Langkah kaki Halim menyusuri jalan setapak yang dikelilingi pepohonan rindang. Rian, bocah yang kini bersamanya, mengikuti dari belakang dengan tatapan waspada. Hutan yang semula terasa menakutkan perlahan berubah menjadi lebih tenang. Suara burung-burung kembali terdengar, seolah mencoba menghapus sisa-sisa kengerian yang baru saja terjadi.
..."Kalau terus ke arah barat, kita bakal sampai di desa terdekat," kata Halim, memecah keheningan....
Rian hanya mengangguk pelan. Bocah itu masih tampak syok, meskipun raut ketakutannya mulai memudar. Halim tidak menyalahkannya. Melihat monster sebesar Lycan pasti bukan pengalaman yang mudah dilupakan bagi anak seusianya.
..."Aku heran," lanjut Halim sambil melirik ke arah bocah itu. "Kenapa kamu kabur dari desa dan bisa sendirian di tengah hutan begini? Apa desamu diserang monster?"...
...Rian terdiam beberapa saat sebelum akhirnya membuka mulut. "Desa... diserang dua hari lalu. Monster-monster datang dari arah pegunungan. Mereka menghancurkan rumah-rumah, membakar ladang, dan..."...
Suara Rian tercekat. Halim bisa melihat matanya mulai berkaca-kaca.
..."Aku lari," lanjut bocah itu dengan suara gemetar. "Saya nggak bisa berbuat apa-apa. Aku cuma... lari."...
...Halim menghela napas pelan. "Itu bukan salahmu, Rian. Kadang, menyelamatkan diri adalah satu-satunya pilihan yang kita punya."...
..."Tapi aku senang bisa bebas..." lanjut Rian....
..."Bebas.... Apa katamu lagi?" Halim memastikan....
..."Bebas" jawabnya lagi....
..."Ah... Aku mengerti. Rupanya dia anak yang diculik para bandit, mereka menjualnya di desa sebagai budak. Memang bandit sialan..." Ucapnya dalam pikiran....
Bocah itu menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis. Halim berjongkok, meletakkan tangannya di bahu kecil Rian.
..."Kamu sudah bertahan sejauh ini. Itu berarti kamu kuat."...
Rian tidak menjawab, tetapi tatapannya mulai menunjukkan secercah keberanian. Halim tersenyum tipis, meskipun jauh di dalam hatinya, rasa marah mulai menyala. Desa-desa yang dihancurkan monster, anak-anak yang kehilangan keluarganya semua itu terus terjadi mungkin di bawah bayang-bayang Raja Iblis.
..."Semakin cepat saya mengalahkannya, semakin cepat semua ini berakhir," gumam Halim dalam hati....
Mereka melanjutkan perjalanan, melewati akar-akar pohon yang menjalar di tanah dan rerumputan yang menghampar luas. Cahaya matahari menembus celah dedaunan, menghangatkan jalan mereka. Tapi ketenangan itu tak berlangsung lama.
...Krek!...
Suara ranting patah membuat Halim refleks menarik pedangnya. Mata tajamnya menelusuri sekitar, memastikan tidak ada ancaman yang mengintai.
..."Jangan takut, tetap di belakangku," bisiknya pada Rian....
Namun, saat ia bersiap menghadapi kemungkinan terburuk, sosok yang muncul dari balik semak-semak justru mengejutkannya. Seekor kelinci putih kecil melompat keluar, menatap mereka dengan mata bulatnya yang polos.
..."Ah... Cuma kelinci," gumam Halim, menurunkan pedangnya....
...Rian yang sempat tegang kini menghela napas lega. "Kakak kelihatan serem banget tadi."...
...Halim tertawa kecil. "Refleks. Siapa tahu monster lain tiba-tiba muncul."...
Mereka kembali berjalan, namun kali ini dengan suasana yang sedikit lebih ringan. Rian bahkan mulai bercerita tentang desanya tentang teman-temannya, permainan favoritnya, dan makanan khas yang biasa dimasak ibunya. Halim mendengarkan dengan sabar, memberikan senyuman sesekali.
..."Apa Kakak juga punya desa tempat tinggal?" tanya Rian tiba-tiba....
Halim terdiam sejenak. Kenangan lama yang selama ini ia kubur perlahan muncul kembali.
..."Dulu," jawabnya singkat. "Tapi Aku tidak tinggal di sana lagi. Untuk sementara..."...
Rian menatapnya penuh rasa ingin tahu, tapi tidak mendesak lebih jauh. Halim merasa lega. Ada banyak hal yang belum siap ia ceritakan pada anak seusianya.
Setelah beberapa jam berjalan, akhirnya pepohonan mulai menipis. Dari kejauhan, mereka bisa melihat asap tipis membumbung ke langit, pertanda adanya perkampungan di dekat sana.
..."Itu desanya," ujar Halim. "Kita hampir sampai."...
Namun, sebelum mereka melangkah lebih jauh, Halim merasakan sesuatu yang aneh. Udara di sekitarnya mendadak terasa berat.
..."Rian, mundur," bisiknya....
Bocah itu menurut tanpa banyak bertanya. Halim menghunus pedangnya, menajamkan pendengarannya. Suara gemerisik di kejauhan terdengar samar, seperti langkah-langkah yang mencoba disembunyikan.
..."Akhirnya kutemukan."...
Suara itu bergema di antara pepohonan, dingin dan penuh rasa puas. Dari balik bayangan, sosok bertudung muncul. Jubah hitamnya berkibar diterpa angin, dan tatapan matanya bersinar merah redup.
..."Jenderal Raja Iblis?" gumam Halim....
Tapi sosok itu bukan Elyra. Ini adalah orang lain, seseorang yang memancarkan aura yang jauh lebih gelap.
..."Menyerah lah, manusia," ucap Sosok itu dengan suara berat. "Takdirmu telah ditentukan."...
...Namun Halim hanya tersenyum tipis. "Aku sudah bosan dengan omongan itu."...
Dia merunduk sedikit, bersiap menghadapi pertempuran yang mungkin tak bisa dihindari. Tapi di sudut pikirannya, satu pertanyaan terus menghantuinya.
..."Kalau Elyra salah satu dari mereka, apakah dia juga sekutunya?"...
Namun itu adalah kekhawatiran yang harus ia singkirkan untuk saat ini. Dengan Rian di belakangnya, Halim tahu dia tidak bisa kalah.
..."Ayo, kita lihat siapa yang akan ditentukan oleh takdir sebenarnya," ucapnya sambil mengacungkan pedangnya ke depan....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments