Malam hari terasa dingin sekali. Suara burung hantu terdengar sayup-sayup dari luar jendela. Jarum jam sudah menunjuk pukul satu malam, namun Rohan tidak bisa tertidur. Matanya hanya memejam beberapa kali, tapi rasa kantuk tak kunjung datang. Dia memutuskan untuk pergi keluar mencari udara segar.
Dengan jaket hitam tebal, Rohan berjalan-jalan sekitar rumah. Sangat sepi tidak seperti diperkotaan yang banyak terdengar suara kendaraan lalu lalang. Memandangi pepohonan dan merasakan dinginnya udara yang menusuk kulit. Merasa cukup, Rohan kembali masuk ke rumah. Namun, langkahnya terhenti oleh seorang kakek yang tiba-tiba muncul dihalaman rumah.
"Kemarilah, nak," panggil kakek itu dengan suara pelan yang nyaris tak terdengar.
Rohan menghampirinya, "Ada apa kakek? Apa perlu bantuan sesuatu?" tanya Rohan yang sedikit bergetar karena kakek itu berpakaian seperti dukun.
Kakek itu melihat Rohan dari ujung rambut hingga ujung kaki dan menatap matanya langsung. "Kau akan mendapatkannya nanti. Bersabarlah, semua yang terjadi adalah ujian sebelum kau lulus," ucap kakek itu yang langsung pergi meninggalkan Rohan.
Rohan hanya berdiri menatap kakek itu, menghilang dari kegelapan malam. Dia tidak mengerti apa maksudnya.
Keesokan paginya, Rohan membantu Simbok memasak di dapur. Aroma kuah kaldu menguar memenuhi ruangan, sementara suara riuh warga yang membersihkan lingkungan terdengar dari luar. Sikap ramah dan gotong royong para warga membuat Rohan berpikir, sepertinya orang tua kandungnya dulu sangat dihormati di desa ini.
Mengingat kejadian semalam, Rohan memutuskan bertanya kepada Simbok. Dengan ragu, dia berkata, "Simbok, apa Simbok pernah bertemu seorang kakek yang membawa tongkat dan memakai peci hitam seperti dukun?"
Simbok menghentikan gerakannya mengaduk kuah kaldu. "Kakek nganggo peci hitam? Oh, kui mesti Kakek Joko. Dia orang paling tua di desa ini, umurnya kira-kira sudah 113 tahun. Emangnya Nak Rohan ketemu sama dia?"
"Iya, mbok. Apa dia seorang peramal?" tanya Rohan penasaran.
"Hmm, yo iyo. Tapi, Kakek Joko jarang ngomong soal ramalan. Yen Nak Rohan bejo, mungkin Kakek Joko gelem ngomongi soal ramalan."
Rohan teringat kata-kata kakek itu semalam tentang "sebuah ujian besar yang harus dilalui."
"Simbok, kalau boleh tahu, di mana rumah Kakek Joko?"
Simbok menggeleng. "Simbok rak reti omahe, Nak. Tapi biasanya dia sering terlihat di pinggir hutan cedhak batu besar. Kalau Nak Rohan pengen ketemu, cari dia di sana. Tapi ojo mlebu hutan terlalu dalam, yo."
Rohan mengangguk. Setelah selesai sarapan, dia pamit keluar untuk mencari Kakek Joko.
***
Rohan sampai di batu besar yang disebut Simbok. Dia memeriksa sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Yang menarik perhatiannya adalah sebuah papan kayu usang bertuliskan "BUKIT SENA".
"Ini kan bukit yang diceritakan Jack. Ternyata tempat kelahiranku dekat dengan bukit misterius ini," gumamnya.
Tiba-tiba, Rohan merasa diawasi. Dia menoleh, melihat bayangan bergerak di antara semak-semak. Dengan rasa penasaran, Rohan mendekat. Bayangan itu menjauh, menarik Rohan semakin dalam ke hutan.
Kabut semakin tebal, dan pohon-pohon tinggi menghalangi cahaya matahari. Rohan tersadar bahwa dia sudah berjalan terlalu jauh dan kehilangan arah. "Kemana jalannya? Apa gue tersesat?" ucapnya panik.
Langkah kaki terdengar mendekat. Rohan melihat seorang pria tua bertongkat dan mengenakan peci hitam. "Kakek Joko?" tanya Rohan, mengingat kejadian semalam.
Kakek itu mengangguk. "Ayo, Kakek antar keluar. Kau pasti tersesat," katanya dengan tenang.
Rohan mengikuti Kakek Joko keluar dari hutan. Ketika sampai di pinggir batu besar, Rohan merasa lega. Namun, dia masih memikirkan ucapan Kakek Joko semalam.
"Kek, apa maksud dari yang Kakek katakan semalam? Tentang ujian itu?" tanya Rohan akhirnya.
Kakek Joko duduk di atas batu besar, menatap jauh ke arah hutan. "Hidup ini penuh ujian, nak. Bila kau berhasil melewati ujian itu, kebahagiaan akan menjadi ganjarannya. Kau mencari kebenaran tentang keluargamu, bukan? Tapi ingat, perjalananmu akan membawa pilihan sulit. Pilihan itu akan menentukan hidupmu."
Penjelasan itu membuat Rohan terdiam, pikirannya melayang pada kenangan samar tentang keluarganya.
"Jangan terlalu dipikirkan," ujar Kakek Joko, menepuk pundak Rohan. "Anggap saja semua yang terjadi adalah kehendak Tuhan. Kehidupanmu di panti asuhan justru lebih baik daripada di sini."
Rohan terkejut. "Darimana Kakek tahu saya tinggal di panti?"
Kakek Joko tersenyum tipis. "Kakek bisa melihat lebih dari yang kau kira."
Rohan langsung bertanya, "Kalau begitu, apa Kakek tahu tentang kerabat saya?"
Kakek Joko menggeleng perlahan. "Ada hal-hal yang harus kau cari sendiri, nak. Itu cara terbaik agar kau siap menerima kebenarannya."
Rohan mengangguk, sedikit kecewa tapi menghormati jawaban itu. Setelah berbincang sebentar, dia pamit untuk kembali ke rumah besar.
Sebelum langkahnya benar-benar menjauh, suara berat dan penuh teka-teki Kakek Joko menghentikan langkah Rohan. "Kau akan kembali lagi, Nak. Tapi bukan dengan pertanyaan yang sama," ujar Kakek Joko, nadanya terdengar seperti angin yang berbisik di sela-sela pepohonan.
Rohan memutar tubuhnya, mencoba memastikan apa yang baru saja didengarnya. Namun, Kakek Joko tampak tenang, hanya tersenyum kecil sambil mengetuk-ngetukkan tongkat kayunya ke tanah.
"Ap... apa maksud Kakek?" tanya Rohan dengan alis yang berkerut, seakan mencari kepastian.
Kakek Joko hanya menatapnya dalam-dalam, matanya seperti menyimpan ribuan rahasia. Lalu, dengan suara nyaris berbisik yang terdengar hanya oleh Rohan, dia berkata, "Kau akan kembali lagi, Pangeran..."
Rohan tersentak. Kata itu "Pangeran". Apa maksudnya? Dia menatap Kakek Joko, tapi sebelum sempat bertanya lebih jauh, kakek tua itu sudah melangkah pergi, tubuhnya perlahan menghilang di balik kabut yang mulai turun di sekitar hutan.
Rohan hanya berdiri terpaku, hatinya penuh tanda tanya. Napasnya terasa berat, seolah ucapan Kakek Joko tadi bukan sekadar kata-kata biasa, melainkan ramalan yang harus dia hadapi suatu hari nanti.
***
Sore itu, Rohan sedang memandangi foto kedua orang tuanya di ruang tengah ketika terdengar ketukan pintu. Simbok buru-buru masuk dan memberi kode agar Rohan bersembunyi di bawah tempat tidur.
Ketukan itu disusul oleh suara dua wanita yang masuk ke dalam rumah. Percakapan mereka terdengar tegang, meskipun tidak sepenuhnya jelas.
"Pembantu itu benar, tidak ada siapa-siapa di sini," ujar seorang wanita berbaju hitam.
"Sudahlah, mungkin ini cuma salah paham," sahut wanita berbaju batik.
Setelah kedua wanita itu pergi, Simbok segera menarik Rohan keluar dari persembunyiannya.
"Mereka siapa, Mbok? Kenapa aku harus sembunyi?" tanya Rohan.
"Mereka kerabatmu, Nak. Tapi ati-ati karo wong mau. Simbok ora yakin maksud mereka baik. Jangan sebut namamu atau asal-usulmu kalau bertemu mereka lagi," ucap Simbok serius. Rohan mengangguk.
***
Sore hari, ketika berjalan menuju halte bus, Rohan merasa diawasi lagi. Ketika menoleh, dia melihat seseorang berjubah hitam berdiri di tengah jalan. Bayangan itu tidak bergerak, hanya memandangnya.
Tiba-tiba, dua mobil mendekat. Beberapa pria turun dan memaksa Rohan masuk ke dalam salah satu mobil. Mereka menyerahkan surat untuk ditandatangani.
"Surat apa ini?" tanya Rohan, bingung dan gemetar.
"Ini hanya formalitas. Tenang saja, ini untuk tes kecil," jawab salah satu pria dengan nada menenangkan.
Setelah menandatangani, mereka meninggalkan Rohan sendirian dengan sebuah mobil. Rohan berdiri terpaku, memikirkan apa yang sebenarnya sedang terjadi.
"Tes? Jubah hitam? Apa ini semua ada hubungannya dengan keluargaku?" bisiknya, penuh tanda tanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments