Di Ruang Persembahan...
"LEPASKAN!" teriak Rohan, yang mendapati dirinya dirantai di tengah ruangan suram.
Di hadapannya, si jubah hitam, Drako, sibuk mengasah pisau dengan corak segidelapan yang dihiasi dua permata biru dan merah seolah pisau itu memiliki tujuan khusus untuk Rohan.
Rohan melihat sekeliling. Kerangka manusia berserakan di lantai, menciptakan suasana mencekam.
"Gawat, apa aku akan berakhir seperti mereka? Tidak apa-apa, selama Ratih dan Riki selamat... Tapi, di mana mereka sekarang?" pikir Rohan, mencoba menenangkan diri.
***
Di perpustakaan kuno...
Ratih membuka matanya, ruangan remang-remang membuat pandangannya sedikit kabur. Dia segera mencari dua batu untuk membuat api kecil.
"Ini merepotkan…" keluhnya sambil menggesek batu hingga menghasilkan percikan yang cukup untuk menyalakan obor kecil.
Dengan cahaya di tangan, dia mulai menjelajahi ruangan. Rak-rak tua yang penuh dengan buku-buku berdebu memenuhi ruangan itu, dan di sudut, sebuah pintu terkunci rapat.
"Ugh, terkunci. Tapi ini perpustakaan, kan? Biasanya ada kunci cadangan di suatu tempat," gumamnya, mulai mencari.
Ketika memeriksa meja dan rak, sebuah buku dengan aksara kuno menarik perhatiannya.
"Buku tentang… Pangeran Arashi?" ucapnya membaca tulisan samar di sampulnya. "Apa ini ada hubungannya dengan Rohan dan Drako jelek itu?"
Namun, ketika mencoba membuka buku itu, halaman-halamannya tak bergerak, seolah-olah direkatkan. Ratih frustrasi, bahkan mencoba memukulnya dengan batu, tetapi sia-sia.
"Dasar buku keras kepala!" keluhnya, membanting buku itu ke lantai.
Tiba-tiba, buku itu terbuka sendiri, memancarkan aura aneh. Ratih terkejut, tapi rasa ingin tahunya mengalahkan ketakutannya. Dia mengambil buku itu dan melihat gambar seorang pangeran berpakaian kerajaan lengkap.
"Dia… dia mirip dengan Rohan," gumamnya. Matanya tertuju pada kalung berbentuk segidelapan yang dikenakan pangeran dalam gambar itu.
Menyadari pentingnya buku tersebut, Ratih memasukkannya ke dalam tasnya dan kembali mencari kunci.
***
Di kuil dekat bukit...
Riki memandang sekeliling, kabut tebal menghalangi pandangannya. Dia memutuskan untuk duduk dan menunggu pagi, berharap kabut akan hilang.
Namun, rasa penasaran membawanya memasuki kuil tua di dekatnya. Tidak lama kemudian, cahaya roh muncul di hadapannya.
"Kemarilah… kemarilah…" suara lembut memanggilnya.
Riki menelan ludah, tubuhnya gemetar. "A-apa kau temannya Drako? Atau… kau ingin membunuhku juga?" tanyanya ragu.
Roh itu tidak menjawab, hanya melayang menuju sebuah sudut tersembunyi di kuil.
Dengan hati-hati, Riki mengikutinya. Ketika roh itu berhenti, dia menunjuk ke tanah.
"Di sini?" tanya Riki, melihat ke arah yang ditunjuk.
Tanpa pikir panjang, dia mulai menggali. Setelah beberapa saat, sebuah kotak ukiran muncul dari dalam tanah. Membukanya, dia menemukan sebuah kalung berbentuk segidelapan.
"Kalung ini… milik siapa?" tanya Riki, menatap roh.
"Pangeran… Pangeran Arashi…" bisik roh itu sebelum menghilang.
Penasaran, Riki melihat jam digitalnya. Sudah pukul 5 pagi, dan dia memutuskan untuk kembali ke reruntuhan kuno demi menyelamatkan teman-temannya.
***
Sinar mentari pagi mulai menyelinap ke dalam ruangan. Drako tiba-tiba menghilang tanpa jejak, meninggalkan Rohan sendirian.
Rohan segera memanfaatkan momen itu. Dia menggerakan rantai. Setelah beberapa kali mencoba, rantai itu akhirnya hancur namun bukan karena usahanya melainkan sebuah kilatan biru. Tanpa pikir panjang, Rohan langsung melompat keluar melalui jendela dan melarikan diri ke kolam terdekat.
Namun, langkahnya terhenti ketika dia mendengar suara langkah mendekat.
"Kau baik-baik saja?" tanya seseorang.
Rohan berbalik, melihat seorang pria dengan badan yang lebih tinggi mengenakan jaket biru, rambut perak dan mata yang warnanya sama dengan dirinya. "Siapa kau?" tanyanya curiga.
"Namaku Chandra. Sebelumnya kita pernah bertemu, tapi sepertinya kau belum..." jawabnya santai.
"Dimana? Kapan?" Rohan menyipitkan mata, mencoba mengingat.
Chandra tersenyum. "Tidak masalah kalau kau lupa. Yang penting sekarang, teman-temanmu ada di runtuhan kuno. Aku bisa membantumu."
Rohan mengangguk, meski masih mencurigai Chandra. Bersama, mereka berjalan menuju runtuhan kuno. Namun, Rohan tahu satu hal Chandra menyembunyikan sesuatu.
Sampai di runtuhan kuno, Rohan menghentikan langkahnya setelah mendengar Chandra duduk di sebuah batu besar di tepi lorong. Dia menoleh, tatapannya dipenuhi rasa ingin tahu sekaligus curiga.
"Kenapa kau tidak ikut masuk? Bukannya tadi kau tahu banyak tentang tempat ini?" tanya Rohan, suaranya terdengar skeptis.
Chandra tersenyum tipis, menatap ke arah lorong gelap di depan mereka. "Bukan tidak ingin ikut, hanya saja... tempat ini punya aturan. Aku lebih baik menunggu di sini. Lagipula, aku yakin kau bisa melakukannya sendiri."
Rohan menyipitkan mata. "Aturan apa yang kau maksud? Kau terdengar seperti orang yang sudah sering ke sini."
Chandra berdiri dan menunjuk ke sebuah lorong bercabang di sisi kiri. "Ratih ada di sana. Perpustakaan kuno, tempat dia terkunci. Kau bisa menemukannya jika terus berjalan ke arah itu."
Rohan menatap Chandra dengan dahi berkerut. "Dari mana kau tahu dia ada di sana? Kau belum menjawab pertanyaanku tadi."
"Sudah kubilang, itu tidak penting," jawab Chandra ringan. "Sebelum kau datang, aku sudah lebih dulu berada di sini dan melihat beberapa hal."
"Tidak cukup. Kau tahu tempat ini seperti punggung tanganmu. Itu bukan sesuatu yang bisa didapat hanya dengan 'mengamati'."
Chandra menoleh, tatapannya tenang tapi penuh misteri. "Percaya atau tidak, itu pilihanmu. Aku hanya memberimu informasi yang kau butuhkan untuk menemukan teman-temanmu."
Rohan mengepalkan tangan, merasa jawaban itu terlalu mengambang. "Dan apa jaminannya informasi ini benar?"
Chandra menghela napas, menunjuk lorong lain di sisi kanan. "Jika kau tidak percaya, kau bisa pergi ke arah itu, ke ruang bawah tanah. Tapi aku yakin kau tidak ingin bertemu dengan sesuatu yang jauh lebih berbahaya."
"Bagaimana aku tahu kau tidak sedang memanipulasiku?" desak Rohan.
Chandra tersenyum, kali ini lebih lebar. "Karena aku satu-satunya yang tahu jalan di tempat ini. Dan lagi, kalau aku ingin mencelakakanmu, aku tak perlu repot-repot bicara panjang lebar."
Rohan menatap Chandra lama, mencoba mencari tanda kebohongan. Namun, tidak ada yang bisa dibaca dari wajahnya.
"Baiklah," ujar Rohan akhirnya. "Tapi kalau kau berbohong, aku tidak akan memaafkanmu."
Chandra mengangkat bahu. "Kau tidak akan kecewa. Oh, dan satu lagi..."
"Apa lagi?" Rohan bertanya dengan nada kesal.
Chandra menatap lurus ke arah Rohan. "Ketika kau melihat pintu merah di sana, jangan pernah mencoba membukanya. Apa pun yang terjadi."
"Pintu merah? Kenapa?"
"Tidak perlu tahu alasannya sekarang," jawab Chandra sambil duduk kembali di batu. "Percaya padaku, itu demi keselamatanmu."
Rohan mendengus, masih merasa tidak puas dengan jawaban Chandra. "Kita lihat nanti siapa sebenarnya kau."
Tanpa menunggu lagi, Rohan berbalik dan melangkah ke arah perpustakaan seperti yang ditunjukkan Chandra, meskipun rasa curiga masih mengganjal di hatinya.
Melihat Rohan menghilang di kegelapan lorong, Chandra duduk kembali di atas batu besar. Tatapannya beralih ke arah kuil yang menjulang sunyi di kejauhan. Dengan senyum samar, dia bergumam pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
"Tinggal menunggu yang satunya datang..."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments