Mereka pergi ke rumah Kepala Desa untuk meminta peta lokasi atau rute tercepat menuju puncak Bukit Sena. Kepala Desa tampak tidak senang dengan keputusan mereka dan berusaha mencegah mereka untuk mendaki.
"Tempat itu sangat berbahaya dan angker. Saya, sebagai Kepala Desa Talakrimbun, melarang kalian mendaki," tegas Pak Badrul.
"Tapi, Pak Badrul, Anda tidak tahu apa yang telah kami alami. Kami terus diteror oleh seseorang berjubah hitam yang selalu mengikuti kami," jelas Rohan dengan wajah serius.
"Benar, Pak Kepala Desa. Teror itu sangat mengganggu," tambah Riki.
Kepala Desa menghela napas panjang. "Jika kalian sudah bertemu Drako, berarti ini masalah besar," kata Kepala Desa dengan wajah khawatir.
"Drako? Jadi nama orang berjubah hitam itu Drako?" tanya Ratih heran.
Kepala Desa mengangguk. "Drako adalah penjaga Bukit Sena yang berasal dari reruntuhan kuno. Dia bukan manusia, tidak punya perasaan, dan selalu mencari seorang pangeran," jelas Kepala Desa.
"Bagaimana Kepala Desa bisa tahu kalau Drako itu mencari pangeran?" tanya Rohan curiga.
"Dia sering muncul di sini, mengganggu penduduk, meskipun dia tidak menyakiti siapapun. Namun, setiap kali dia muncul, dia selalu mengucapkan kata 'pangeran hilang'. Warga, terutama anak-anak, sangat ketakutan melihatnya," jawab Kepala Desa, membuat mereka bertiga merinding.
"Lalu, apa yang harus kami lakukan? Drako terus meneror kami dengan ancaman," kata Ratih yang mulai panik.
Suasana hening sejenak, dan Pak Badrul tampak ragu memberikan rute tercepat ke Bukit Sena. Tiba-tiba, seorang kakek muncul dari luar rumah.
Mereka semua keluar untuk melihat siapa yang datang, dan Rohan sepertinya mengenali kakek tersebut.
"Kakek Joko?" kata Rohan dengan terkejut.
Ratih menoleh ke arah Rohan. "Kau mengenalnya?" tanya Ratih.
Rohan mengangguk. "Iya, itu Kakek Joko."
Pak Badrul menyambut kedatangan Kakek Joko. "Kakek Joko, apa yang bisa saya bantu?" tanya Kepala Desa.
Kakek Joko tertawa kecil. "Aku hanya ingin anak-anak ini datang ke tempatku dan membahasnya lebih jauh," jawab Kakek Joko.
"Apa Kakek Joko mengizinkan mereka pergi ke hutan terlarang itu?" tanya Kepala Desa, terlihat ragu.
"Aku akan memutuskan setelah mendengar cerita mereka. Mari ikuti aku," kata Kakek Joko sambil melangkah pergi.
Mereka bertiga mengikuti Kakek Joko yang menuju hutan utara. Tak lama kemudian, mereka sampai di sebuah gubuk tua yang beratap dedaunan kelapa kering dan dinding bambu.
"Kalian masuklah dulu ke dalam. Kakek akan mengambil sesuatu sebentar," kata Kakek Joko sambil melangkah pergi.
Di dalam gubuk, mereka melihat banyak benda aneh, seperti kepala ular dan alat sesajen yang berbau kemeyan. Ratih tidak tahan dengan bau itu dan memilih keluar.
"Baunya sangat menyengat. Kita keluar saja, di luar nggak terlalu parah," kata Riki sambil meraih tasnya.
Namun, begitu mereka keluar, mereka merasakan ada yang berbeda. Ratih yang berjalan mengelilingi sekitar gubuk tiba-tiba terhenti.
"Bukannya tadi gubuknya nggak seperti ini?" tanya Ratih heran.
Riki yang melihat ke depan juga merasa aneh. "Kenapa di depan ada pohon aneh ini? Padahal tadi tanah lapang," kata Riki bingung.
"Tunggu dulu, jam berapa ini?" tanya Rohan yang mulai merasa aneh dengan suasana yang semakin gelap.
Riki melihat jam tangannya dan ponselnya. "Ini baru pukul 3 sore, kok sudah gelap seperti ini?" tanya Riki, wajahnya terlihat khawatir.
Tiba-tiba, suara yang memanggil mereka bertiga terdengar dari belakang. Mereka menoleh dan melihat sesosok bayangan hitam dengan mata merah menyala.
"AAAAHHHHH!!!" teriak mereka bersamaan, dan tanpa pikir panjang, mereka langsung berlari menjauh dengan ketakutan.
Setengah jam berlarian...
"Tunggu dulu, kita sudah setengah jam berlari. Gue capek banget..." keluh Riki, terengah-engah karena kelelahan.
Rohan menoleh ke belakang. "Sepertinya bayangan hitam tadi nggak ngejar kita," ucap Rohan, masih terengah-engah.
"Lalu kenapa kita lari tadi!" Ratih kesal, suaranya meninggi.
"Untuk berjaga-jaga aja kalau dia ngejar," jawab Rohan dengan tertawa kecil, diikuti tawa ringan dari Riki.
Ratih langsung memukul kepala mereka berdua. "Kalian masih bisa tertawa di saat kayak gini!" bentaknya, kesal.
"Jangan terlalu marah, Ratih. Kami cuma mau meringankan ketegangan," ujar Rohan sambil berusaha menenangkan kemarahan Ratih.
"Udah, udah. Sekarang, kita harus pergi ke arah mana?" tanya Riki, mencoba mengalihkan perhatian.
Mereka semua terdiam, berpikir keras mencari jalan keluar dari hutan yang penuh kabut itu. Rohan berjalan beberapa langkah, dan tiba-tiba melihat cahaya yang menembus celah-celah pepohonan.
"Eh, lihat itu! Ada cahaya terang. Mungkin di sana ada tanah lapang atau sesuatu, kita coba ke sana aja," ajak Rohan sambil menunjuk ke arah cahaya.
Mereka bertiga melangkah menuju cahaya itu. Sesampainya di sana, mereka terkejut melihat sebuah reruntuhan bangunan kuno yang sudah ditumbuhi lumut dan tumbuhan liar.
"Runtuhan apa ini?" tanya Ratih sambil mengambil sebuah batu berbentuk segidelapan yang tergeletak di dekat reruntuhan.
Riki yang melihat Ratih membawa batu itu mendekat dan memeriksa lebih teliti. Gambar yang terukir di batu itu tampak familiar, simbol segudelapan kerajaan kuno.
"Ini... ini reruntuhan kerajaan kuno, kerajaan pangeran yang hilang," ucap Riki, memandang ke arah sebuah pintu gerbang yang tertutup.
"Apa kita harus masuk ke dalam sana?" Ratih bertanya dengan suara gemetar, masih merasa takut.
"Iya, kalau kau masih lelah, tunggu di sini saja. Biarkan aku dan Riki yang masuk," jawab Rohan dengan wajah gelisah melihat Ratih yang gemetar.
"Ti... tidak, aku ikut masuk. Bagaimana kalau bayangan tadi juga datang ke sini pas kalian berdua masuk?" jawab Ratih, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
"Baiklah, kalau begitu. Ayo, kita semua masuk!" seru Riki, meskipun sebenarnya dia juga masih takut dengan sosok bayangan yang tadi mereka lihat.
Menyusuri lorong gelap di dalam reruntuhan, mereka bertiga saling menatap satu sama lain. Rohan yang membawa senter meneliti setiap bebatuan yang mereka lewati. Banyak corak segidelapan yang masih menyimpan misteri dan belum mereka pahami maknanya.
"Kita sudah lama berjalan. Apakah jalan ini buntu atau memang labirin?" tanya Ratih, sambil memeluk Rohan erat dari belakang.
Riki hanya memandang mereka berdua dari belakang, merasa sedikit cemburu. "Kapan gue kayak gitu?" batin Riki, dengan sedikit rasa iri yang tak bisa disembunyikan.
"Sepertinya ini hanya lorong biasa. Mungkin lebih baik kita kembali saja," kata Rohan, sambil mulai melangkah mundur, memutuskan untuk kembali ke jalan keluar.
***
Riki adalah seseorang yang sangat tertarik dengan sejarah dan geografi. Hampir semua kejuaraannya berkaitan dengan mata pelajaran IPS. Dia selalu menghabiskan waktunya untuk belajar, dan orang tuanya sangat membatasi pertemanannya, karena mereka percaya bahwa lingkungan dapat memengaruhi cara berpikir seseorang. Ketika Riki masuk SMA, dia memutuskan untuk tinggal mandiri di apartemen, jauh dari pengawasan ketat orang tuanya. Namun, didikan yang membatasi sosialnya sejak kecil membuat Riki sedikit kesulitan dalam berkenalan dengan orang lain. Pertemuannya dengan Rohan di olimpiade sewaktu SMP menjadi momen terbaik dalam hidupnya, karena melalui Rohan, dia akhirnya bisa berteman dengan seseorang yang bukan berasal dari kenalan orang tuanya.
***
Tengah malam...
"Sepertinya kita tersesat di sini," ucap Rohan, yang membuat Ratih semakin panik.
"Benar yang dikatakan Rohan. Sudah tengah malam, kita belum keluar juga," sahut Riki sambil memeriksa jam digitalnya.
"Aaah! Kalian membuatku takut saja! Bagaimana jika ada sesuatu yang menghampiri kita di sini?!" keluh Ratih, tubuhnya gemetar.
Kreeek... kreeek... (suara gesekan semak-semak)
Mereka bertiga langsung waspada terhadap sekitar. Riki memanjangkan tongkatnya dan meraba-raba semak-semak itu.
"Hanya kadal jelek, tidak berguna," ucap Riki, yang membuat Rohan dan Ratih merasa sedikit lega.
Namun, tiba-tiba sebuah tangan mencengkeram Rohan. "AKHIRNYA KAU DATANG JUGA, HUWAHAHAHAHA!" suara orang berjubah hitam itu terdengar tepat di belakang mereka.
"ROHAN!!!" teriak Ratih, menyadari bahwa orang yang dia peluk mulai menghilang dalam kegelapan.
Riki dan Ratih mencoba menyusul Rohan, namun keduanya dipisahkan oleh kekuatan magis yang kuat, masing-masing terlempar ke tempat yang berbeda.
Riki terdampar di puncak bukit dekat kuil, sementara Ratih berada di ruangan penuh lukisan dan buku-buku kuno yang usang.
Rohan masih terseret, berusaha menghentikan tarikan itu, namun usahanya sia-sia hingga dia akhirnya sampai di sebuah ruang persembahan yang tampak misterius, gelap, dan tak terdefinisikan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments