ma, kapan sampai?” jawab Calief dengan suaranya yang terdengar lemah. Calief mencoba untuk bangun dan duduk bersandar di kepala ranjang.
“Baru saja, rencana nya Mama mau buat surprise buat Rara dan Renata. Enggak tahunya sampai di sini, Mama yang dapat surprise." Jawab Mama dengan nada kesal. Calief yang tidak tahu apapun hanya mengerutkan keningnya dan menatap Renata dengan pandangan bertanya.
"Kamu kenapa enggak cerita sama Mama kalau sudah pacaran sama Rena? Terus kenapa kamu sekarang jarang main ke rumah Mama Cal, kamu nggak kangen Mama ya?” cecar mama lagi tanpa henti. Mendengar protes dari tantenya itu Calief hanya tersenyum tipis, karena mengetahui penyebab sang tante berubah kesal kepadanya.
“Bukan begitu Ma, memang lagi sibuk kerja makanya belum sempat main ke rumah Mama lagi. Kalau masalah hubungan kami, Mama tanya langsung sama Rena kenapa Calief belum cerita.” Calief berbicara sambil menatap Renata penuh arti. Sementara mama Sari yang merupakan ibu Rara langsung berdecak sebal.
“Kalau ke rumah Mama bilangnya sibuk, tapi kalau nyamperin Rena waktunya luang banget ya Cal? ” goda mama dengan senyum penuh arti. Calief cuma tersenyum sekilas tidak menanggapi godaan sang tante, sementara Renata langsung membuang muka kearah lain untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah karena malu.
“Mas ini buburnya di makan dulu, setelah itu minum obat lagi!” ucap Renata berusaha mengalihkan topik pembicaraan yang berpotensi meningkatkan rasa malunya sampai taraf maksimal.
“Enak ya Cal dilayani, berasa sudah punya istri. Mending segera dihalalkan anak gadis Mama yang satu ini,” goda mama lagi. Like mother like daughter.
“Kalau Rena mau, sekarang pun Calief siap untuk menghalalkan Rena.” Ucapan bernada santai itu sukses membuat Renata menatap Calief dengan tatapan horor. Sedangkan Sari justru tertawa senang. Renata tidak habis pikir, kenapa Calief bisa berbicara sesantai itu didepan tantenya padahal yang dibicarakan bukan hal yang sepele.
“Ma aku tinggal dulu ketemu Bunda ya,” ucap Renata langsung, menyela mama Sari yang hendak kembali membuka mulutnya. Renata merasa lebih baik dia segera keluar dari ruangan yang berhasil membuatnya tidak nyaman ini.
“Bunda kamu juga kesini swe—”
“Iya, jadi Mas makan ditemani mama saja!” sela Renata cepat, untuk menghentikan kata-kata Calief. Renata tidak ingin semakin digoda oleh mama Saru ketika wanita paruh baya itu mendengar panggilan khusus Calief untuknya.
...* * *...
“Bun ....” Renata memanggil sang bunda yang duduk di ranjangnya, setelah berhasil menutup pintu kamarnya. Sang bunda tersenyum lembut kearah Renata sambil menepuk tempat kosong disampingnya. Meminta Renata untuk duduk di samping nya tanpa kata.
“Kabar kamu gimana Kak?” tanya wanita yang melahirkan Renata itu dengan lembut. Rima memang tidak pernah memanggil nama anaknya secara langsung, kecuali beliau memang sedang marah.
"Kakak baik bun."
“Yang dibilang Rara tadi benar Kak?" Renata menatap mata sang ibu yang sedang menatapnya serius. Akhirnya kepala Renata mulai mengangguk perlahan untuk menjawab pertanyaan dari sang bunda.
“Kenapa tidak pernah cerita sama Bunda? Sudah berapa lama?” tanya bunda lagi dengan tatapan lembut.
“Baru 2 bulan bun. Bukannya tidak mau cerita, jujur awalnya Kakak enggak yakin sama hubungan ini makanya belum berani cerita sama Bunda.” Renata menundukkan wajahku setelah mengucapkan kalimat itu. Sang bunda mengelus kepala Renata dengan sayang.
“Kenapa enggak yakin, apa kelihatannya Calief main-main? Atau kamu masih terbayang masa lalu kamu?” Renata tidak kaget ketika ibunya bertanya seperti itu. Karena memang tidak ada rahasia diantara dirinya dan sang ibu. Semua kisah percintaannya sejak awal, bundanya memang tahu semuanya. Dari mulai yang manis sampai yang pahit.
“Bukan begitu Bun. Mas Calief malah terlihat serius sedari awal hubungan ini. Cuma Kakak yang masih merasa ragu, karena awal hubungan kami itu aneh bun,” jelas Renata dengan nada lelah. Ketika melihat bundanya menatapnya dengan tatapan bingung, akhirnya Renata menjelaskan semuanya dari awal tanpa ada yang ditutupi. Dia tidak ingin ada rahasia lagi dengan sang ibu, terlebih lagi dia juga membutuhkan nasehat dari sang bunda.
“Menurut Bunda Calief lelaki yang baik Kak. Coba kapan-kapan suruh ketemu Ayah. Biar Ayah juga bisa menilai.” Sekarang gantian Renata yang menatap sang bunda dengan tatapan bingung. Setelah semua penjelasannya, sang bunda malah menganggap Calief laki-laki baik.
“Dari mana Bunda yakin kalau dia baik?” tanya Renata penasaran.
“Kamu lupa kalau Bunda itu sudah berteman dengan Mama Sari dari SMA? Jadi Bunda tahu cerita seluruh keluarganya termasuk keluarga Calief. Dulu kamu juga sering main bareng kan sama Calief dan Rara waktu kecil, kamu lupa?” Renata langsung mengerjapkan matanya ketika mendengar penjelasan sang bunda.
“Masa sih bun?”
“Dulu kamu masih kecil Kak, baru 4 tahunan mungkin makanya lupa. Karena enggak lama dari itu keluarga Calief pindah ke Surabaya. Sejak saat itu mereka jadi jarang main ke Pacitan kalau enggak pas lebaran. Tapi waktu orang tuanya bercerai, keluarganya malah enggak pernah pulang ke Pacitan lagi. Cuma 3 tahunan ini setelah dia kerja saja, Calief mulai menjalin silaturahmi lagi sama keluarga Mama Sari di Pacitan.” Renata hanya bisa melongo mendengar penjelasan dari sang bunda. Dia tidak menyangka ternyata banyak informasi yang belum dia ketahui tentang sang kekasih.
“Bunda tahu informasi sebanyak ini dari mana?” tanya Renata sambil memicingkan matanya.
“Ya siapa lagi kalau bukan dari mama Sari Kak. Kamu gimana sih katanya pacarnya Calief, informasi tentang keluarganya saja kamu gak tahu?” tanya sang bunda sambil tersenyum mengejek kearah Renata.
“Kan Kakak sudah bilang, dari awal Kakak enggak yakin jadi ya belum berani tanya-tanya sampai keluarga segala!” jawab Renata sambil cemberut.
“Kamu sudah dewasa Kak. Bunda enggak pernah larang kamu dekat dengan siapapun, tapi pesan Bunda cuma satu, kamu harus bisa jaga diri ya! Minta di halalin kalau sudah tidak tahan!” ucap sang bunda dengan nada menggoda diakhir kalimatnya. Meskipun diucapkan dengan nada setengah bercanda tapi Renata tahu kalau apa yang diucapkan sang bunda adalah hal yang paling diinginkan sang ibu. Ibu mana yang ingin anaknya salah langkah melakukan pacaran yang terlalu bebas.
"Kakak tahu, insyaallah kami berdua tahu batas Bun," ucap Renata menenangkan sang bunda. "Terima kasih Bun, atas semua suport Bunda selama ini untuk Kakak. Kakak sayang Bunda.” Lanjut Renata sambil memeluk tubuh wanita yang telah berjasa melahirkannya ke ke dunia itu.
“Bunda juga sayang Kakak." Rima balas memeluk Renata dengar erat. Mereka berpelukan erat layaknya teletubbies.
"Calief kondisinya gimana Kak? Nanti zbunda pengen ketemu dia.” Pelukan mereka terlepas setelah sang bunda menanyakan kondisi kekasih dari anaknya itu.
“Demamnya udah turun Bun, nanti sore juga sudah pulang. Tapi dijemput sama asistennya, soalnya enggak mungkin juga dia bisa nyetir dengan jarak yang jauh. Bunda nanti menginap kan?” tanya Renata penuh harap.
“Enggak Kak, Bunda pamit sama Ayah nanti pulang sore. Lagi pula setelah ujian semester kamu bisa pulang karena libur kan?" Renata mendesah kecewa mendengar jawaban sang bunda. Dirinya sangat kangen dengan sang ibu, jadi sangat berharap kalau ibunya mau menginap dan tidur memeluknya.
“Jangan manyun gitu, anak bunda jadi jelek!” goda sang bunda sambil menjepit bibir sang putri.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
soenaryati
ternyata sambutan bunda ke alief baik
2020-12-31
0
Hany 🍩
Lanjut up
2020-11-02
1