Langit malam perlahan diselimuti bintang-bintang, sementara bulan menggantung tenang di kejauhan. Halim dan Rian terus berjalan menyusuri jalan setapak yang mulai merunduk di bawah bayang-bayang hutan pinus. Udara dingin menusuk kulit, tapi rasa lelah yang menggelayuti tubuh mereka membuat keduanya tak terlalu memedulikannya.
..."Rian, sebentar lagi kita sampai di desa berikutnya," ujar Halim, melihat cahaya samar yang berpendar di ujung jalan. "Kita bisa istirahat di sana."...
Rian yang sudah tampak kelelahan hanya mengangguk kecil. Kakinya yang mungil berusaha tetap melangkah, meskipun tubuhnya jelas membutuhkan istirahat. Halim memperhatikan anak itu dengan rasa khawatir.
..."Kalau kamu capek, kakak bisa gendong kamu," tawar Halim....
..."Tidak apa-apa, Kakak," jawab Rian dengan suara pelan. "Aku kuat."...
Sikap keras kepala anak itu membuat Halim tersenyum tipis. Di balik tubuh kecilnya, Rian memiliki semangat yang besar.
Beberapa menit kemudian, mereka akhirnya tiba di gerbang desa. Berbeda dengan desa sebelumnya, desa ini terlihat sedikit lebih besar dengan beberapa rumah berbahan kayu yang berdiri berjajar. Cahaya lentera menerangi jalan utama, memberikan rasa hangat di tengah gelapnya malam.
Penduduk yang masih terjaga memandangi kedatangan Halim dan Rian dengan tatapan ingin tahu. Namun, tak ada tanda-tanda permusuhan. Sebaliknya, rasa penasaran lebih mendominasi wajah mereka.
..."Selamat malam, Tuan," sapa seorang pria tua yang berdiri di dekat pos jaga desa. "Kalian datang dari mana?"...
"Dari timur," jawab Halim sopan. "Kami hanya singgah sebentar. Anak ini butuh istirahat."
...Pria tua itu mengangguk paham, lalu tersenyum ramah. "Kalian beruntung. Penginapan desa masih menerima tamu. Ikutlah denganku."...
Tanpa banyak tanya, Halim mengikuti pria tua itu. Mereka melewati beberapa rumah yang terlihat hangat, dengan suara tawa anak-anak yang samar terdengar dari dalam.
..."Tuan, desa ini aman, kan?" tanya Halim hati-hati....
..."Sejauh ini, ya," jawab pria tua itu. "Kami memang sering mendengar kabar tentang serangan monster di desa-desa sekitar. Tapi desa ini dilindungi oleh seorang penjaga yang cukup tangguh."...
..."Penjaga?"...
..."Seorang petualang yang kebetulan menetap di sini untuk sementara waktu. Katanya, dia sedang menunggu sesuatu."...
Halim hanya mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut.
Penginapan desa itu adalah sebuah rumah kayu sederhana dengan dua lantai. Di dalamnya, suasana hangat menyambut mereka. Perapian di sudut ruangan memancarkan cahaya keemasan, sementara aroma sup panas tercium samar-samar.
..."Selamat datang," sapa seorang wanita paruh baya dari balik meja. "Kamar untuk dua orang?"...
"Ya, tolong," jawab Halim.
...Wanita itu tersenyum ramah. "Anakmu terlihat lelah. Aku akan menyiapkan makan malam. Silakan beristirahat terlebih dahulu."...
...Halim hendak membantah bahwa Rian bukan anaknya, tapi memutuskan untuk tidak memperpanjang penjelasan. "Terima kasih, Bu."...
Di dalam kamar kecil yang sederhana, Halim membantu Rian membersihkan diri dengan air hangat dari ember yang disediakan. Anak itu terlihat lebih segar meski matanya sudah mulai terpejam.
..."Kakak..." gumam Rian pelan....
..."Hmm?"...
..."Apa kita akan terus berjalan seperti ini?"...
Halim terdiam sejenak. Pertanyaan itu selalu terasa berat. Perjalanan ini memang belum berakhir, dan mereka belum tahu apa yang menanti di depan.
..."Iya," jawab Halim akhirnya. "Kita akan terus berjalan sampai aku bisa menemukan orang tuamu."...
Rian mengangguk kecil, lalu membenamkan wajahnya ke bantal jerami. Tak butuh waktu lama, napasnya menjadi teratur, menandakan bahwa ia telah tertidur.
Halim memandangnya sebentar, lalu duduk di sisi jendela. Bulan masih bersinar terang, menerangi desa dengan lembut. Namun, jauh di lubuk hatinya, Halim tahu bahwa kedamaian ini hanya sementara.
..."Raja Iblis... Sepuluh Jenderal..." gumamnya pelan. "Seberapa jauh lagi sampai aku bertemu dengan mereka semua?"...
Namun untuk saat ini, ia memutuskan untuk memejamkan mata. Besok, perjalanan akan kembali berlanjut.
Keesokan Paginya.
Matahari pagi menyelinap masuk melalui celah jendela, membangunkan Halim dari tidurnya. Di sampingnya, Rian masih terlelap, terlihat nyaman di bawah selimut tipis.
Setelah memastikan bahwa Rian masih tidur nyenyak, Halim keluar dari kamar untuk mencari udara segar. Di luar, penduduk desa mulai beraktivitas. Para petani berjalan menuju ladang, sementara anak-anak berlarian di jalanan dengan tawa ceria.
..."Tempat ini... damai sekali," pikir Halim....
Namun, lamunannya terhenti saat ia merasakan tatapan seseorang. Di sudut jalan, seorang pria berbaju kulit dengan pedang di punggungnya berdiri, menatap Halim dengan penuh minat.
..."Petualang?" tebak Halim dalam hati....
Pria itu mendekat perlahan, wajahnya terlihat santai namun penuh rasa penasaran.
..."Hei," sapa pria itu dengan nada ramah. "Kau terlihat seperti bukan orang sekitaran sini, seseorang yang punya banyak cerita."...
...Halim menatapnya tanpa ekspresi berlebihan. "Mungkin. Tapi saya bukan orang yang suka menceritakan banyak hal."...
...Pria itu terkekeh. "Tenang saja. Aku juga bukan tipe yang banyak bertanya. Namaku Garen. Aku tinggal di desa ini sementara waktu."...
..."Halim."...
Mereka saling berjabat tangan. Garen tampak lebih berpengalaman, dengan sorot mata tajam yang menandakan bahwa ia telah menghadapi banyak pertempuran.
..."Kalau boleh tahu," lanjut Garen, "apa tujuanmu datang ke desa ini?"...
...Halim tidak langsung menjawab. "Cuma singgah. Aku dan seorang anak kecil sedang dalam perjalanan."...
...Garen mengangguk paham. "Kalau begitu, semoga perjalanan kalian lancar. Tapi kalau butuh bantuan, aku ada di sini. Jangan sungkan.."...
Halim mengangguk singkat sebelum kembali ke penginapan.
Saat Rian terbangun dan mereka selesai sarapan, Halim mengatur rencana untuk perjalanan berikutnya. Berdasarkan peta yang ia miliki, perjalanan ke barat masih akan memakan waktu beberapa hari.
..."Setelah desa ini, kita akan melewati hutan cemara," jelas Halim pada Rian. "Hutan itu cukup lebat, tapi kalau kita terus mengikuti jalur utama, kita tidak akan tersesat."...
..."Baik, Kakak!" sahut Rian ceria....
Wanita pemilik penginapan memberikan mereka sedikit bekal tambahan sebelum mereka berangkat.
..."Hati-hati di jalan," ucapnya dengan hangat....
..."Terima kasih."...
Dengan langkah mantap, Halim dan Rian meninggalkan desa, kembali menyusuri jalan setapak yang membentang di hadapan mereka. Meskipun bayangan masa lalu terus menghantuinya, Halim bertekad untuk melanjutkan perjalanan ini.
..."Selama aku masih berdiri, saya akan terus maju."...
Dan di sampingnya, Rian berjalan dengan semangat, percaya bahwa bersama Halim, ia akan selalu aman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments