Begitu mereka terjun ke bawah laut terlihat ada sebuah gua. Mereka menyusuri lorong gua yang gelap, udara segar di rongga besar gua terasa seperti sebuah anomali di dunia bawah laut. Batu-batu di sekeliling gua terlihat aneh, terukir simbol-simbol kuno yang memancarkan aura misterius. Namun, yang paling mencolok adalah sebuah batu besar berbentuk segidelapan, berdiri tegak di tengah gua seperti sebuah altar yang terlupakan waktu.
Rohan melangkah mendekati batu itu, matanya menyapu setiap sudutnya, seolah mencari jawaban dari teka-teki yang menghubungkan semua kejadian aneh yang mereka alami.
"Tidak ada apa-apa di sini," ujar Riki dengan nada skeptis. "Kau yakin ini yang kita cari?"
"Bentuknya segidelapan. Itu tidak mungkin kebetulan. Mungkin ada sesuatu yang kita lewatkan," jawab Rohan, suaranya penuh keyakinan, meskipun pikirannya dipenuhi keraguan.
Rohan dan Riki terlibat dalam perdebatan singkat, masing-masing mencoba menafsirkan arti dari keberadaan batu itu. Namun, tanpa mereka sadari, Ratih telah meninggalkan mereka, berjalan lebih dalam ke gua.
Ketika Rohan menyadari Ratih tidak ada di sisinya, dia segera mencarinya, diikuti oleh Riki yang masih bingung.
Di ujung gua, Ratih berdiri di depan sebuah prasasti kuno yang penuh dengan tulisan asing yang tidak bisa dia pahami. Matanya tertuju pada sebuah pedang yang bersandar di prasasti itu. Pedang itu berkilau samar, seolah memancarkan energi yang hampir tak terlihat. Namun, ada sesuatu yang aneh di bagian tengah pedang itu, terdapat celah kosong yang tampaknya dirancang untuk menempatkan sesuatu, mungkin sebuah permata.
Ratih mengamati pedang itu dengan penuh perhatian. "Apakah permata yang hilang ini salah satu dari yang dibawa Rohan?" gumamnya pada dirinya sendiri.
Langkah kaki yang mendekat mengalihkan perhatiannya. Rohan dan Riki muncul dari bayangan gua, wajah Rohan dipenuhi rasa khawatir.
"Kau ini, jangan pergi sendirian begitu saja!" sergah Rohan.
"Kalian terlalu lama berdiri di depan batu tadi, aku jadi bosan. Lagipula, gua ini tidak begitu besar," balas Ratih dengan nada santai.
Riki memutar mata. "Lalu, apa yang kau temukan di sini?"
Ratih menunjuk pedang itu. "Lihat ini. Pedang yang aneh, tapi ada bagian yang hilang. Mungkin permata yang kita cari."
Rohan mendekat, mengambil pedang itu dengan hati-hati. Saat pedang itu berada di tangannya, dia merasakan sesuatu, sebuah getaran halus yang mengalir dari pedang ke dalam tubuhnya. Ratih dan Riki menatapnya dengan kaget, menunggu sesuatu yang luar biasa terjadi.
"Hmm, ternyata pedang ini ringan," ucap Rohan santai, membuat Riki langsung menghela napas berat.
"Kau ini, kukira ada kejadian magis atau semacamnya!" seru Riki, setengah kesal.
Rohan tertawa kecil. "Maaf, aku hanya merasa... bagian yang hilang adalah permata merah ini." Dia mengeluarkan permata merah dari sakunya dan menunjukkannya kepada mereka.
"Kenapa kau yakin itu permata yang cocok? Mungkin saja permata biru atau yang lain," tanya Ratih skeptis.
"Aku tidak tahu. Aku hanya merasa ini yang benar, sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh kakek itu," jawab Rohan dengan mantap.
Riki dan Ratih akhirnya mengangguk setuju. Rohan dengan hati-hati menempatkan permata merah itu di celah pedang. Saat permata itu masuk, pedang mulai memancarkan cahaya terang, melingkupi mereka semua.
Tiba-tiba, gua itu bergetar, dan mereka merasa tubuh mereka terangkat oleh kekuatan yang tidak kasat mata. Dalam hitungan detik, mereka lenyap dari tempat itu, meninggalkan gua yang kini kembali sunyi, hanya menyisakan jejak energi misterius yang baru saja terjadi.
Cahaya terang perlahan meredup. Ketika mereka membuka mata, pemandangan menakjubkan terbentang di depan mereka. Langit malam dipenuhi bintang gemerlap, sementara pepohonan rindang di sekitar mereka dihiasi kunang-kunang yang berkilauan di antara dedaunan.
Mereka bertiga berdiri di atas bukit kecil yang menghadap sebuah pemukiman kuno. Rumah-rumah di sana dibangun dari batu bata dengan corak yang terlihat sangat tua. Di tengah pemukiman itu berdiri sebuah istana besar, megah dan anggun, memancarkan aura yang menegaskan bahwa tempat ini bukan tempat biasa.
Riki memandangi jam tangannya. Jarumnya tidak bergerak, membuatnya gemetar dan mendekati Rohan.
"Hei, Rohan. Apa menurutmu kita berada di dimensi lain, atau mungkin... waktu berhenti?" tanyanya, suaranya bergetar.
Rohan menatapnya dengan dahi berkerut. "Kenapa kau berpikir begitu?"
Riki menunjuk jam tangannya. "Lihat ini. Jamku berhenti."
Rohan, terkejut, segera melihat jam tangannya sendiri. Namun, jarumnya masih bergerak normal. Dia menarik napas lega. "Riki, ini buruk," katanya dengan nada khawatir.
"Benarkan! Kita dalam bahaya!" sahut Riki, semakin panik.
Rohan menepuk bahu Riki dengan senyum kecil. "Jam tanganmu rusak, kawan. Di sini jelas tidak ada tukang jam. Jadi kita tunggu saja sampai kita kembali ke tempat asal."
Riki melongo, hampir tidak percaya. "Apa maksudmu?" katanya dengan bingung.
"Lihat jamku. Masih berjalan normal," kata Rohan sambil menunjukkan jam tangannya.
Riki mendengus, mencoba menyembunyikan rasa malunya. "Tsk, kau menyebalkan," gumamnya sambil bersikap sok acuh.
Namun, saat Rohan tertawa kecil, dia menyadari sesuatu. "Tunggu, di mana Ratih?" tanyanya, suaranya berubah panik.
Riki menoleh ke sekeliling. "Bukannya dia ada di belakang kita tadi?"
Mereka berdua mulai mencari, menyusuri pepohonan hingga akhirnya melihat Ratih berjalan menuruni bukit menuju pemukiman.
"RATIH! Apa yang kau lakukan? Jangan pergi sendirian!" teriak Rohan, berlari mengejarnya.
Riki menggeleng sambil bergumam, "Kenapa dia selalu nekat? Membuat kita panik. Tapi jelas, Rohan yang lebih panik. Huh, kapan aku seperti itu?"
Ratih berjalan mendekati pemukiman, kagum dengan pemandangan di sekitarnya. Kehidupan di sana terasa hidup, seperti yang sering dia lihat di buku sejarah, tetapi kali ini dia menyaksikannya langsung. Rumah-rumah kuno, pasar tradisional, dan orang-orang yang berpakaian sederhana membuatnya merasa seolah melangkah ke masa lalu.
Dia menyusuri pasar yang ramai. Ada pedagang menjajakan makanan dan barang-barang menarik, membuatnya tergoda. "Aku mau ini... dan itu... oh, yang itu juga," gumamnya senang.
Namun, perhatian Ratih segera tertuju pada bahasa yang digunakan orang-orang di sekitarnya. Sepertinya mereka berbicara dalam bahasa Sansekerta, tetapi beberapa kalimat terdengar seperti bahasa melayu yang dapat dia pahami.
Seorang wanita berbicara kepada pedagang kain di sebelahnya, tetapi bahasanya terdengar aneh. "πόσο είναι αυτό το πανί?" (Berapa harga kain ini?), tanya wanita itu.
"τρία χρυσά κομμάτια," (Tiga keping emas) jawab pedagang itu.
Ratih mundur perlahan, bingung mendengar campuran bahasa yang tidak dia pahami. Namun, saat dia berbalik, tubuhnya menabrak seseorang. Dia mendongak dan melihat seorang pria berbaju baja, tampak seperti prajurit penting.
"Siapa kau? Berani sekali menabrakku!", bentak prajurit itu dengan nada keras.
"Tunggu, maaf aku tidak sengaja," ujar Ratih sambil membuat gerakan tangan untuk mencoba menjelaskan.
Prajurit itu tampak bingung dengan gaya pakaian Ratih, tetapi ekspresinya dengan cepat berubah menjadi tajam. Tanpa banyak bicara, dia menarik tangan Ratih dengan kasar dan menyeretnya menuju istana. Ratih berontak, berteriak, tetapi tidak ada seorang pun yang membantu karena takut.
"Hei! Lepaskan aku! Kalian ini!" Ratih berteriak frustrasi.
Namun, prajurit itu hanya menjawab dengan suara keras, "Diam dan ikuti!"
Ratih mencoba berbicara, meskipun terbata-bata. "Aku bukan orang sini!"
Mendengar itu, prajurit malah tampak semakin marah. "DIAM!" bentaknya.
Ratih membeku, tidak memahami situasinya, tetapi nadanya jelas penuh ancaman. Kini, dia hanya bisa berharap Rohan dan Riki akan segera menemukannya.
"Cepat cari Ratih di kerumunan itu!” desak Rohan, terlihat panik.
Namun, sebelum mereka sempat melangkah lebih jauh, suara serius beberapa orang di sekitar menarik perhatian mereka. Riki tiba-tiba menarik lengan Rohan dan membawanya ke sudut yang sepi.
“Ada apa?” tanya Rohan dengan bingung.
“Ratih… dia ditangkap oleh panglima kerajaan,” bisik Riki dengan nada cemas.
“Dari mana kau tahu?” Rohan terlihat tidak percaya.
“Aku ini ikut kursus bahasa Yunani selama tiga tahun, tentu aku paham apa yang mereka bicarakan,” jawab Riki santai, meskipun raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran.
“Bahasa Yunani? Jadi, kita ada di Yunani?” Rohan semakin bingung.
“Tidak juga. Aku dengar beberapa orang juga berbicara dalam bahasa Sansekerta dan melayu. Sepertinya tempat ini memiliki sejarah yang belum kita ketahui sepenuhnya,” jelas Riki dengan serius.
Rohan menghela napas dalam-dalam. “Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk membebaskan Ratih?”
Riki mendekatkan dirinya dan mulai berbisik. “Kita harus menyelinap ke istana. Selain menyelamatkan Ratih, kita juga bisa mencari tahu alasan kenapa kita sampai di zaman ini.”
Rohan mengangguk, meskipun rasa gugup terlihat jelas di wajahnya. “Baik, kalau begitu, ayo segera rencanakan semuanya.”
Dengan tekad yang semakin kuat, keduanya mulai menyusun langkah untuk misi penyelamatan Ratih sekaligus mengungkap kebenaran dari perjalanan waktu mereka yang misterius.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments