Beberapa hari telah berlalu, setelah kejadian di restoran waktu itu Arvan tidak pernah berinisiatif untuk menghubungi Ara. Jika Ara menghubungi Arvan, ia tidak pernah menanggapinya, bahkan hanya untuk sekedar membalas pesan Ara.
Ingin sekali ia menghampiri pujaan hatinya itu, namun Ara merasa tidak punya muka untuk menemuinya. Ara sadar diri bahwa ia sudah terlalu banyak mengecewakan Arvan, terlihat jelas dari sikap Arvan yang selalu menghindarinya.
GRUP JA ( JAYA ABADI )
Arvan diminta atasannya untuk pergi ke ruangan HRD, ia pun bergegas memenuhi perintah atasannya. Ia merasa heran kenapa tiba- tiba ia diminta untuk pergi kesana.
tok tok
"Masuk!"
Terlihat seorang wanita paruh baya duduk dibalik meja kerjanya.
"Maaf bu, apa ada yang bisa yang saya bantu?" tanya Arvan.
"Oh iya, ini ada kabar bagus untuk kamu."
Arvan mengerutkan dahinya, merasa bingung dan gugup, ia menerka- nerka apa kira- kira berita baik yang akan disampaikan padanya.
"Setelah melalui banyak pertimbangan, dilihat dari kinerja kamu yang baik selama bekerja diperusahaan ini. Maka perusahaan akan mempromosikan jabatan kamu, kamu akan diberi kesempatan untuk menangani cabang perusahaan yang ada di kota Bandung. Tentunya dengan jabatan yang lebih tinggi. Kamu punya waktu satu minggu untuk mengkonfirmasi keputusan kamu." jelas karyawan HRD, sambil memberikan amplop berwarna putih berisi surat pemberitahuan mutasi kerjanya, yang segera diterima oleh Arvan.
Perasaan senang bercampur sedih. Arvan bingung, disatu sisi ia senang telah mencapai karir yang diinginkannya, namun disisi lain ia merasa berat meninggalkan Ara untuk memenuhi tugasnya.
...*****...
Syila menghampiri Ara dikamarnya, ia merasa khawatir melihat keadaan sepupunya yang akhir- akhir ini terlihat murung.
"Sayang, kamu kenapa? cerita donk!" ucap Syila sembari membelai rambut Ara, yang sedang duduk memeluk lututnya didekat jendela kamarnya.
Ara tersadar dari lamunannya, setelah mendengar suara Syila. Ia menatap mata Syila dengan lekat, berharap saudaranya itu akan memberi solusi terbaik untuknya. Dua saudara yang biasanya tak lepas dari perdebatan, kini meraka terlihat saling menguatkan.
"Syil, beberapa hari ini Arvan ga bisa dihubungi. Aku takut dia salah faham." tutur Ara dengan wajah tertunduk lesu.
"Memangnya kalian ada masalah apa, biasanya juga ga lama kalian baikan lagi. Pantesan aku lihat Arvan juga kayanya lesu banget dikantor."
"Kamu ketemu sama dia, gimana keadaannya?" tanya Ara penasaran.
"Aku sih ga ketemu dia langsung, cuma lihat sekilas aja. Arvan kan orangnya selalu bersemangat, tapi akhir- akhir ini kaya banyak fikiran." jelas Syila.
Ara kembali berkutat dengan fikirannya sendiri.
"Ra... Ra..." panggil Syila sambil mengguncangkan tubuh Ara.
"Sebenernya ada apa sih, kayanya serius banget? Biasanya kalau Arvan ngambek kamu samperin dia. Sekarang ko kamu malah murung." heran Syila.
Ara kembali terdiam.
"Ya udah, kalau kamu ga mau cerita. Jangan lama- lama marahnya, sebertar lagi kan kalian mau tunangan."
Saat Syila hendak beranjak, Ara segera menahannya. Ara berfikir mungkin jika ia menceritakan masalahnya pada Syila akan membuatnya lega dan merasa lebih baik.
Syila pun dengan sabar mendengarkan curahan hati Ara, dan berusaha mencerna apa permasalahan yang dihadapi sepupunya itu.
"Sekarang kamu istirahat aja dulu, besok aku coba ngomong sama dia." kata syila menenangkan, jarang sekali Syila melihat sisi terlemah dari Ara.
"Syil.. Aku mohon, untuk sekarang jangan kasih tahu dia dulu apa yang sebenarnya."
"Iya, aku ngerti ko."
Mama Rani tak sengaja mendengar sedikit percakapan Syila dan Ara, saat ia sedang melewati kamar Ara. Ia hanya melihat dari balik pintu yang sedikit terbuka. Mama merasa sedih melihat keadaan puterinya, namun ia juga merasa lega ada Syila yang menemaninya.
...*****...
Setelah selesai membersihkan diri, Arvan mendudukan dirinya disamping ranjang. Ia mengambil sesuatu dari dalam laci yang berada tepat disamping tempat tidurnya dan menghabiskan beberapa menit untuk menatap barang tersebut. Hampir setiap malam Arvan tidak bisa tidur, ia selalu merasa gelisah sejak kejadian waktu itu. Namun ia tidak tahu apa yang harus ia perbuat pada Ara. Ingin sekali ia bertemu dengan Ara dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, namun ia tidak sanggup dan takut akan mendengar jawaban yang tak sesuai dengan harapannya.
Hari ini Arvan berangkat kerja lebih awal, karena kantor akan mengadakan pesta ulang tahun perusahaan yang ke 35. Begitu juga dengan Syila, ia dan timnya diberi tugas untuk membantu EO menata ruangan yang akan dipakai untuk pesta. Alih- alih menyewa hotel, atasannya malah memilih aula untuk dijadikan tempat perayaan.
Saat Syila sedang mendekorasi aula, Arvan datang untuk mengecek. Syila pun bergegas menghampiri Arvan, ia ingin menanyakan masalah yang terjadi padanya dan sepupunya itu.
"Siang Pak.. Maaf, apa saya bisa bicara sebentar? tanya Syila sopan, karena ia sedang berada dalam lingkungan kantor, apalagi Arvan bisa juga disebut sebagai atasannya.
"Syila, ada apa?" ucap Arvan.
"Sebenarnya saya ingin membicarakan sesuatu, tapi ini masih jam kerja. Apa bapak bisa menemui saya saat jam makan siang?" tanya Syila lagi.
"Ok" jawab Arvan singkat
Diruangan luas yang dipenuhi meja dan kursi, serta ramai dengan karyawan yang sedang beristirahat makan siang. Arvan menemui Syila yang sudah lebih dulu tiba dikantin.
"Syila, kita bicara dimeja sana saja." ujar Arvan sambil menunjuk meja dipojokan, yang agak lenggang dari pengunjung.
"Ok.."
Syila berpamitan pada rekan- rekannya, dan pergi menyusul Arvan.
"Van, lo udah makan siang belum? Kalau belum sekalian aja makan dulu bareng gua." tawar Syila.
Arvan mengeryit merasa heran dengan sikap Syila.
"Tahu nggak, tadi lo aneh banget? Ternyata lu bisa sopan juga ya." ucap Arvan datar.
"Sialan lu Van, gini- gini juga tahu etika kali. Udah jangan ngomongin gua. Lu ada masalah apa sih sama Ara?" tutur Syila.
"Tumben Syil kamu care sama Ara, biasanya berantem terus." elak Arvan, mencoba mengalihkan pembicaraan. Sebenarnya ia tahu dari dulu Syila dan Ara suka berantem, tapi kalau salah satu diantara mereka terkena masalah maka jiwa persaudaraannya akan muncul.
"Lu tahu sendiri, gimana sifat sepupu lu itu kan?" ucap Arvan.
"Memangnya Ara kenapa lagi sih?" tanya Syila pura- pura tidak tahu.
Arvan pun menceritakan kejadian di restoran waktu itu pada Syila, dengan wajah yang terlihat murung. Syila bisa melihat dari raut wajah keduanya, mereka mempunyai perasaan yang sama namun mereka sama- sama tetap pada keegoisannya.
"Van, bagaimana kamu bisa tahu apa yang sebenernya, kalau kamu nggak mau mendengar penjelasan dari Ara. Kamu nggak bisa menyimpulkan hanya dengan menebaknya saja. Kamu kan udah kenal sama dia bukan cuma satu atau dua hari aja." jelas Syila.
"Aku takut Syil.." ucap Arvan dengan suaranya yang melemah.
"Takut kenapa Van, kamu udah tahu sendiri jawabannya. Kamu hanya membohongi dirimu sendiri."
"Aku takut mendengar Ara mengucapkan sesuatu yang tidak aku harapkan."
"Makanya kamu harus memperjelas itu, lalu bagaimana rencana kalian. Waktunya sebentar lagi." ucap Syila.
"Aku bingung Syil." jawab Arvan dan beranjak dari tempat duduknya meninggalkan Syila, ia tak ingin melanjutkan pembicaraan.
"Van.. kamu jangan nyerah Van.." teriak Syila.
Setelah Arvan bicara dengan Syila, ia merasa mendapat energi baru. Ia menekadkan dirinya untuk menemui Ara, dan mendengar penjelasannya.
Ruangan Rizal
"Ben, apa rencananya berjalan lancar?" tanya Rizal pada asistennya.
"Rencana sudah dilaksanakan, kami sedang menunggu konfirmasinya tuan. Tapi bisa dipastikan ia akan menyetujuinya." jelas Ben.
"Akan lebih bagus jika ia menerima tawaran itu." seringai licik terukir pada paras tampan sang pemilik perusahaan, entah apa yang ada dalam benaknya kali ini.
Rizal mengingat kejadian saat ia melewati kantin siang tadi. Rizal melihat Arvan sedang berbicara dengan seorang wanita, namun ia tidak melihat siapa perempuan berambut panjang yang sedang bersama Arvan saat itu, Rizal hanya melihat bagian punggungnya saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments