Part 4

...[Music of This Story]...

...Ed Sheeran - Perfect...

...[]...

Lantunan lagu Perfect milik penyanyi kondang Ed Sheeran menggema hampir di setiap sudut kafe Upnormal. Aldan duduk di hadpaan Ira, di salah satu suduh kafe yang lumayan terkenal itu. Mungkin juga orang yang memasuki kafe ini, adalah seseorang yang upnormal, sama seperti nama kafenya.

"Kak," ucap Ira.

Aldan mengalihkan pandangannya dari ponselnya. "Kenapa?" tanya Aldan.

"Kenapa sih, bawa ke kafe? Baju gue terlalu tipis, dingin."

Aldan meletakkan ponselnya. Ira tahu apa yang sedang Aldan buka, apalagi kalau bukan game Mobile Lagend.

"Besok lagi, kalau main ama gue Pakai jaket. Biar nggak kedinginan," ucap Aldan.

Aldan meletakkan ponselnya dan melepas jaket yang melekat pada tubuhnya. Setelah itu, ia memakaikannya ke bahu Ira dan kembali fokus pada ponselnya.

"Buat apa?" tanya Ira polos.

"Buat jas hujan. Diluar hujan."

Jaket buat jas hujan? Yang **** siapa sih?

"Emangnya kenapa kalau hujan?" tanya Ira sambil membenarkan jaket Aldan di bahunya.

"Gue nggak mau lo sakit."

Aldan terdiam dan kembali fokus pada permainannya. Ia tidak memperdulikan Ira yang sedang bergelut dengan masalah pemahamannya. Tiba-tiba saja perut Ira mulai terasa geli, seakan banyak sekali kupu-kupu terbang disana. Mem buat ira tidak dapat fokus barang sedetikpun.

"Kalau gue sakit, emangnya kenapa?"

"Gue khawatir."

Aldan tidak menatap Ira saat mengucapkannya. Fokusnya masih terpusat pada permainannya. Sedangkan Ira bangkit berdiri dan menuju meja kasir. Setelah itu ia memesan segelas vanilla milkshake dan juga cappuccino.

Ira kembali ke tempat duduknya dan mendudukkan pantatnya di kursi. Aldan masih sibuk bermain, sesekali Aldan mengumpat saat dirinya terbunuh oleh lawan.

"Kak," ucap Ira.

Aldan hanya menggumam tak jelas sebagai bentuk jawabannya kepada Ira.

"Kita kesini mau ngapain?" tanya Ira setelahnya.

"Perlu jawaban? Lo nggak lihat di luar hujan?"

"Ya kalau hujan kenapa?"

"Gue nggak bawa jas hujan. Gue juga nggak bawa jaket double. Gue salah Pakai motor tadi, harusnya gue Pakai mobil, biar nggak kehujanan."

Pipi Ira bersemu merah, mengeluarkan hawa panasnya hingga seakan membakar kulit pipinya.

"Ke ... kenapa nggak nerabas aja? Kan nggak begitu jauh dari rumah."

"Gue nggak mau lo sakit gara-gara gue. Lo besok masih MOS."

"Tapi—"

"Udah, kita disini sampai hujan turun. Nggak usah protes."

Ira hanya dapat pasrah dan mengiyakan ucapan Aldan.

^^^Alnira^^^

^^^Bunda, Ira pulangnya agak malem, kejebak hujan. Kak Aldan nggak bawa jas hujan.^^^

Sena

Iya sayang, hati-hati.

Setelah memberikan kabar kepada Sena, sedikit jantungnya mulai mereda. Namun separuhnya masih berdetak dengan kencang. Apalagi melihat lelaki didepannya yang sedang bermain game sambil bersender di kursi kafe.

Lo ganteng, tapi sayang nyebelin, Kak!

...***...

"Ira berangkat dulu, Bun."

Ira menghampiri Sena dan mencium tangannya. Hari ini dirinya tidak lagi berangkat bersama Regha. Aldan memaksanya untuk berangkat bersama dirinya. Padahal Ira sudah menolaknya. Namun, Aldan tetap saja memaksanya. Buktinya saja Aldan sudah siap di depan rumah.

Bukannya bagaimana, namun menurut Ira ini terlalu cepat. Baru saja dia ditembak beberapa hari yang lalu, yang seharusnya hanya sebuah permainan MOS. Tapi, entah mengapa Aldan seakan serius dengan semua itu.

Bagi Ira ini terlalu cepat. Jika Aldan benar-benar serius dengannya, bukan dengan cara ini membuktikannya. Ira masih belum bisa menerima sepenuhnya. Apalagi Aldan terlalu terkenal di SMU Garuda. Ira hanya tidak ingin memuat masalah di hari-hari pertamanya masuk sekolah.

Ira berjalan pelan ke arah luar rumah, Aldan sudah siap di sana. Menaiki sebuah motor yang sama dengan sebelumnya. Ira mendekati Aldan dan beridri di sampingnya.

"Pagi, Kak."

"Pagi."

Aldan memberikan helm yang semalam Ira Pakai, kemudian Ira memakainya dan berusaha kembali naik ke atas motor dengan bantuan bahu Aldan.

"Udah kak," ucap Ira.

"Pegangan."

Aldan menghidupkan motornya sedangkan Ira mencoba untuk memegang kedua pinggang Aldan. Motor mereka mulai berjalan, meninggalkan komplek rumah Ira.

"Kak, besok lagi nggak usah di jemput. Gue bisa berangkat sama Abang."

"Gak papa, gue mau jemput pacar gue."

"Tapi, gue kira kakak nembak gue itu cuman permainan MOS."

Aldan mengurangi kecepatannya, ia pinggirkan motornya ke pinggir jalan. Kemudian mereka berhenti di bahu jalan, Aldan turun dari motor kemudian menggeret tangan Ira dan berjalan ke sebuah taman tak jauh dari sana.

"Lo cuman anggap gue nembak lo itu mainan?" tanya Aldan sambil menatap wajah Ira.

Ira menganguk, badannya menegang saat Aldan memegang kedua bahunya cukup erat. Membuat otot tubuh Ira mulai berkontraksi.

"Sekarang, lo ubah pemikiran lo itu. Gue beneran mau jadiin lo pacar gue. Kalau cara gue kemarin salah, oke kita ulang."

"Maksudnya, Kak?" tanya Ira mulai gugup kembali.

Pikirannya melayang pada hari dimana dirinya dicium oleh Aldan karena dirinya ditembak waktu itu. Ia tidak ingin kejadian itu terlang kembali, ditempat ini, saat ini juga.

"Aku, sayang sama kamu."

Apa yang Ira takutkan terjadi kembali. Aldan menempelkan bibirnya tepat di pipi Ira. Ira memejamkan matanya, merasakan sapuan bibir Aldan di pipinya yang terasa lembut. Badannya bergetar karena gugup.

"Aku mau kamu, jadi pacar aku."

Aldan berhenti bicara, ia rengkuh tubuh Ira dan memeluknya. Ira menangis di pelukan Aldan. Berfikir untuk ditembak untuk kedua kalinya tidak pernah terbayangkan di kepalanya. Namun, saat ini ia sendiri mengalaminya.

"Gu—"

"Mulai sekarang, hanya kita. Buang panggilan gue-lo diantara kita."

Ira dapat mendengar detak jantung Aldan yang mulai cepat. Detak jantugnya sendiri pun juga semakin cepat. Kecanggunggan mulai menyelimuti mereka.

Aldan melepaskan pelukannya lalu menggandeng tangan Ira dan kembali ke motor mereka. Kemudian Aldan memacu motornya dan masuk ke sekolah. Namun, entah mengapa pernyataan Aldan barusan membuat Ira kembali meragukan Aldan.

...***...

Aldo berdiri di hadapan murid angkatan 1 di SMU Garuda. Acara MOS hari ini berlanjut kembali, Aldo memegang sebuah toa sambil membawa beberapa kertas di tangannya. Beberapa pengurus OSIS lainnya berada di samping dan juga tersebar di berbagai penjuru barisan MOS.

"Pagi hari ini, kita akan membagi beberapa kelompok untuk kalian. Pembagian kelompok sudah kami buat, dan kami tempelkan ke kelas kalian masing-masing. Setelah ini, kalian bisa masuk kedalam kelas dan melihat siapa kelompok kalian beserta pembimbing. Setelah itu kalian akan mendapatkan tugas dari penanggungjawab kelas kalian."

Suara gaduh mulai tercipta ditengah-tengah mereka. Murid SMU Garuda mulai berbicara satu dan yang lainnya. Mereka semua membicarakan siapa kemungkinan yang akan menjadi teman kelompok mereka beserta pembimbingnya.

Setelah itu, terdengar suara bel yang menandakan bahwa mereka semua harus masuk kedalam kelas dan melakukan kegiatan selanjutnya. Mereka semua berlomba masuk ke dalam kelas dan melihat siapa yang menjadi teman satu kelompoknya. Tak berbeda dengan Ira, Ia langsung bergegas ke kelas yang melihat siapa yang akan menjadi teman sekelompoknya.

Ira menyusuri setiap nama yang terdapat di kertas itu. Pandangannya jatuh pada kelompok 2, enam orang yang berada dalam satu kelompok itu mulai membentuk lingkaran kecil di dalam kelas. Mereka saling berembuk dan berkenalan.

Tak lama, lima orang pengurus OSIS masuk ke kelas mereka, seketika keadaan kelas menjadi sepi. Seorang laki-laki maju ke depan. Ira dapat melihat nama orang itu.

Dirgantara Pandu Saputra.

"Perkenalkan nama saya Pandu, anak kelas duabelas Ipa 3. Saya disini sebagai penanggung jawab kelas kalian. Kelas Ips 3, benar?" tanya Pandu.

Sontak semua murid di kelas itu mengangguk dan memperhatikan Pandu yang sedang berbicara di depan kelas.

"Oke, perkenalkan teman-teman kakak, yang paling ujung ada Kak Ainun."

Orang yang dipanggil Ainun itu maju ke depan. Dengan postur tubuh yang mungil, tanpa kerudung dan juga riasan wajah yang tipis membuatnya terlihat cantik. Ira mengakuinya.

"Hai, kenalkan nama aku Ainun, kalian bisa memanggil Inun. Aku kelas duabelas Ips 1, aku bakal membimbing kelompok satu di kelas ini. terimakasih."

Ainun kembali ke belakang, kemudian Pandu kembali berbicara. "Disebelahnya ada Kak Rian."

Orang yang dipanggil Rian itu maju sama seperti Ainun tadi dan memperkenalkan dirinya. Ira berharap dia yang menjadi pembimbingnya.

"Kenalkan gue Rian. Anak duabelas Ips 4. Gue bakal ngebimbing kelompok empat. Makasih."

Ira mendengus kesal, padahal ia ingin Rian menjadi pembimbingnya. Kemudian Rian kembali ke belakang dan satu orang di sebelahnya maju ke depan. "Kenalin gue Alifia.gue anak duabelas Ipa 2. Gue bakal ngebimbing kelompok tiga."

Ira kembali mendesah kesal. Ia tidak ingin orang terakhir yang menjadi pembimbingya. Sedangkan banyak perempuan dalam satu kelompokknya malah tertawa bersama dan NamPak bahagia.

"Gue Aldan. Bakal bimbing kelompok dua," ucapnya tanpa maju ke depan.

"Oke ada pertanyaan?" tanya Pandu kepada adik kelasnya.

Mereka semua mnggeleng pelan. Kemudian Pandu mengarahkan mereka semua untuk membentuk kelompok-kelompok kecil untuk memudahkan para pembimbingnya untuk mengarahkan mereka. Setelah kelompok itu terbentuk, para pembimbing menuju kelompok masing-masing dan bergabung bersama mereka.

"Oke, tugas kalian adalah melanjutkan tugas...," ucap Pandu menjelaskan tugas mereka slanjutnya.

Hari-hari gue bakal melelahkan kali ini.

...***...

"Tugas terakhir kalian, cari perwakilan dari teman satu kelompok kalian untuk tampil dalam pensi besok. Bebas!" ucap Pandu lantang di depan kelas.

Seharian ini sangat melelahkan untuk Ira dan juga teman-temannya. Setelah disuruh mencari tigapuluh tandatangan beserta tantangannya dari pengurus OSIS, ditambah lagi dengan serangkaian kegiatan pengenalan sekolah, Ira sangat kelelahan.

Ditambah lagi besok adalah hari terakhir MOS. Masih banyak kegiatan yang akan Ira jalani besok. Ira hanya terdiam dengan pandangan kosong, pikirannya entah kemana saat ini. Yang ia pikirkan adalah rasa lelah yang ia rasakan.

"Ira, kamu dengar saya?" ucap Pandu.

Ira mengerjapkan matanya bingung dan menoleh ke arah Pandu. "De ... denger, Kak."

"Kenapa dari tadi kamu ngelamun?! Apa yang kamu pikirkan?!" tanya Pandu dengan nada membentak.

Aldan yang dibelakangnya langsung menggeret bahu Pandu. "Biasa aja dong ngomongnya," ucapnya.

"Nggak bisa, Al. bocah kayak giu nggak bisa didiemin. Bisa ngelunjak dia!"

"Ini sekolah, Ndu. Gausah Pake kekerasan atau nada tinggi, apalagi dia cewek!" ucap Aldan meninggi.

"Ya terus kenapa kalau dia cewek?" tanya Pandu santai.

"Banci tahu gak lo?! Dia cewek gue!"

"Udah, bisa nggak sih nggak pada berantem? Nggak malu dilihatin orang banyak?" tanya Ainun menengahi mereka.

"Urusan kita belom kelar," ucap Pandu sambil menunjuk wajah Aldan.

"Sebagai hukumannya, Ira kamu yang mewakili teman-teman kamu untuk tampil di acara penutupan nanti, dan saya tidak menerima penolakan!"

Pandu kemudian keluar dari kelas sambil menahan emosinya. Disusul oleh tiga pengurus OSIS lainnya, sedangkan Aldan masih di dalam dan mendekati Ira. Ia menatap lekat wajah Ira yang masih kaget.

"Kenapa kak?" tanya Ira.

"Kamu nggak kenapa-napa?"

Ira mengangguk.

"Yaudah, hati-hati. Aku mau selesaiin urusan tadi."

"Jangan berantem, Kak!"

Suara Ira melemah saat melihat Aldan menghilang di balik pintu, berbelok menyusuri koridor dan menghilang dari pandangannya.

Semoga lo nggak kenapa-napa, Kak.

...***...

Terpopuler

Comments

Sofhia Aina

Sofhia Aina

Haaa.....kok berdebat karn cewek 😡😡😡😡

2020-10-18

0

renee ivan

renee ivan

Kak, kalo mau ngutip kalimat di pesan text, coba beri tanda [ / ] , diawal dan diakhir kalimat.
Biar ada bedanya,gitu. 🙏☺️

2020-09-28

2

Rhanny Veronica

Rhanny Veronica

Kok aku jadi kangen Kaisar dan Krystal yak..

2020-09-28

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!