Menyusup melalui pepohonan dan melintasi pagar besi yang lebih mirip dinding benteng kerajaan, Rohan dan Riki akhirnya berhasil masuk ke dalam area istana. Meski harus terjun dari ketinggian sekitar 23 meter, keberadaan tumpukan jerami yang tebal berhasil mengurangi dampak luka mereka, meski tetap terasa perih.
“Hei, langkah selanjutnya apa, Riki?” bisik Rohan sambil mengusap lengannya yang memar.
“Itu sekarang tugas lu yang buat rencana,” jawab Riki sambil menyengir, tampak bingung.
“Kenapa malah gue?” Rohan mendelik kesal.
“Rencana gue cuma sampai masuk halaman istana. Kalau sudah sampai ke ruang-ruang istana, I don’t know, hehe,” ujar Riki sambil mengangkat bahu.
Rohan memutar mata, mencoba menahan frustrasi. Namun, sebelum mereka sempat berdiskusi lebih lanjut, jerami yang mereka duduki mulai bergerak.
“Eh, jeraminya kok…” bisik Rohan, mulai panik.
Mereka berdua segera menutupi tubuh mereka dengan tumpukan jerami, menyadari ada seorang penjaga istana berdiri tidak jauh dari mereka. Beberapa saat kemudian, seorang pelayan menarik tumpukan jerami ke arah belakang istana. Rohan dan Riki saling pandang dengan penuh harapan.
“Kesempatan!” bisik Riki penuh semangat.
Duduk diam di bawah tumpukan jerami, mereka akhirnya masuk ke dalam istana tanpa sengaja, melalui pintu belakang seperti adegan film yang nyaris mustahil terjadi di dunia nyata.
Mereka bergerak dengan hati-hati dari satu ruangan ke ruangan lain, menghindari pandangan para penjaga. Riki, yang berada di belakang Rohan, terus memantau situasi sambil sesekali bergaya dramatis seperti di film aksi.
“Hah, bener-bener kayak live action, ya!” bisik Riki sambil tersenyum puas.
Namun, rasa puas itu berubah menjadi petaka ketika Riki tidak sengaja menyenggol sebuah patung kecil. Patung itu jatuh ke lantai dengan bunyi keras.
Brakk!
“Gawat!” seru Rohan pelan, panik.
Langkah kaki para penjaga mulai terdengar, bergerak cepat ke arah mereka.
“Lari!” bisik Riki, dan keduanya langsung berhamburan mencari tempat berlindung.
Namun, dalam kepanikan, mereka berdua akhirnya terpisah. Rohan masuk ke salah satu lorong gelap, sementara Riki tersesat ke koridor panjang yang penuh pintu besar.
Rohan berlari menuju sebuah ruangan dengan pintu besar dan segera menutupnya rapat. Dari dalam ruangan, dia mendengar suara langkah kaki para penjaga yang berlarian di luar, lalu perlahan menjauh hingga tak terdengar lagi.
Meski suara langkah sudah hilang, rasa was-was masih menyelimuti Rohan. Dia memutuskan untuk tetap tinggal di ruangan itu sementara waktu. Matanya menyapu sekeliling ruangan yang megah. Di sudutnya terdapat tempat tidur mewah layaknya milik seorang raja. Namun, perhatian Rohan tertarik pada sebuah lukisan yang tergantung di dinding dekat rak buku yang berantakan.
Lukisan itu menggambarkan bentuk segi delapan yang tampak belum selesai. Di sudut kanan bawah lukisan, terdapat tulisan berbunyi Arashi, menggunakan huruf kuno yang mirip dengan tulisan di buku yang pernah dibawa Ratih.
Rohan mendekat dan mulai meneliti lukisan tersebut. Namun, ketika dia sedang asyik mencari sesuatu di dalam lukisan, tiba-tiba sebuah tangan merangkul bahunya dari belakang.
Rohan menoleh cepat, dan tatapan mereka bertemu.
“AAAAAAAHHH!!!” keduanya berteriak bersamaan, terkejut.
“Siapa kau?” tanya pria itu dengan nada curiga.
Rohan terdiam sejenak, lalu menjawab gugup, “A… aku… aku Rohan.” Namun, wajah pria itu seperti tidak asing baginya. Rambut perak dengan poni belah dua, matanya berwarna kuning keemasan seperti mata miliknya. Pakaian khas miliki kerajaan berwarna biru dengan jubah putih.
Pria itu memandangi wajah Rohan dengan tatapan tajam, lalu mendekat untuk mengamati lebih saksama.
“Hmmm, wajahmu...” gumam pria itu.
Rohan segera mundur, merasa tak nyaman, terutama karena pria itu membawa pedang di pinggangnya. Menyadari hal tersebut, pria itu melepas pedangnya dan meletakkannya di atas meja.
“Oh, maaf. Aku Chandra,” ujarnya sambil mengulurkan tangan.
Rohan terkejut mendengar nama itu, lalu bertanya, “Chandra? Kau… pangeran?”
Chandra mengangguk ringan. “Ya, tapi cukup panggil aku Chandra saja.”
Dia menyuruh Rohan duduk, dan perbincangan kecil pun dimulai.
“Oke, Rohan,” ujar Chandra sambil menatapnya. “Aku punya satu pertanyaan untukmu. Dari mana asalmu?”
Rohan menghela napas. “Dari… entahlah. Agak sulit dijelaskan. Maaf, tapi bolehkah aku meminta bantuanmu?” tanyanya penuh harap.
Chandra mengernyit. “Bantuan apa?”
“Salah satu temanku ditangkap oleh panglima, sementara temanku yang lain entah di mana. Bisakah kau membantuku mencari mereka?” pinta Rohan, suaranya terdengar memelas.
Chandra terdiam sejenak, tampak memikirkan sesuatu. Akhirnya dia menjawab, “Baiklah, aku bisa membantumu. Tapi ada satu syarat.”
“Apa itu?” Rohan mulai merasa tegang.
“Kau harus tetap berada di sini hingga seseorang datang dan jawab pertanyaannya dengan jujur. Membujuk panglima itu bukan perkara mudah. Bagaimana?” Chandra mengulurkan tangannya untuk meminta persetujuan.
Rohan memikirkannya sejenak, lalu menjabat tangan Chandra. “Baik, aku setuju.”
Setelah memastikan Rohan memahami syaratnya, Chandra menyuruhnya tetap berada di ruangan itu. “Tunggu di sini. Akan ada seseorang yang datang untuk menemanimu,” katanya sebelum keluar dari ruangan.
Kini suasana menjadi sunyi. Rohan, yang merasa sedikit gelisah, mulai berkeliling ruangan untuk mencari sesuatu yang mungkin berguna.
***
Riki yang masih bersembunyi di dalam lemari pakaian mulai merasa sesak napas. Akhirnya, dia memutuskan keluar, meski tubuhnya lemas karena terlalu lama berdiri dalam posisi sempit. Beberapa pakaian dari lemari ikut tersangkut di tubuhnya saat dia melangkah keluar. Dengan napas berat, Riki menjatuhkan dirinya ke kursi dekat jendela dan tanpa sadar tertidur di sana.
Beberapa jam berlalu berlalu...
Cahaya mentari sore menyoroti wajahnya, membangunkannya dengan lembut. Riki mengerjapkan mata, mencoba memahami situasi. Sebelum dia tertidur, tirai jendela ruangan itu tertutup rapat, tetapi sekarang tirai tersebut terbuka lebar.
Dada kirinya terasa berat, seperti ada sesuatu yang menindihnya. Dengan kaget, dia menunduk dan melihat seorang gadis dengan rambut panjang berwarna perak yang terikat rapi bersandar di dadanya. Setelah menatap wajah gadis itu lebih saksama, dia terkejut.
"Astaga... gadis ini siapa? Putri? Ratu? Pakaian ini terlihat terlalu indah," pikirnya panik. "Oh tidak... sebentar lagi aku bisa masuk daftar buronan kerajaan!"
Gadis itu perlahan membuka matanya, dan tatapan mereka bertemu. Riki yang tidak pernah berada dalam situasi seperti ini merasa canggung. Dia hanya terpaku, sementara gadis itu tersenyum lembut.
"Ποια είναι η γλώσσα σας? (Apa bahasamu?) Yunani? Jawa Kuno? Sansekerta? English? Melayu?" tanya gadis itu dengan nada tenang.
Riki tergagap sejenak, lalu menjawab, “Melayu.”
Gadis itu tersenyum lebih lebar. “Oh, namaku Citrea. Siapa namamu?”
“Riki,” jawabnya singkat, masih gugup.
“Riki? Nama yang bagus,” ucap Citrea sambil menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. “Apa yang kau lakukan di kamarku?”
Riki terkikik mendengar kata "kamarku". Setelah berpikir sejenak, dia memutuskan untuk berkata jujur.
“Ehem, begini... ada prajurit yang mengejarku, jadi aku sembunyi di sini,” jawabnya malu-malu.
Citrea mengerutkan dahi. “Kenapa prajurit mengejarmu?”
Riki menggaruk kepala dengan canggung. “Mungkin karena aku tidak sengaja menjatuhkan patung kecil di lorong istana,” katanya sambil tertawa kecil.
Citrea tersenyum tipis. “Jangan khawatir. Itu bukan masalah besar. Kau sendirian di sini?”
“Tidak. Aku bersama dua temanku. Tapi kami terpisah. Apakah kau bisa membantuku mencari mereka?” tanya Riki penuh harap.
Citrea mengangguk mantap. “Tentu. Aku bisa membantu. Sekarang kita teman, ya?” ucapnya sambil mengulurkan tangan.
Riki tersenyum lega dan menjabat tangan Citrea. Setelah itu, mereka berdua bersiap untuk keluar dari kamar. Dengan hati-hati, Citrea memimpin jalan, membawa Riki menyusuri istana untuk mencari Rohan dan Ratih.
***
Rohan masih menunggu kabar dari Chandra, sambil menanti seseorang yang disebutnya akan datang. Di tengah kebosanan, dia membuka halaman-halaman buku di hadapannya, tetapi tidak menemukan sesuatu yang berarti. Saat itulah, matanya tertuju pada sebuah buku di atas lemari tinggi yang mulai menyala terang.
Rohan mendekati lemari itu, mencoba meraih buku tersebut. Namun karena terlalu tinggi, dia mengambil meja kecil di dekatnya untuk dijadikan pijakan. Dengan hati-hati, dia memanjat dan berhasil mengambil buku itu. Namun, sebelum dia sempat melihat isinya, seseorang menariknya hingga terjatuh dari atas meja.
Rohan berdiri dengan tergesa-gesa, memandang sosok misterius di depannya. Orang itu mengenakan pakaian seperti pejuang, dengan wajah tertutup kain hitam, dan rambut berwarna hitam. Tatapan tajam dengan warna mata biru cerah membuat Rohan merasa gugup. Namun, Rohan merasa akrab dengan orang itu.
“Perkenalkan, aku Rohan. Apakah Chandra yang menyuruhmu kesini?” tanya Rohan, mencoba memecah keheningan.
Sosok itu mengabaikan pertanyaannya dan langsung mengambil buku yang baru saja dipegang Rohan.
“Jangan sentuh apa pun di sini,” ucap orang itu dengan nada tegas.
“Maaf,” sahut Rohan, “Aku hanya tertarik pada simbol segidelapan di buku itu.”
Pernyataan Rohan membuat sosok bermasker itu mendekatinya.
“Duduk,” perintahnya singkat.
Rohan menuruti perintah itu dengan ragu. Sosok itu mulai melepas sebagian aksesoris baju zirahnya, menatap Rohan dengan intens.
“Aku ingin menanyakan sesuatu,” katanya.
“Apa yang ingin kau tanyakan?” Rohan balik bertanya, masih waspada.
“Apakah kau bukan berasal dari sini... atau lebih tepatnya, dari zaman ini?”
Rohan berpikir sejenak, mempertimbangkan apakah aman untuk memberitahukan kebenaran.
“Aku belum bisa menjawab,” jawabnya. “Aku tidak tahu siapa dirimu.”
Sosok itu terdiam sesaat, lalu berkata, “Jika aku memberitahumu siapa aku, apakah kau akan menjawab semua pertanyaanku dengan jujur?”
Rohan mengangguk. “Ya.”
“Baiklah,” ujarnya, membuka sedikit penutup wajahnya. “Aku adalah penasihat utama kerajaan ini... dan kakak dari Chandra. Chandra yang mengirimku ke sini. Ini buktinya.”
Dia menyerahkan secarik surat kecil kepada Rohan.
Rohan membaca surat itu:
Rohan, ini akan memakan waktu lama karena para tetua menyandera Ratih. Jadi, aku mengirim kakakku ke kamarnya. Oh ya, kamar yang kau masuki itu kamar kakakku! Dia suka memakai masker sebagai bagian dari latihan penyamaran, hehe. Namanya Aras. Kau bisa percaya padanya. — Chandra
Rohan menghela napas lega. Dengan sedikit lebih percaya diri, dia mulai menjawab pertanyaan Aras.
“Iya, aku bukan dari sini... dan bukan dari zaman ini.”
Aras memejamkan mata, seolah mencerna informasi itu. “Apa yang kau ketahui tentang simbol segidelapan?”
“Aku hanya menemukan beberapa petunjuk,” jawab Rohan pelan, “Tapi maaf, aku belum bisa memberitahumu.”
“Sebutkan sekarang!” desak Aras.
“Mengapa aku harus memberitahumu?” balas Rohan.
“Karena aku penasihat istana,” jawab Aras dengan tegas.
Rohan berpikir keras, khawatir nasib Ratih dan Riki akan terancam jika dia tidak bekerja sama. Akhirnya, dia mulai bicara.
“Baiklah. Aku dan teman-temanku menemukan petunjuk dari reruntuhan kuno di Kerajaan Roulis. Ramalan di sana menyebutkan bahwa musibah besar akan datang, dan satu-satunya yang dapat menghentikannya adalah...” Rohan menghentikan ucapannya.
“Apa? Apa yang bisa menghentikannya?"” tanya Aras, semakin mendesak.
Rohan mengingat kisah Pangeran Yang Hilang, dikisahkan jika Chandra memiliki saudara kembar bernama Citrea dan kakak tirinya yang bernama Arashi. Di tulisan Chandra tadi tertulis jika kamar yang sedang dia huni adalah kamar kakaknya, yang tak lain dan tidak bukan adalah Arashi yang dia cari.
"Apa? Lanjutkan! Ini perintah!" desak Aras.
Rohan terdiam, matanya terpaku pada sosok Arashi yang berdiri di depannya dengan aura intimidasi yang begitu kuat. Langkahnya mundur tanpa sadar, seolah mencoba menciptakan jarak aman. Gerakan kecil itu tidak luput dari perhatian Arashi, yang langsung mengarahkan pedangnya ke arah Rohan.
"Lanjutkan!" suara Arashi tajam, tegas, dan penuh perintah, matanya menatap langsung ke dalam jiwa Rohan dengan kilatan dingin yang menekan.
Rohan menelan ludah, tubuhnya sedikit kaku. Namun, dia menguatkan diri dan menatap balik. "Bisa kau lepaskan penutup wajahmu itu?" tanyanya, suaranya terdengar serak tapi mantap.
Arashi menatapnya lekat, lalu tersenyum kecil, senyum yang lebih mirip ejekan. "Ternyata kau menyadarinya juga." Dengan gerakan perlahan namun penuh keyakinan, Arashi membuka maskernya, memperlihatkan wajah yang selama ini tersembunyi di balik kain gelap itu.
Rohan tersentak, matanya membesar. Dia tak bisa berkata-kata saat melihat wajah di depannya, wajah yang nyaris sama dengan miliknya. Perbedaannya hanya satu mata Arashi berwarna biru dingin yang menembus, sementara matanya sendiri kuning keemasan yang memancar hangat.
"Bagaimana mungkin..." Rohan berbisik, hampir tak terdengar oleh Arashi.
"Lanjutkan!" Arashi mengulang perintahnya dengan nada lebih tegas, langkahnya maju selangkah mendekati Rohan.
Rohan akhirnya berbicara, meski suaranya terdengar gemetar. "Kau... bagaimana mungkin kau..."
"Hah? Apa maksudmu?" Arashi memotong, nadanya penuh rasa tidak sabar.
Rohan menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. "Ada sebuah bencana besar yang akan datang di masa depan, di zamanku. Satu-satunya cara menyelamatkannya adalah mencari tahu alasanmu menghilang setelah perang besar... tapi kau masih di sini."
Mata Arashi menyipit, ekspresinya berubah dingin. "Jadi kau ingin aku menghilang?!"
"Bukan seperti itu!" Rohan membalas dengan nada tegas, mencoba menjelaskan. "Bagaimana aku harus menjelaskannya..."
Arashi tiba-tiba tersenyum kecil, senyum yang lebih mirip ancaman. "Chandra bilang kau adalah reinkarnasiku dari masa depan."
Rohan terkejut, tubuhnya sedikit mundur. "Apa? Aku belum mengatakan apa pun tentang itu..."
Sebelum dia bisa melanjutkan, pedang Arashi tiba-tiba melayang cepat, ujungnya kini berada di leher Rohan. Tatapan Arashi tajam saat matanya memperhatikan liontin segidelapan yang tergantung di leher Rohan.
"Darimana kau mendapatkan liontin itu?" tanya Arashi, suaranya rendah namun penuh tekanan.
Rohan, yang merasa kesabarannya mulai habis, dengan gerakan cepat menyingkirkan pedang itu dari lehernya. "Kau tidak perlu tahu," jawabnya dengan nada kesal.
Ekspresi Arashi berubah, tatapannya berkilat dengan kemarahan. "Berani sekali kau!" Dia mengangkat pedangnya lagi, kali ini dengan lebih serius.
Namun Rohan, meski gemetar di dalam, berdiri tegak dan menatap balik Arashi tanpa gentar. Ada sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa dijelaskan sebuah rasa familiar yang aneh, seolah menghadapi bagian dari dirinya sendiri yang telah lama hilang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments