Matahari mulai condong ke barat, menumpahkan warna jingga ke langit. Aroma roti panggang dan sup hangat memenuhi ruangan kecil itu, membawa kenyamanan yang jarang dirasakan Halim belakangan ini.
Di meja kayu sederhana, Rian menyantap makanannya dengan lahap, seakan semua beban yang sempat menghantuinya lenyap sejenak. Sementara itu, Halim duduk di sudut ruangan, memandangi api yang menari di perapian.
..."Terima kasih banyak, Pak," ucap Halim setelah meneguk air dari cangkir tanah liat....
...Pria paruh baya yang telah menyambut mereka, yang akhirnya Halim ketahui bernama Darman, mengangguk dengan senyum hangat. "Kau dan anak itu butuh tempat singgah. Kami rakyat desa tahu betul bagaimana rasanya hidup di bawah ancaman."...
...Halim terdiam sejenak, lalu bertanya pelan, "Desa ini... apa pernah diserang monster juga?"...
...Darman menghela napas panjang. "Beberapa bulan lalu, kawanan goblin turun dari pegunungan. Mereka merusak ladang dan menculik ternak. Untungnya, kami berhasil mengusir mereka dengan bantuan para petualang di desa."...
..."Dan kalau serangan besar datang?" tanya Rian dengan polosnya....
...Pria itu menatap lurus ke arah Halim, sorot matanya mengeras. "Kami tak akan punya banyak pilihan. Desa ini tak punya kekuatan seperti kota-kota besar. Tapi, menyerah juga bukan pilihan."...
Halim mengangguk pelan. Tekad Darman mengingatkannya pada dirinya sendiri, seseorang yang memilih untuk melawan meskipun tahu risikonya besar.
..."Kalian akan menginap di sini malam ini," lanjut Darman. "Besok, kalau kalian masih berniat melanjutkan perjalanan, aku akan memberi tahu jalur tercepat menuju barat."...
..."Terima kasih," ucap Halim sekali lagi....
Rian, yang kini terlihat mengantuk setelah kenyang, mendekati Halim sambil mengucek matanya.
..."Kakak Halim... Aku capek," ucapnya pelan....
...Halim tersenyum tipis. "Ayo, tidur. Kamu butuh istirahat."...
Halim membaringkan Rian di ranjang kecil di sudut ruangan. Napasnya perlahan menjadi teratur, tertidur dalam kedamaian yang jarang ia rasakan.
Bagi Halim, malam itu tidaklah sedamai yang terlihat.
Beberapa Jam Kemudian...
Bulan menggantung di langit malam, cahayanya menerangi desa yang sunyi. Tapi di sudut tertentu, bayangan bergerak di antara rumah-rumah, nyaris tak terlihat.
Di dalam rumah Darman, Halim tiba-tiba membuka matanya. Hatinya merasa gelisah, seolah ada sesuatu yang mengintainya. Tanpa membuang waktu, ia bangkit perlahan, memastikan Rian masih tertidur lelap.
Dengan gerakan hati-hati, Halim berjalan ke jendela dan mengintip keluar. Udara dingin menyapu wajahnya, namun itu bukan yang membuat tubuhnya merinding.
Sosok berjubah yang pernah ia temui di hutan berdiri di tengah jalan desa, menatap langsung ke arahnya.
..."Dia lagi..."...
Halim segera meraih pedangnya. Tapi saat tatapannya berpaling sesaat, sosok itu sudah menghilang, meninggalkan jejak samar di atas tanah berembun.
Tak ingin membangunkan penghuni rumah, Halim menyelinap keluar. Angin malam berhembus pelan, membawa bisikan yang terasa ganjil.
..."Aku tahu kau di sini," ucap Halim pelan, matanya menyapu sekeliling....
Tak ada jawaban. Hanya keheningan yang menyelimuti desa. Tapi Halim tetap waspada.
Lalu, suara langkah pelan terdengar di belakangnya. Halim berbalik cepat, pedangnya teracung. Ternyata, yang ia lihat hanyalah sesosok pria tua dengan tongkat kayu, wajahnya dipenuhi keriput.
..."Maafkan aku, Nak," ucap pria itu dengan suara gemetar. "Kau terlihat gelisah. Apakah kau... melihat sesuatu?"...
...Halim menurunkan pedangnya, merasa sedikit bersalah. "Tidak apa-apa, Pak. Saya hanya memastikan semuanya aman."...
Pria itu mengangguk, meskipun sorot matanya menyiratkan kekhawatiran.
..."Desa ini memang aman untuk saat ini," lanjutnya, "tapi bayangan dari pegunungan terasa seperti sedang mengintai."...
Halim terdiam. Kata-kata itu terasa seperti peringatan yang samar.
..."Beristirahatlah, Nak," ucap pria tua itu sebelum kembali berjalan tertatih menuju rumahnya....
Halim memandang sosoknya hingga menghilang di balik pintu, lalu memutuskan untuk kembali ke rumah Darman. Namun, perasaan tak nyaman masih terus menghantuinya.
Keesokan Harinya
Cahaya matahari pagi menyambut desa dengan kehangatan yang menenangkan. Penduduk mulai beraktivitas, mempersiapkan peralatan bertani dan mengurus ternak. Rian, yang sudah terbangun, berlarian kecil di halaman dengan wajah ceria.
..."Kakak Halim!" serunya riang. "Lihat! Aku dapet apel dari Bibi!"...
...Halim tersenyum tipis. "Baguslah. Makan yang banyak biar kuat."...
Darman mendekat dengan membawa sekantong kecil berisi roti kering dan buah-buahan. "Bekal untuk perjalanan kalian," katanya.
..."Terima kasih, Pak Darman."...
Pria itu mengangguk. "Kau sudah tahu jalurnya. Terus ke barat, melewati hutan pinus. Setelah itu, kau akan sampai di desa berikutnya."
..."Baik."...
Halim membimbing Rian meninggalkan desa, melangkah di jalan tanah yang membentang di bawah langit biru. Tapi meskipun perjalanan ini tampak biasa, Halim tahu bahwa di suatu tempat, masih ada yang mengintainya.
..."Kalau kau memang ingin melihat apa yang akan terjadi," gumamnya pelan, "maka lihatlah. Aku akan terus berjalan."...
Halim melangkah dengan tekad yang semakin kuat..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments