Renata menatap jengah ponsel yang ada ditangannya karena dari tadi tidak berhenti berdering. Layarnya menyala menampilkan nama laki-laki yang paling dihindarinya dan kalau bisa benar-benar tidak ingin dia temui. Siapa lagi kalau bukan Heppy Calief Pratama. Namanya boleh saja Heppy tapi nyatanya kehadiran laki-laki itu secara tiba-tiba di hidupnya, membuat Renata menjadi frustasi.
Setelah pertemuannya dengan Mitha satu minggu yang lalu, Renata benar-benar seperti mendapat teror. Ratusan panggilan dan pesan setiap hari menghiasi layar ponselnya dan benar-benar menjadi momok tersendiri untuknya. Renata benar-benar merasa seperti nasabah bank yang mempunyai tunggakan hutang mencapai milyaran sehingga dikejar-kejar deep colector.
Renata akui dirinya memang sengaja menghindari Calief, karena Renata merasa berbicara dengan laki-laki itu percuma dan hanya buang-buang waktu saja. Malah cenderung membuat Renata sakit kepala dan frustasi ketika berhadapan dengan Calief. Laki-laki itu benar-benar bebal dan seenaknya sendiri. Dia tetap pada pendirian dan keinginannya yang ingin menjadikan Renata kekasih. Tidak memperdulikan keinginan Renata yang memang tidak ingin menjalin hubungan jenis apapun dan dengan siapapun.
“Rena kenapa kamu enggak angkat telepon Kak Heppy sih? Dia mau ngomong sama kamu Ren.” Tiba-tiba suara Rara mengagetkan Renata yang sedang berkonsentrasi dengan laptopnya. Renata menghela nafas panjang sambil memijit pangkal hidungnya. Ini adalah teror yang kedua, siapa lagi kalau bukan Rara, sang tangan kanan dari kakak sepupunya. Renata hanya melirik sahabatnya sekilas.
“Kamu tahu aku lagi sibuk kan Ra, minggu depan aku sidang proposal. Jadi maaf, enggak ada waktu buat mengurusi hal yang enggak penting. Lagi pula Kakak kamu itu, kalau mau ngomong bisa lewat kamu kan? Nanti baru kamu sampai kan sama aku." Jawab Renata dengan nada malas.
“Hello ... kamu pikir eike tukang antar pesan? Pak pos kali ah!” Renata tidak menanggapi Rara yang sedang menggerutu.
“Rena, aku jangan dicueki!" ucap Rara lagi dengan cemberut, namun tetap tidak mendapat respon dari sahabatnya itu. "Ren mau aku kasih saran enggak biar Kak Heppy enggak gangguin kamu lagi?” tanya Rara dengan nada antusias. Rara itu orang yang moodnya paling mudah berubah. Baru beberapa detik yang lalu dirinya kesal dengan tingkah Renata, namun sekarang hal itu sudah tidak berlaku lagi.
“Enggak! Terima kasih banyak Ra. Saran kamu biasanya malah menjerumuskan,” jawab Renata dengan tegas, gadis itu tidak memperdulikan Rara yang bibirnya sudah manyun.
“Rena, kali ini aku serius! Aku kenal Kak Heppy sudah lama Ren, bahkan sejak aku baru lahir. Jadi aku tahu banget sifatnya dia. Dia itu laki-laki yang suka tantangan, jadi semakin kamu jual mahal, dia akan semakin mengejar kamu Rena. Jadi maksud aku—”
“Aku harus menuruti kemauan kakak kamu untuk jadi kekasihnya?” sela Renata cepat sebelum Rara menyelesaikan ucapannya. Renata menatap Rara dengan tatapan tajam.
“Nah ... itu tahu!” ucap Rara semangat sambil menjentikkan jarinya. Gadis itu tidak peduli bagaimana wajah Renata yang merah padam karena menahan emosi mendengar ide gilanya.
“In your dream. Itu namanya kamu menjerumuskan sahabat kamu ini Ra.” Jawab Renata dengan ketus. Renata benar-benar merasa gemas dengan Rara. Bagaimana bisa dia memberi saran yang yang sangat bijak untuk masuk mulut singa.
“Dengerin aku dulu Rena. Maksudku kamu itu pura-pura aja terima dia jadi kekasih kamu, enggak usah pakai hati dalam menjalani hubungan ini. Terus kalau sudah jadi pacarnya kamu bikin dia ilfeel sama kamu, lama-lama juga minta putus sendiri. Lagi pula paling dia cuma mau coba rasain pacaran sama gadis petapa.” Ucap Rara santai dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya.
“Gadis petapa?” tanya Renata dengan suara yang melengking. Dan itu sukses membuat Rara berjengkit kaget.
“Sorry, ya habisnya kamu itu selama pacaran masak cuma pegangan tangan. Sudah seperti petapa yang bakalan kehilangan ilmu kalau skinship lebih dari itu.” Rara cekikikan enggak jelas. Renata berdecak sebal mendengar omongan Rara.
“Aku mau hal-hal intim itu dilakukan sama suami aku nanti. Lagi pula aku cuma mau menjaga diri Ra, karena jodoh kita kan cerminan kita." Sekarang gantian Rara yang berdecak sebal, wajahnya yang tadinya penuh senyum berubah seketika bila diingatkan tentang jodoh.
"Lagi pula Ra, kalau aku kamu sebut gadis petapa, lalu julukan yang pas untuk kamu sendiri apa? Biarawati?" tanya Renata dengan nada mengejek. "Aku masih mending pernah ngerasain yang namanya pacaran, la kamu boro-boro pacaran, suka sama cowok aja belum pernah. Jangan-jangan kamu ...." Renata tidak melanjutkan kata-kata nya tapi dia bergidik ngeri sambil menatap Rara.
"Jangan sembarangan bicara Rena!" Teriak Rara sebal. "Buat aku jomblo itu pilihan, aku belum pacaran karena belum nemu yang pas aja," lanjut Rara dengan bersungut-sungut.
"Nah itu tahu, kalau jomblo itu pilihan. Jadi sekarang terserah aku kan kalau misalnya tidak mau menjalin hubungan dengan siapapun. Lagi pula aku punya list prioritas yang ingin aku capai Ra, dan pacar tidak masuk didalamnya"
“Tapi beneran Rena, tolong pertimbangkan saran aku tadi. Lagi pula seperti yang aku bilang tadi, kamu enggak usah pakai hati biar nanti enggak sakit hati waktu putus.” Renata menggelengkan kepalanya pelan saat mendengarkan ceramah Rara yang sok bijak itu. Dirinya lebih memilih menatap laptop yang menampilkan deretan huruf dan angka didepannya dari pada menanggapi omongan Rara.
Tapi diam-diam di dalam hati, Renata membenarkan ucapan Rara, bahwa Calief hanya akan berhenti ketika keinginannya tercapai.
...* * *...
“Assalamu’alaikum ...." Akhirnya Renata mengangkat telepon dari Calief setelah seratus lima kali panggilan tak terjawab dan ratusan pesan yang masuk di ponselnya benar-benar sangat menganggu.
“Wa'alaikumsalam. Akhirnya kamu mau angkat telepon dari Mas juga.” Ada nada lega yang Renata tangkap dari suara maskulin diseberang sana.
“Karena aku lelah mas Calief teror terus!" jawab Renata dengan ketus. Bukannya marah atau tersinggung, Calief malah terkekeh geli. Rena mengerutkan kening sambil mengecek kembali nama yang tertera di layar ponselnya. Ini beneran Calief atau bukan? Karena setahu Renata, Calief yang dia kenal adalah laki-laki bertampang datar, jarang tersenyum, dan irit bicara kecuali dengan keluarganya.
“Teror? Mas tidak pernah mengirim ancaman apapun atau paket berbahaya apapun kepada kamu, Renata. Lalu yang kamu maksud teror itu apa?”
“Kirim pesan dan telepon ratusan kali itu namanya apa Mas? Mas enggak punya kerjaan apa?” Diseberang sana Calief justru tertawa. Tiba-tiba Renata menjadi merinding, dia takut kalau saat ini Calief sedang kerasukan jin atau setan sehingga menjadi sering tertawa saat berbicara dengannya.
“Itu juga karena Mas lagi kerja.” Renata mengerutkan kening bingung mendengar jawaban Calief.
“Kerja apa yang mengganggu kedamaian orang lain coba?” tanya Renata masih dengan nada ketus.
“Meluluhkan hati kamu, karena ternyata meluluhkan hati kamu butuh kerja keras.” Renata melongo mendengar kata-kata dari Calief.
Fix, orang ini benar-benar kerasukan jin atau kalau tidak dia kena depresi stadium lanjut. Mana cowok cool dan cuek yang dikejar-kejar Mitha dulu? Tidak mungkin juga kan, kepribadian seseorang bisa berubah hanya dalam sekejap waktu?
“M-mas beneran enggak apa-apa?" tanya Renata dengan ragu.
"Tidak Rena, kondisi Mas baik banget malahan."
"Ini benar-benar mas Calief kan?" tanya Renata lagi, karena dia masih merasa ada yang aneh dengan Calief.
"Iya Rena. Kenapa kamu bertanya seperti itu?"
"Hari ini Mas aneh, enggak sepeti Mas Calief yang aku kenal. Mas hari ini tertawa bahkan bisa menggombal segala."
"Aku manusia biasa, jelas saja bisa tertawa. Yang aku bilang tadi bukan gombalan Renata, tapi memang kenyataan yang ada, bahwa meluluhkan hati kamu butuh kerja keras," mendengar itu Renata berdecak sebal.
"Garing banget. Mas aku itu beneran capek dan sibuk jadi tolong jangan bercanda terus. Mas Calief sekarang pengennya gimana, aku benar-benar merasa terganggu dengan teror Mas."
“Dari awal Mas sudah bilang kan, Mas mau kamu. Mas tidak pernah bercanda dengan keinginan Mas, untuk menjadikan kamu sebagai pendamping!” kali ini Renata bisa merasakan kesungguhan dari kata-kata Calief, meskipun mereka tidak berbicara sambil bertatap muka. Tidak ada nada bercanda dalam suaranya.
“Beri waktu aku untuk berpikir Mas!” jawab Renata kemudian setelah berdiam diri cukup lama.
“Berapa lama?”
“Satu minggu, minggu depan setelah aku sidang kita bicara lagi. Tapi aku punya syarat—"
“Apa?” tanya Calief dengan nada antusias memotong kata-kata Renata.
“Selama satu minggu ini Mas enggak boleh menghubungi aku sama sekali, karena aku mau konsentrasi sama sidang ku!” Di seberang sana Calief berdecak sebal.
“Apa tidak ada syarat lain? Satu minggu itu lama, kalau aku rindu kamu bagaimana? Kata Dilan rindu itu berat sweetie.” Renata semakin merinding mendengar ucapan Calief. Hari ini banyak sekali kejutan yang diberikan Calief untuknya, Renata tidak menyangka bahwa orang yang biasanya kaku seperti Calief bisa berkata lebay juga. Beneran ini cowok butuh di ruqyah, batin Renata.
“Mas please ... kamu tinggal jawab yes or no! Dan jangan panggil aku seperti itu, karena aku bukan kekasih kamu!” Teriak Renata kesal.
“Kalau kamu bukan kekasih Mas, berarti kamu calon isteri Mas!” Renata memijat pangkal hidungnya untuk menghalau pusing yang mendera karena omongan Calief yang tambah ngawur. Sisi Calief yang seperti ini benar-benar baru untuk Renata, sehingga dirinya sendiri bingung bagaimana mengatasinya.
“Yes or no? Aku tanya untuk terakhir kali. Karena disini yang menjadi penentu akhir adalah aku!” Kata Renata dengan nada tegas. Renata benar-benar ingin segera mengakhiri pembicaraan ini, karena semakin lama berbicara dengan Calief kepalanya akan semakin sakit.
“Yes. Cuma satu minggu kan?” Renata cuma bergumam untuk menjawab pertanyaan Calief.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Risa Istifa
teror ..ahhhh jd keinget dulu ,,sering banget diteror 🤦🏽♀️🤦🏽♀️
2021-06-28
0
soenaryati
dasar heppy lebay
2020-12-31
0
siti fauziah
bener si mas hepi butuh di ruqyah
2020-12-22
2