Satu minggu berlalu dengan cepat. Rohan bersiap untuk berangkat menuju Desa Talakrimbun, namun sesuatu yang mendadak membuatnya membatalkan rencananya.
"Rohan, kita ada les dadakan nih. Cepetan!" teriak Ratih dari luar pagar panti.
Rohan menghela napas, sedikit merasa frustasi. "Padahal aku juga ada acara dadakan. Biarlah lain kali saja," jawabnya dengan lesu, tampak ragu-ragu.
Namun, melihat tatapan penuh harap dari Ratih, dia pun mengangguk pelan. "Ya, ya. Aku ikut."
Mereka pun bergegas menuju sekolah, tempat di mana guru pembimbing sudah menunggu, meski dalam hati Rohan masih terbayang perjalanan yang harusnya ia lakukan.
Sudah hampir dua minggu sejak Rohan terakhir kali bertemu dengan Jack. Meskipun dia tahu temannya itu sedang sibuk dengan acara penting, tetap saja hari ini dia merasa cemas menantikan kedatangannya, terutama karena ujian sudah semakin dekat.
Rohan duduk termenung di kursi taman, menatap layar ponselnya. Ratih, yang melihat pacarnya diam saja sejak tadi, merasa khawatir dan berinisiatif untuk menghiburnya.
"Ada apa? Kok kayak sedih banget?" tanya Ratih dengan nada basa-basi, berusaha membuat Rohan bicara.
Rohan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Melihat reaksinya, Ratih sedikit kesal dan mengambil ponselnya dari tangan Rohan.
Jarinya menggulir layar, dan matanya tertuju pada sebuah nama di pojok kiri atas, JACK.
"Oh, ternyata nih bocah... Kenapa khawatir? Dia pasti sibuk banget di sana. Lagipula ujian ini bisa disusul nanti," ujar Ratih dengan senyum, mencoba menenangkan Rohan agar tidak terlalu cemas.
"Iya, mungkin. Kalau begitu aku pergi dulu ya. Baik-baik, sayang," ucap Rohan sambil mengecup kening Ratih. Ratih yang kaget tersipu malu, wajahnya merona merah.
Setelah melihat Rohan menghilang dari pandangannya, Ratih senyum-senyum sendiri, tak sadar kalau ada guru pembimbing yang berdiri di belakangnya.
"Eh, Pak Guru... A... ada apa?" tanya Ratih panik, takut kalau Pak Guru melihat kejadian tadi.
Pak Guru hanya geleng-geleng kepala, "Sudah dibilangin, kalau pacaran jangan di kawasan sekolah, masih aja bandel. Ayo ikut bapak sekarang!"
"Ke... kemana, Pak?" Ratih langsung berdiri bingung.
"Bantu cabut rumput di depan taman sekolah sekarang."
"Tapi kenapa saya? Kan Rohan yang mulai duluan," Ratih semakin kebingungan.
"Urusan Rohan nanti, sekarang pergi ke sana atau Bapak kurangi nilai fisikamu karena melanggar peraturan sekolah," perintah Pak Guru dengan tegas.
Ratih hanya bisa mengangguk dan segera pergi ke taman depan.
"Kan Rohan yang lakuin, kenapa aku yang dihukum ya... Elah..." ratapnya dalam hati, sambil melangkah pergi.
~~~
Rohan merasa firasat buruk yang menyelimutinya. Ada perasaan kehilangan yang mendalam, dan pikirannya langsung terarah pada sahabatnya, Jack.
Dengan segera, Rohan pergi bersama Ratih menuju rumah Jack di kota Marunda, tempat kediaman keluarga besar Jack.
Sesampainya di sana, Rohan merasa ada yang aneh. Tidak ada seorang pun yang terlihat. Pintu gerbang tertutup rapat, dan mereka terpaksa menunggu di luar. Sudah hampir dua jam mereka menunggu, dan Ratih mulai bosan.
"Aaaah, lama banget, sayang. Mungkin Jack belum pulang," keluh Ratih, sambil merentangkan tangan ke udara.
Rohan pergi ke mobil untuk mengambil jaket dan menyarungkannya di bahu Ratih.
"Sabar, ya. Aku rasa dia ada di rumah atau mungkin dalam perjalanan," ucap Rohan dengan lembut, mencoba menenangkan Ratih.
Namun, melihat Ratih yang kehausan, Rohan memutuskan untuk pergi ke warung terdekat. Sementara itu, Ratih berjalan ke rumah bercat biru yang berada di samping rumah Jack untuk bertanya kepada tetangga mengenai keberadaan keluarga Jack.
Setelah beberapa waktu, mereka berkumpul kembali. Ratih tampak murung, wajahnya menunjukkan kekhawatiran.
"Sebaiknya kita pulang saja," ajak Ratih dengan ekspresi sedih.
Rohan mengerutkan dahinya, kebingungan. "Kenapa? Apa Jack masih belum pulang dari acaranya?"
"Ayo, kita bicarakan saja di dalam mobil," jawab Ratih, suaranya pelan dan terkesan berat.
Di perjalanan pulang, suasana semakin tegang. Rohan memperhatikan Ratih yang terus menggigit jarinya, sepertinya sedang menyembunyikan sesuatu.
"Apa yang dikatakan tetangganya tadi?" tanya Rohan, matanya tetap fokus pada jalan.
Ratih menarik napas panjang dan akhirnya mengeluarkan kata-kata yang berat, "Jack... pergi ke luar negeri."
Rohan langsung menghentikan mobilnya secara mendadak. "Apa? Jack pergi ke luar negeri? Tanpa memberi tahu aku?" kata Rohan, terkejut dan tidak percaya.
"Benar, Rohan. Jack dan keluarganya harus pergi ke Amerika karena urusan mendesak. Mereka pindah ke sana, dan rumah itu sekarang akan dijual. Kemungkinan mereka tidak akan kembali," jelas Ratih, mencoba menenangkan Rohan yang tampak semakin emosi.
Rohan terdiam, perasaan kesal dan sedih bercampur aduk. Mengapa Jack tidak memberitahunya hal sebesar ini? Mereka sudah berteman sejak kecil, bahkan Rohan menganggap Jack seperti saudara kandung. Ada sesuatu yang tidak dipahami Rohan, dan itu membuatnya merasa semakin terasing.
Ratih merasakan ketegangan itu dan langsung menepuk pipi Rohan dengan lembut. "Hei, jangan terlalu dipikirkan. Suatu hari nanti dia pasti kembali. Aku yakin itu. Oh ya, Jack menitipkan surat ini ke tetangganya tadi," ujar Ratih dengan senyum manis, berusaha menghibur Rohan.
Rohan membuka surat itu dengan perasaan campur aduk. Tertulis dengan tinta yang rapi:
"Percayalah, jalanmu sudah benar. Yang terlihat kadang lebih gelap, dan sebaliknya. Lihat ke belakang, dan kau akan menemukan semuanya..."
Rohan merasa bingung dengan isi surat itu. Apa maksudnya? Kenapa Jack meninggalkan pesan yang terasa begitu misterius dan penuh teka-teki? Hatinya penuh dengan pertanyaan, namun dia tak tahu harus mencari jawaban dari mana.
***
Hari perlombaan olimpiade fisika cukup sengit. Banyak peserta lomba yang berasal dari sekolah tinggi dan ternama yang lalu lalang di depan Rohan dan Ratih. Beberapa diantaranya sudah mengenal Rohan namun hanya melintas saja, hingga ada seorang siswa laki-laki yang memakai kacamata menghampiri mereka.
"Hai, Rohan. Apa kabar?" tanya siswa itu dengan mengulurkan tangannya.
Rohan berdiri, "Baik. Bagaimana kabarmu, Riki?"
"Baik juga. Siapa dia?" tanyanya dengan menunjuk ke arah Ratih.
"Oh dia Ratih perwakilan olimpiade fisika siswi. Ratih perkenalkan dia Riki dari SMA GEOFIS," Rohan memperkenalkan mereka berdua.
Mereka berjabat tangan dan melempar senyum salam kenal.
"Kau pacarnya Rohan, kan?" tebak Riki.
Ratih hanya menganggukkan kepala.
"Sudah kuduga. Rohan akhirnya kau punya pacar juga ya," ucap Riki dengan tawa kecil.
"Kau ini. Dimana rombonganmu?" tanya Rohan yang melihatnya datang sendiri.
"Ada di kantin. Aku bosan dan mencoba mencarimu disini. Baiklah kita duduk dulu, pacarmu itu sepertinya ingin duduk," ujarnya yang membuat tawa kecil diantara mereka.
Mereka bertiga duduk dan melakukan percakapan yang cukup menyenangkan. Awal percakapan terlihat baik-baik saja, namun menuju akhir percakapan membuat suasana menjadi penuh misteri.
"Oke, kau bilang akan melaksanakan kemah bakti. Dimana tempatnya?" tanya Riki.
"Aku dengar didekat Bukit Sena," jawab Rohan yang membuat Riki terkejut.
"Apa? Aku tidak salah dengar akan melaksanakan ditempat berbahaya itu?" tanya Riki tidak percaya.
"Berbahaya? Apa maksudmu?" tanya Rohan yang penasaran.
"Iya, bahaya apa?" tanya Ratih yang ikut penasaran.
Riki memberi kode untuk merapat. "Bukit itu banyak ditemukan mayat tanpa identitas. Menurut penduduk sekitar, tempat itu dihuni oleh orang berjubah hitam yang selalu mengganggu orang yang datang kesana," cerita menyeramkan itu membuat bulu kuduk Rohan dan Ratih berdiri.
"Tapi tenang, itu hanya mitos. Menurut fakta kemungkinan mereka tersesat dan mati karena kelaparan, tidak ditemukan bekas luka sedikitpun. Lagipula tempat itu terlalu ekstrem," lanjutnya.
Riki melihat guru pembimbingnya melambaikan tangan untuk segera berkumpul. Riki berdiri, "Guruku sudah memanggil. Aku pergi dulu ya. Semoga kalian langgeng," ujarnya dengan menepuk bahu Rohan yang langsung menghilang diantara kerumunan.
Ratih langsung mengambil buku untuk mengipas tubuhnya. "Kau tau, ceritanya itu membuatku takut. Bagaimana menurutmu?"
"Ya, mungkin terkadang mitos hampir terasa nyata," jawab Rohan yang memikirkan sesuatu.
"Apa maksudmu terasa nyata?" ucap Ratih yang langsung mengerutkan dahinya.
Rohan menatap mata Ratih dan ingin menyampaikan sesuatu, sayangnya guru pembimbing mereka menyuruh untuk masuk ke aula untuk pengumuman juara.
***
Jantung berdetak lebih kencang sebelumnya. Para siswa-siswi menanti harapan mendapat juara. Ada jenis 3 olimpiade disini, yaitu Fisika, Matematika, dan IPS.
Pengumuman dimulai dari Juara olimpiade matematika. Kemudian disusul olimpiade IPS dan yang paling mengesankan Riki mendapat juara pertama putra. Akhirnya lomba yang ditunggu-tunggu oleh Rohan dan Ratih. Moment yang membahagiakan akhirnya datang, Rohan mendapat juara pertama putra olimpiade fisika. Ratih juga ikut mendampingi walaupun hanya mendapat juara ketiga putri.
Terlihat Riki tersenyum melihat Rohan dan Ratih maju kedepan. "Pasangan yang unik," gumam Riki. Rohan dan Ratih yang mendengar senyum-senyum malu.
***
Libur semester telah tiba, dan Rohan akan naik ke kelas XII bulan depan. Namun, dia tidak menyangka bahwa sahabat terbaiknya, Jack, tidak akan duduk bersamanya di kelas yang selama ini mereka impikan. Mereka selalu membayangkan bisa duduk di bangku paling belakang, pojok kanan dekat jendela, dengan pemandangan kota Jakarta yang ramai.
"Seandainya gue tahu alamat lu, gue langsung tancap gas kesana," ujar Rohan pada diri sendiri, sambil menghela napas panjang.
Saat ini, Rohan sedang berada di gudang belakang, dekat kantin tempat yang biasa dia habiskan bersama sahabatnya. Dalam kesendiriannya, suasana tiba-tiba berubah menjadi hening. Hawa dingin menyeruak, membuat bulu kuduknya meremang. Sesuatu yang aneh terasa di udara, dan Rohan pun merasa gelisah.
Dengan cepat, Rohan berniat untuk pergi, namun kakinya terasa kaku, seolah terikat. Matanya menatap ke depan dan melihat seseorang yang mengenakan jubah hitam berdiri di antara semak-semak. Sosok itu tampak tidak bergerak, hanya mengawasi dari kejauhan.
Rohan berdiri tegak, menatap sekelilingnya, namun tak ada seorang pun kecuali sosok itu. Tanpa suara, orang berjubah hitam itu mulai mendekat, dan yang aneh, langkahnya tak menyentuh tanah. Rohan merasa kakinya semakin kaku, seakan terjebak dalam ketakutan yang semakin mencekam.
Sosok itu semakin dekat, dan dalam sekejap, dia sudah berdiri tepat di hadapan Rohan. Meskipun tubuhnya gemetar, Rohan berusaha untuk tetap tenang. Di dalam hatinya, dia tahu sesuatu yang buruk akan terjadi.
"Siapa kau?" tanya Rohan dengan suara bergetar, namun dia berusaha menahan kepanikan yang hampir meluap.
Orang berjubah hitam itu tak menjawab. Wajahnya tersembunyi dalam bayang-bayang gelap dari jubah yang membalut tubuhnya. Tiba-tiba, dengan gerakan cepat, orang itu mengeluarkan sebuah pisau tajam dari tangan kanannya. Rohan mencoba untuk bergerak, tapi tubuhnya terasa terkunci, tak bisa digerakkan.
"Dengan darah yang akan mengalir dari wajah dan tubuhmu, pintu kedelapan akan terbuka," suara serak itu terdengar asing di telinga Rohan, membuat jantungnya berdegup kencang.
Pisau itu mulai digoreskan di kening Rohan. Rasanya sangat tajam, dan darah mulai menetes dari luka yang baru terbuka. Rohan merasa ingin berteriak, tapi suaranya terperangkap di tenggorokan. Tubuhnya tak bisa bergerak, hanya bisa menatap kosong ke arah sosok itu.
Pisau itu kini diarahkan ke dada kirinya, dan Rohan tahu, jika pisau itu menancap, maka hidupnya akan berakhir. Panik melanda dirinya, dan air mata tak tertahankan mulai mengalir di pipinya.
"Kumohon, jangan lakukan itu. Aku masih ingin hidup. Kumohon, jangan bunuh aku," Rohan berusaha memohon dengan suara yang hampir tidak terdengar, namun ketakutannya menguasai dirinya.
Orang berjubah hitam itu tidak menjawab, malah berkata dengan suara rendah yang penuh ancaman, "Kau meminta dengan sopan, maka akan kutusuk perutmu."
Tanpa peringatan, pisau itu langsung menancap ke tubuh Rohan. Sakit yang luar biasa membuatnya tersentak, dan sebelum dia bisa melakukan apapun, sosok itu menghilang dalam sekejap, meninggalkan Rohan dalam keadaan lemah.
Pandangan Rohan semakin kabur, dunia seakan berputar. Dia merasakan darah mengalir deras, dan akhirnya, tubuhnya ambruk ke tanah. Semua menjadi gelap.
***
Di rumah sakit, Ratih bersama Ibu Darmi menunggu hasil dari dokter. Sudah hampir dua minggu Rohan belum juga sadarkan diri.
"Apa kesalahan Rohan? Dia itu orang baik, mengapa ada yang tega melakukan ini?" tangis Ibu Darmi, wajahnya tampak pucat dan penuh kecemasan.
Ratih duduk di sampingnya, berusaha menenangkannya. Sementara itu, di sekolah banyak polisi yang datang untuk menyelidiki kejadian ini. Beberapa guru dan siswa terlihat cemas, khawatir akan nasib yang sama menimpa mereka.
Seorang dokter keluar dengan ekspresi cemas, mendekati mereka.
"Dokter, bagaimana keadaan anak saya?" tanya Ibu Darmi dengan suara tercekat.
"Dia kehilangan banyak darah karena tusukan pisau itu tepat di bagian vitalnya. Seandainya waktu itu segera dibawa ke sini, mungkin bisa mengurangi tekanan aliran darahnya. Saya permisi dulu," jawab dokter itu dengan singkat, lalu bergegas pergi.
Tiga jam berlalu, dan hari mulai gelap. Ibunya Rohan mendapat pesan untuk segera kembali ke panti asuhan, menangani anak-anak lain yang membutuhkan perhatian.
"Nak Ratih, tolong jaga Rohan ya. Sebenarnya Ibu ingin tetap di sini, menemani, tapi adik-adik memerlukan Ibu," ujar Ibu Darmu sambil menyeka air mata.
Ratih mengangguk dengan lembut. "Iya, Bu. Pasti Ratih temani. Apa Ibu ingin Ratih antar dengan motor?"
"Tidak usah, biar Ibu naik angkutan umum," jawab Ibu Darmi, lalu melangkah keluar.
Ratih memasuki ruangan kembali, menatap Rohan yang terbaring di ranjang rumah sakit, tubuhnya dipenuhi selang infus. Ratih tak bisa menahan air matanya lagi.
"Maaf, Rohan. Jika waktu itu aku langsung pergi ke tempatmu, mungkin tidak akan seperti ini," Ratih terisak, duduk di samping Rohan.
Tiba-tiba, sebuah tangan yang lemah mengusap rambutnya dengan lembut.
"Jika kau menangis, aku ikut sedih," suara Rohan terdengar pelan, namun jelas.
Ratih langsung menggenggam tangan Rohan. "Kau siuman, syukurlah," katanya dengan suara serak, lalu memeluk Rohan dengan erat.
Rohan perlahan duduk. "Apa yang kau lakukan? Kau baru saja sadar, berbaring kembali!" perintah Ratih lembut, sedikit cemas.
Rohan kembali berbaring dan menatap sekelilingnya. "Berapa lama aku di sini?" tanyanya dengan bingung.
"Sudah dua minggu. Kau kehilangan banyak darah waktu itu, hingga ada donor darah dari PMI karena golongan darahmu langka," jawab Ratih yang masih mengusap air matanya.
"Di mana Ibu? Apa dia ada di sini?" tanya Rohan sambil mencari-cari di sekelilingnya.
"Ibu tadi ada di sini, tapi harus kembali mengurus adik-adik di panti," jawab Ratih.
Mengingat kejadian yang dialaminya, Rohan mulai menatap tajam ke sekeliling ruangan.
"Di mana orang berjubah hitam itu?" tanyanya dengan suara bergetar, ketakutan.
"Tidak ada orang seperti itu, Rohan. Tenanglah," jawab Ratih berusaha menenangkan.
"Aku takut sekali dengannya. Ratih, cepat bawa aku pulang," Rohan mulai histeris, tubuhnya gemetar.
Ratih naik ke atas ranjang dan memeluk Rohan erat. "Kau tidak perlu takut. Aku ada di sini. Tidurlah, semuanya akan baik-baik saja."
Rohan merasa sedikit tenang dengan kehadiran Ratih di sisinya. "Maaf, Ratih, aku merepotkanmu."
"Aku ini pacarmu. Mana mungkin ada kata repot dalam kamus kita," kata Ratih dengan lembut sambil merapikan rambut Rohan.
Rohan tersenyum kecil, merasa sedikit lebih baik. "Ratih, aku ingin membicarakan sesuatu."
"Bicaralah, aku akan mendengarkannya," jawab Ratih dengan perhatian penuh.
"Kau ingat cerita Riki waktu itu tentang mitos Bukit Sena? Sepertinya orang berjubah hitam itu ingin membunuhku," kata Rohan dengan suara penuh keraguan.
Ratih tampak terkejut. "Itu hanya mitos, Rohan. Mungkin kau terlalu memikirkannya, jadi terasa nyata."
"Aku sudah bertemu dengan orang berjubah hitam itu tiga kali. Dan yang terakhir, dia bilang 'pintu yang kedelapan akan terbuka'," jelas Rohan, matanya terlihat penuh kekhawatiran.
"Pintu kedelapan? Tapi, seingatku, mitos itu mengincar orang yang ditujunya, dan kebanyakan itu pendaki. Apa kau pernah mendaki di sana?" tanya Ratih semakin khawatir.
"Bukan mendaki, tapi aku salah satu penduduk di sana," jawab Rohan pelan.
"Tunggu, apa? Kau penduduk di sana?" Ratih terkejut.
"Orang tuaku dulu tinggal di sana. Aku pergi ke sana dan menemukan sebagian kecil dari kebenaran. Di sana, aku sempat melihat orang berjubah hitam itu mengikutiku. Aku khawatir, jika dia kembali, apakah aku masih akan selamat?" ujar Rohan, ketakutan.
Ratih memeluk Rohan dengan penuh kasih sayang agar dia tidak terlalu takut. Melihat sikap Rohan yang sangat khawatir, Ratih mulai percaya bahwa apa yang dikatakan Rohan mungkin benar. Itu sebabnya, Ratih mulai merencanakan sesuatu untuk membantu Rohan...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
👑Xa🌟
Lanjut up thor! jangan lupa mampir
"Anathema in Replica World: Lybrinth"
2020-10-03
1