HANCUR...
Itulah perasaan yang kini melanda hati Arvan, tak bisa dipungkiri perasaaan Ara juga tak kalah hancur dari Arvan. Apa boleh buat, nasi telah menjadi bubur. Jika saja ia berterus terang tentang permasalahnya kepada Arvan, mungkin kejadiannya tidak akan serumit ini. Ara tak menyangka, rencananya yang tak ingin melihat Arvan kecewa karena kehilangan pekerjaanya, sekarang malah dia sendiri yang memberikan luka yang lebih pedih kepada Arvan.
Dengan langkah cepat Arvan meninggalkan acara, mencari mobilnya yang berada di parkiran. Kekasih hati yang selalu ia banggakan, berulang kali membuatnya merasakan kekecewaan yang mendalam. Arvan mengendarai mobilnya dengan serampangan, sesekali tangannya memukul- mukul setir kemudi, bahkan ia hampir menabrak seorang pengguna jalan. Arvan pun segera meminta maaf kepada orang yang hampir ditabraknya, dan melanjutkan perjalanan.
Sedangkan ditempat lain, Rizal menahan Ara yang hendak mengejar Arvan. Ara sudah merasa geram kepada Rizal, wajah Ara memerah, bahkan Rizal merasakan tangan Ara gemetar dan meremas lengannya dengan kuat, Rizal meringis menahan rasa sakit dilengannya.
Ara baru menyadari kehadiran orangtuanya dalam acara itu. Ia tidak tau jika mereka akan hadir, bahkan Ara sendiri dipaksa datang oleh Rizal. Fahri dan Rania duduk dimeja yang tak jauh dari stage, mereka terkejut mendengar penuturan Rizal yang menyatakan bahwa Ara adalah tunangannya. Ara melihat orangtuanya dengan pilu. Orangtuanya juga menatap Ara dengan tatapan yang tak bisa diartikan, ada kekecewaan yang mendalam terhadap puteri kesayangannya itu. Fahri memang diundang secara resmi oleh Ramli Atmadja yang tak lain pemilik perusahaan dan sahabatnya saat kuliah dulu. Fahri tidak tahu saja kalau Ramli pernah bertemu dengan puteri sematawayangnya itu.
Fahri dan Rania berpamitan kepada Ramli, mereka meninggalkan acara lebih awal.
"Ram, maaf.. Isteriku mendadak tidak enak badan. Sepertinya kami harus permisi pamit pulang." pamit Fahri membohongi Ramli.
"Ko bisa mendadak sakit? Tadi baik- baik saja. Ajak aja isterimu istirahat dulu! Ada ruangan khusus diatas, siapa tahu bisa baikan. Sayang sekali, acaranya belum selesai." bujuk Ramli. Rencana ingin membicarakan tentang hubungan anak- anaknya, terpaksa ia urungkan karena isterinya Fahri mendadak sakit dan ingin segera pulang.
"Tidak usah, terimakasih.. Kami pamit pulang saja." Fahri tetap pada pendiriannya yang ingin segera pulang, walaupun ia sangat penasaran dengan situasi yang terjadi dihadapannya. Namun ia memilih untuk mendengar penjelasan dari anaknya sendiri, bukan dari orang lain. Fahri yakin Ara mempunyai alasan atas sikapnya hari ini. Ramli pun merasa ada yang aneh dari tingkah sahabatnya itu, tiba- tiba saja isterinya mendadak sakit setelah menyaksikan kata sambutan dari Rizal yang menyatakan bahwa Ara puterinya adalah tunangan Rizal.
Setelah acara selesai, Rizal mengantarkan Ara pulang kerumahnya. Walaupun Ara sudah menolak untuk diantar, namun bukan Rizal namanya jika tidak bisa memaksa.
Brakk...
Ara menutup pintu mobil mewah Rizal dengan sangat keras. Ia tidak menghiraukan Rizal yang memanggilnya.
"ARA.. " panggil Rizal.
Ben yang melihat tuannya diabaikan, berinisiatif akan mengejar Ara. Namun Rizal menahan aksinya.
"Berhenti Ben, jangan dikejar." seringai licik mengembang diwajah tampan miliknya. Ia merasa rencananya hampir berhasil.
"Baik tuan."
Ara bergegas mengganti pakaiannya, dengan pakaian casual. Disambarnya ponsel dan kunci mobilnya, dengan tergesa- gesa Ara menuruni tangga. Hampir saja ia terjatuh dari tangga. Fahri yang sejak tadi menunggu Ara pulang, mendesak Ara untuk memberinya penjelasan. Namun Ara tak menghiraukannya, ia rasa masalahnya kali ini sudah fatal, dan harus segera menyelesaikannya dengan Arvan.
"Ara, jelaskan sama papa, apa yang terjadi di acara tadi?" desak Fahri. Fahri mengikuti Ara yang berlari kearah pintu. "Kamu mau kemana malam- malam begini?" tanya Fahri.
"Pa, maafin Ara. Nanti Ara jelasin, sekarang Ara mau nyusul Arvan dulu." jelas Ara.
"Tapi sayang ini sudah malam." ucap Rania cemas.
"Ara cuma sebentar ko mah. Pah, tolong izinin Ara yah," rengek Ara pada Fahri. Fahri tak kuasa melihat anaknya yang sedang kebingungan pun menyetujui keinginan Ara. Rania pun cemas dibuatnya.
Ara melesat melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Disambungkannya panggilan telepon dengan bluetooth yang terhubung kemobilnya. Setelah beberapa kali mencoba menghubungi nomor Arvan, namun tak kunjung ada jawaban. Ara semakin merasa panik, ia takut kali ini tak bisa menjelaskannya kepada Arvan.
Ara telah sampai didepan rumah Arvan, namun ia tak berani turun dari mobil, apalagi untuk mengetuk pintu rumah Arvan. Ia masih punya kesadaran dan juga rasa malu, apa kata orangtua Arvan nanti, jika malam- malam seorang gadis berkunjung. Ara hanya bisa terus menghubungi Arvan lewat telepon, walaupun Arvan tak kunjung menjawab panggilannya. Ara menatap kearah kamar Arvan yang sudah nampak gelap, tak terasa Ara meneteskan air mata. Ara yang selalu tegar dalam menghadapi masalah, kini ia menjadi lemah karena takut kehilangan Arvan.
"Maafin aku Van.." gumam Ara.
Sebuah mobil berhenti dibelakang mobil milik Ara, tanpa ia sadari pemilik mobil itu memperhatikan Ara dari dalam mobil. Malam semakin larut, Ara sudah merasa lelah sampai ia terlelap sambil duduk didalam mobil, dan menundukan kepalanya diatas setir kemudi.
Fahri yang merasa cemas kepada puterinya, yang sudah berjam- jam pergi meninggalkan rumah, namun tak kunjung pulang. Ia pun segera menghubungi orang kepercayaannya untuk melihat keadaan Ara.
Kepercayaan Fahri tiba di depan rumah Arvan, ia melihat mobil milik anak majikannya. Kemudian mendekatinya dan melihat kondisinya, setelah dirasa aman ia langsung melaporkannya via sambungan telepon. Ia juga melihat mobil lain terparkir tidak jauh dari mobil Ara, lalu dilihatnya mobil itu, ternyata kekasih majikannya yang berada di dalam mobil. Arvan mengisyaratkan kepada orang suruhan Fahri untuk tetap diam, dia pun mengerti.
"Tuan, nona Ara baik- baik saja, masih diam didalam mobil." lapor sang bodyguard via sambungan telepon selularnya.
"Bagus, cukup awasi dia dari kejauhan. Pastikan Ara aman." titah Fahri.
"Baik tuan, sesuai perintah anda." akhirnya mereka mengakhiri percakapan teleponnya.
...***...
Ara merasakan linu dan pegal disekujur tubuhnya, dia pun menggeliat. Ara barusaja menyadari bahwa dirinya saat ini sedang berada di dalam mobil, matahari sudah terlihat di ufuk timur, bahkan ia melewatkan sholat subuhnya. Seketika Ara membuka pintu mobilnya, dan berlari memasuki pekarangan rumah Arvan. Diketuknya pintu rumah Arvan dengan tergesa- gesa.
Tok tok tok
"Bu.. Assalamu'alaikum bu.." teriak Ara. Tak berselang lama ibu Nissa datang membuka pintu.
Ibu Nissa terkejut melihat Ara yang masih berantakan, pagi- pagi sudah menggedor pintu rumahnya.
"Sayang, ada apa? Pagi- pagi sudah kesini." tanya Nissa penasaran.
"Maaf bu Ara ganggu, Arvan nya ada bu, sudah bangun belum, Ara boleh ketemu sama Arvan?" rentetan pertanyaan dilontarkan oleh Ara.
"Sayang ayo masuk dulu, ayo kita bicara didalam." ajak Nissa. Diajaknya Ara kedalam rumah dan mendudukannya di kursi ruang tamu.
"Ada apa sayang, ayo cerita sama ibu." Nissa merasa ada sesuatu yang terjadi antara Ara dan puteranya, jika tidak untuk apa Ara datang pagi- pagi sekali kerumahnya.
"Ara cuma mau bicara sama Arvan bu," tutur Ara.
"Maaf sayang, tapi Arvan sudah pergi sejak subuh tadi. Memangnya Arvan nggak bilang sama kamu?" jelas Nissa. Ara terkejut mendengar penuturan ibu Nissa, ia tak menyangka Arvan akan secepat itu menghindari dirinya.
"Nggak ada masalah apa- apa kan sama kalian"? tanya Nissa lagi.
"Nggak ko bu.. Kalau gitu Ara pamit dulu, bicaranya nanti aja kalau Arvan udah pulang."
"Kamu juga nggak tahu kalau Arvan nggak akan pulang dalam waktu dekat ini, Nak..?"
Tubuhnya terasa lemas mendengar penuturan Nissa. Pasalnya ia memang tidak tahu sama sekali tentang kepergian Arvan.
"Arvan bilang ia dipindahkan ke cabang perusahaan yang ada di kota Bandung. Hanya itu yang ibu tahu nak, Arvan tidak bilang apa- apa lagi." tutur Nissa.
"Ya sudah bu, kalau begitu Ara permisi dulu." pamit Ara hendak berdiri keluar rumah, namun Nissa memanggilnya lagi.
"Sayang.. tunggu sebentar!" panggil Nissa.
"Arvan menitipkan sesuatu untuk kamu nak.. Ayo ikut ibu ke kamar Arvan." ajak Nissa.
"Memangnya tidak apa- apa Ara masuk ke kamar Arvan?" tanya Ara heran.
"Ga papa ko, kan ada ibu.." jawab ibu lembut.
Ara tak kuasa menahan air matanya, ketika ia melihat sesuatu yang tergeletak di atas nakas di samping tempat tidur Arvan. Memang benar kata pepatah, penyesalan tidak akan datang lebih dulu. Itulah yang Ara rasakan saat ini, menyesal tidak akan merubah sesuatu yang sudah terjadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments