Pusat kota Jakarta cukup ramai pagi itu. Meski awan hitam menggantung di langit, orang-orang tetap beraktivitas, sibuk menuju tujuan masing-masing. Di antara keramaian itu, Rohan berdiri di halte bus dengan pandangan tertuju pada secarik kertas yang diberikan oleh ibu angkatnya. Kertas itu berisi alamat dan nama seseorang yang harus dia cari di Desa Talakrimbun.
Ketika bus tiba, para penumpang mulai naik satu per satu. Rohan mengambil tempat duduk di pojok belakang, memilih untuk menyendiri. Dia menatap keluar jendela, membiarkan pikirannya melayang bersama pemandangan kota yang perlahan berubah. Sesekali, matanya tertuju pada seorang ibu dan anak kecil di kursi sebelahnya. Mereka bercanda dan tertawa kecil, menikmati kebersamaan mereka. Pemandangan itu membuat Rohan bertanya-tanya dalam hati, Seperti apa rupa ibu kandungku? Jika nanti ada foto, apakah aku bisa mengenali wajahnya?
Dalam perjalanan menuju Desa Talakrimbun, pemandangan semakin berubah. Gedung-gedung tinggi berganti dengan perbukitan dan hamparan sawah. Rohan terus memandangi luar jendela, mengamati setiap detail di sepanjang jalan. Hingga akhirnya, sebuah jalur yang sepi dan sunyi menarik perhatiannya.
Tak lama kemudian, pandangannya tertuju pada sebuah bukit yang terlihat dari kejauhan, dikelilingi oleh kabut tebal. Lalu bus melewati sebuah papan yang bertuliskan "Bukit Sena". Bukit itu... Bukit Sena? pikirnya. Bukit yang misterinya pernah diceritakan Jack tiba-tiba membuat pikirannya penuh tanda tanya.
Bus berhenti di halte kecil bertuliskan Talakrimbun 2. Rohan turun dengan hati-hati, melirik sekeliling yang tampak sunyi. Dari halte itu, dia mulai berjalan mengikuti petunjuk yang ada di kertasnya. Desa Talakrimbun tampak sederhana dan terpencil. Jalan menuju desa itu dikelilingi kebun dan hutan kecil yang menghijau.
Namun, untuk benar-benar mencapai desa, Rohan harus berjalan kaki melewati jalan setapak di tengah kebun dan menaiki bukit yang semakin tinggi. Semakin jauh dia melangkah, suasana menjadi lebih tenang, hanya ditemani suara burung dan angin yang berhembus pelan. Desa Talakrimbun terasa seperti tempat yang terputus dari hiruk-pikuk dunia luar, sebuah wilayah yang menyimpan cerita tersendiri.
Rohan menggenggam kertas itu erat, merasa langkahnya semakin dekat pada jawaban yang telah lama dia cari.
Tidak terasa perjalanan Rohan sudah lebih satu jam lamanya. Terlihat beberapa rumah penduduk yang tersembunyi dibalik pepohonan. Rohan menghampiri salah satu warga yang sedang berada di pinggiran sawah.
"Permisi, Pak. Apakah Bapak tahu alamat ini?" tanya Rohan sambil menunjukkan kertas di tangannya.
Bapak itu sedang memikul tumpukan padi, memandangi Rohan dengan tatapan ragu. "Sepertinya saya belum pernah melihat Anda sebelumnya. Mengapa Anda mencari alamat ini? Apa hubungan Anda dengan keluarga ini?"
Rohan tersenyum kecil sebelum menjawab. "Nama saya Rohan, Pak. Saya berasal dari panti asuhan di pusat Kota Jakarta. Saya ingin mencari tahu tentang orang tua kandung saya. Ibu angkat saya memberikan alamat ini, katanya seseorang dari desa ini yang membawa saya ke panti."
Bapak itu mengangguk perlahan, lalu menunjuk ke arah sebuah gubuk kecil di dekat sawah. "Tunggu di sana sebentar. Setelah pekerjaan saya selesai, saya akan mengantar Anda."
Rohan merasa lega. Harapannya untuk mengetahui kebenaran tentang keluarganya tampak semakin dekat.
Setelah sekitar 15 menit, Bapak tadi menghampiri Rohan. Dengan senyuman hangat, dia mengajak Rohan pergi. "Mari saya antarkan. Oh ya, Nak. Nama saya Agus," ucapnya sambil memikul tumpukan padi.
"Terima kasih, Pak Agus," balas Rohan dengan sopan.
Di sepanjang perjalanan menuju alamat yang tertera di kertas, Rohan melihat suasana desa yang begitu berbeda dari kota. Penduduk desa menyapa dengan ramah, dan anak-anak kecil berlarian, sesekali mencoba mengajaknya bermain. Sayangnya, Rohan harus melanjutkan perjalanannya.
Akhirnya, mereka sampai di sebuah rumah besar yang bersih dan rapi. Pak Agus meminta Rohan menunggu sementara dia menemui seseorang di halaman rumah. Tak lama kemudian, seorang pria berpakaian batik dan berpeci hitam berjalan mendekati Rohan bersama Pak Agus.
"Selamat pagi, Nak Rohan. Perkenalkan, nama saya Badrul, saya Kepala Desa Talakrimbun," ucap pria itu sambil mengulurkan tangan.
Rohan menyambut uluran tangannya. "Nama saya Rohan, Pak," jawabnya singkat.
"Kata Pak Agus, Nak Rohan ingin mencari tahu tentang orang tua kandungnya. Siapa yang memberikan alamat ini?" tanya Pak Badrul dengan nada lembut.
"Ibu angkat saya, Pak. Karena saya merasa sudah cukup umur untuk bepergian sendiri, saya memutuskan untuk datang ke sini," jawab Rohan, mencoba menyembunyikan kegugupannya.
Pak Badrul mengangguk paham. "Ayo, kita bicara di dalam. Tidak enak berbincang di luar seperti ini," ajaknya sambil tersenyum.
Pak Agus berpamitan sebentar. "Bapak Kepala Desa, silakan berbincang dulu dengan Nak Rohan. Saya akan carikan minuman dingin," katanya sambil berjalan ke arah warung terdekat.
Rohan merasa sedikit tidak enak telah merepotkan Pak Agus, tetapi dia hanya bisa diam sambil mengikuti Pak Badrul masuk ke dalam rumah.
Di ruang tamu, Pak Badrul memulai percakapan dengan hati-hati. "Nak Rohan, bolehkah saya bertanya sesuatu lagi? Hanya untuk memastikan saja."
"Silakan, Pak. Saya akan menjawab sebisa saya," jawab Rohan, masih gugup.
"Baiklah. Kalau boleh tahu, siapa yang mengantar Nak Rohan ke panti asuhan dulu?" tanya Kepala Desa sambil memperhatikan wajah Rohan.
Rohan mencoba mengingat cerita yang sering dia dengar. "Ibu Dwi, Pak. Kata ibu angkat saya, Ibu Dwi adalah warga sekitar sini yang merasa kasihan pada saya. Beliau membawa saya yang masih bayi ke panti untuk mendapatkan perawatan dan bantuan."
Kepala Desa tampak berpikir sejenak. Keningnya berkerut, matanya menatap ke atas seolah mencari sesuatu dalam ingatannya. "Nak Rohan," katanya pelan, "Ibu Dwi bukan warga sekitar sini. Beliau adalah adik dari Ibu Sarah, yang merupakan ibu kandung Anda."
Penjelasan itu membuat Rohan terdiam. Wajahnya menunjukkan kebingungan yang dalam. Bagaimana bisa seseorang yang dianggap warga biasa ternyata memiliki hubungan darah dengannya?
Melihat Rohan mulai kelelahan setelah perjalanan panjang, Pak Badrul memutuskan untuk menghentikan pembicaraan sementara. "Nak Rohan, Anda terlihat lelah. Istirahatlah dulu. Di lantai dua ada kamar kosong, Anda bisa menggunakannya," ujar Pak Badrul dengan nada ramah.
Rohan mengucapkan terima kasih sebelum naik ke kamar. Di dalam, dia duduk di tepi ranjang, pikirannya penuh dengan pertanyaan. Jika Ibu Dwi adalah adik dari ibu kandungnya, mengapa tidak ada yang pernah memberitahunya sebelumnya?
Berusaha mencari jawaban dalam pikirannya sendiri, Rohan akhirnya terbaring di tempat tidur. Namun, semua pertanyaan itu terasa semakin membingungkan. Perlahan, kelelahan menguasai tubuhnya, dan dia pun tertidur dengan pikiran yang masih penuh tanda tanya.
Sore harinya ada seseorang yang datang. Dengan kerudung dan baju daster serta badan yang berisi berlarian kecil menuju kamar Rohan. Dia terlihat senang manatap Rohan dan langsung memeluknya.
"Ternyata ini toh putra Pak Budi. Bagusmen wajahe," ucap orang itu dengan senyuman gembira.
Mereka berdua duduk, "Anu, simbok ki mbiyen akrab karo bapak ibumu. Saiki putrane wes gede. Mbiyen simbok seng rawat Nak Rohan nganti umur setahun."
Rohan tersenyum tidak menyangka kalau dulu dirawat oleh seseorang yang akan tatap muka langsung dengannya. Percakapan yang menggunakan bahasa daerah sekitar membuat Rohan tidak terlalu paham. Itu sebabnya Rohan menjawab dengan bahasa Indonesia.
"Baiklah, simbok..?"
"Simbok Tri. Tapi, Nak Rohan manggil simbok mawon."
"Gih."
Melihat ada kesempatan mengetahui orang tuanya dulu Rohan langsung bertanya, "Simbok, Rohan mau tanya boleh?"
"Tanya apa?"
"Dulu orang tua Rohan seperti apa?"
Simbok terdiam seperti mengingat masa lalu dimana orang tua Rohan masih hidup. Simbok tersenyum membuat Rohan memiliki firasat yang baik.
"Pak Budi, perwira bangsa gagah, gede, dhuwur lan wajahe bagus seperti Nak Rohan. Sifat becik lan seneng tetulung. Dari iku, warga senantiasa resik-resik omah iki. Mung niki seng iso gawe kenang-kenangan. Oh yo, kayane ono fotone. Sek ya, simbok golekke," Simbok pergi ke kamar sebelah dan mengambil sebuah foto album tersembunyi.
"Iki, album foto keluarga Pak Budi. Iki ibumu rupane ayu koyo kembang melati. Ibumu jenenge Bu Ani Sarah." Simbok memberikan foto itu ke Rohan. Rohan menatap lama foto itu, ternyata wajahnya tidak jauh beda dengan ayah kandung itu.
Setelah lama membahas foto album. Simbok mengajak Rohan berkeliling desa. Simbok tau kalau Rohan kesepian di rumah besar tanpa ditemani siapapun.
Menyusuri jalan kecil yang masih beralas tanah dengan pepohonan yang masih rindang. Tempat yang jauh dari kota bahkan mungkin tidak terlihat di map GPS.
Sepertinya Desa Talakrimbun belum dialiri arus listrik sama sekali. Tidak terlihat kabel apapun yang menggantung dari rumah ke rumah. Rohan merasa prihatin dari hal itu, seandainya ada sedikit bantuan yang datang, desa itu akan lebih mudah mendapat arus listrik.
Anak-anak yang tadi menyambut Rohan berkerumun dan mengajaknya bermain. Para warga tidak heran karena jarang ada orang kota yang datang, selain itu Rohan memiliki rupa tampan menawan hidung mancung dan berkulit putih seperti ayahnya kata simbok, yang menarik perhatian anak-anak.
"Kakak main *sepak sikong* bareng kami ya\," Ajak salah satu anak perempuan yang berkerumun.
Rohan tidak tau permainan apa itu, namun dia tetap ikut ke dalamnya. Karena Rohan baru ikut, anak-anak itu memilih Rohan sebagai penjaga sandal yang telah disusun.
"Kakak jaga ini? Tunggu ya, jelaskan dulu permainannya biar kakak paham," tanyanya dengan jongkok didepan gadis kecil itu.
Salah satu anak merangkulnya dari belakang, "Permainannya mudah, kakak jaga sandal itu saja. Lalu nanti kami sembunyi dan kakak mencari kami tapi masih harus menjaga sandal itu tetap tertumpuk. Jika kami berhasil merobohkannya, kakak kalah."
"Oke cukup menarik. Kalau begitu kalian cepat sembunyi." Rohan menutup matanya dan menunggu anak-anak siap pada tempat persembunyian mereka.
"Satu...dua...tiga.......selesai! Siap tidak aku cari!"
Rohan mencari mereka. Walaupun menemukan salah satu anak, anak-anak yang lain berhasil merobohkan sandal yang disusun itu sehingga Rohan yang selalu kalah.
Rohan duduk dengan melihat anak-anak itu berlari. Salah satu anak menghampiri, "Kakak nyerah?" Tanya anak itu.
"Iya, kalian bekerja sama kan buat ngalahin kakak," anak itu hanya tertawa kecil dan memanggil teman-temannya.
"Wah kakak kelelahan, berati kita menang" sorak mereka.
"Kakak ganteng, kakak kan dari kota, kota itu seperti apa?" tanya seorang anak perempuan disampingnya.
"Kota itu banyak gedung tinggi dan kendaraan lalu lalang serta banyak kabel dijalanan," penjelasan singkat Rohan.
"Apa kabel itu dialiri listrik, kak?" tanya salah satu anak.
"Iya, kabel itu dialiri listrik membuat lampu-lampu menyala terang. Selain untuk lampu, bisa untuk alat-alat lain seperti kompor, kipas angin, televisi dan masih banyak lagi," penjelasan singkat Rohan.
"Nanti kalau kami besar mau pergi ke kota saja. Disana banyak listrik mengalir, jadi gak usah pake lilin." sahut salah satu anak. Ucapan anak itu membuat Rohan menjadi prihatin.
Simbok mengajak Rohan pulang karena hari mulai gelap. Anak-anak yang tadi bermain di sekitar rumah pun mulai kembali ke rumah masing-masing.
“Hei, cepat pulang sebelum bayangan gelap itu datang!” seru salah satu anak dengan nada bercanda, meskipun matanya sekilas melirik ke arah hutan yang mulai tampak gelap.
“Tidak apa-apa! Nanti Pangeran Arashi dan adiknya, Chandra, pasti akan melindungi kita!” balas anak lainnya sambil tertawa, membuat semuanya terbahak dan berlarian lebih cepat.
Rohan yang mendengar itu menghentikan langkahnya sejenak. Kata-kata mereka terasa aneh di telinganya, seperti memanggil sesuatu dari dalam dirinya yang tak bisa dia pahami. Saat dia dan Simbok berjalan pulang, rasa penasaran itu tak tertahankan.
“Simbok,” panggil Rohan pelan. “Legenda tentang pangeran yang hilang itu… apa benar berasal dari desa ini?”
Simbok menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaannya. Wajahnya yang keriput tersenyum lembut, meskipun matanya tampak menyimpan sesuatu yang lebih dalam.
“Iya, Nak Rohan. Memangnya Nak Rohan tahu dari mana cerita itu?” tanya Simbok sambil berjalan perlahan.
Rohan menunduk sebentar sebelum menjawab. “Dari teater di pasar malam, Simbok. Tapi…di teater, ceritanya berakhir cukup tragis. Katanya keluarga Roulis tewas semua saat melawan kerajaan Afandi karena sihir gelap itu.”
Simbok menghentikan langkahnya, menatap Rohan dengan sorot yang sulit diartikan. Ada keheningan sesaat sebelum dia berkata, “Setahu Simbok, tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana nasib mereka sebenarnya.”
Rohan mengerutkan kening. “Tidak ada yang tahu nasib mereka?”
Simbok mengangguk pelan. “Iya, Nak. Waktu itu, pas peradaban hancur karena sihir gelap, memang banyak yang mengira keluarga itu tewas. Tapi tidak ada bukti. Tidak ada yang tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi.”
Rohan mengingat kembali cerita dari teater malam itu, bagaimana pangeran Arashi dan Chandra bertarung mati-matian melawan kekuatan gelap. Tapi, apa benar itu hanya cerita?
“Simbok,” tanya Rohan dengan hati-hati, “apa tidak ada yang tahu apa pun setelah kehancuran itu?”
Simbok menatap langit yang mulai memerah di ufuk barat. Angin bertiup pelan, menggerakkan daun-daun kering di sekitar mereka. “Ono, Nak. Ada sebuah ramalan yang turun setelah itu. Orang-orang tua di sini sering membicarakannya dulu.”
Rohan semakin tertarik. “Ramalan apa, Simbok?”
Simbok menarik napas panjang, seolah mencoba mengingat sesuatu dari masa yang jauh. “Ramalan itu berbunyi begini, ‘Di abad penuh kejayaan, sang pangeran akan kembali dengan perang yang telah disiapkan.’ Yen nggak salah, koyo ngunu munine.”
Rohan terdiam. Kata-kata itu seperti membangkitkan sesuatu yang asing namun familiar dalam dirinya. Dia mengingat kembali cerita di teater, tidak ada satu pun adegan yang menyebutkan ramalan itu. Jika begitu, ceritanya jelas berbeda.
“Simbok, kalau begitu, ramalan itu… masih dipercaya oleh orang-orang di sini?” tanya Rohan, mencoba menekan rasa penasaran yang mulai menguasainya.
Simbok hanya tersenyum tipis. “Mungkin iya, mungkin tidak. Tapi yang jelas, setiap ramalan pasti ada artinya, Nak. Tapi, itu cuma legenda. Jadi, Nak Rohan tidak usah terlalu khawatir.”
Malam semakin larut, dan langkah mereka tiba di depan rumah. Rohan tidak bisa menghilangkan kata-kata Simbok dari pikirannya. Ramalan itu, cerita yang tidak tercatat di teater, dan perasaan aneh yang selalu muncul setiap kali mendengar nama Arashi dan Chandra.
Apakah mungkin ada lebih banyak hal yang tersembunyi dalam legenda itu? Dan yang lebih penting, kenapa rasanya semua itu terasa sangat dekat dengan dirinya?
Rohan memutuskan untuk menginap semalam di rumah besar itu, ditemani oleh Simbok dan suaminya, Pak Agus, yang telah mengantarnya tadi siang. Rumah itu ternyata adalah rumah peninggalan orang tua kandung Rohan, menyimpan banyak kenangan yang kini perlahan menghubungkan masa lalunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments