Setelah sampai di rumah besar yang ditinggali Rohan, mereka bertiga disambut oleh Simbok.
"Nak Rohan, darimana saja toh? Simbok sampai khawatir. Cah loro iki koncone Nak Rohan?" tanya Simbok sambil melirik Riki dan Ratih dengan senyuman.
"Iya, Mbok. Ini Riki, teman saya waktu lomba, dan ini Ratih, pacar saya," jawab Rohan dengan wajah sedikit malu saat menyebutkan kata "pacar."
"Oalah, ayune pacarmu, Nak! Jebul wes gedhe yo wes duwe pacar. Yo yo, mriki duduk dulu, Simbok meh gawe teh anget," sahut Simbok dengan antusias.
"Tidak usah repot, Mbok. Kami buru-buru," balas Rohan sopan.
"Rak ngrepoti kok. Kae Simbok yo jek gawe teh. Cepet duduk dulu, eman-eman yen ora di dhahar lan diunjuk," ujar Simbok seraya melangkah ke dapur.
Ratih tersenyum pada Rohan. "Tidak apa-apa sebentar saja, kan, Rohan. Lagipula niat Simbok baik sekali."
Rohan mengangguk kecil. Mereka pun duduk di ruang tamu, sementara Riki dan Ratih memperhatikan sekeliling dengan kagum.
"Rohan, ini rumah orang tuamu?" tanya Riki, menatap interior rumah yang klasik namun megah.
"Iya, rumah keluarga," jawab Rohan singkat.
"Kalau rumahmu sebesar ini, kenapa dulu kau tinggal di panti asuhan?" Riki melanjutkan dengan rasa penasaran.
Rohan menghela napas pelan sebelum menjawab. "Ada masalah keluarga waktu itu. Sulit untuk dijelaskan, tapi keadaannya memang begitu."
"Oh, maaf ya kalau aku lancang bertanya," sahut Riki, merasa tidak enak.
Tidak lama kemudian, Simbok datang membawa teh hangat dan beberapa piring camilan tradisional.
"Minumlah dulu, cah bagus. Wong dolan yo kudu di suguh," ucap Simbok.
Sambil menikmati teh, mereka mulai membahas rencana perjalanan ke Kota Kendal.
"Kita menginap di sana atau langsung saja pulang?" tanya Riki.
"Kalau menginap biayanya pasti mahal. Lebih baik kita berkemah saja," saran Ratih.
Rohan setuju, dan mereka memutuskan untuk membeli perlengkapan dan makanan di toko setelah ini. Namun, diskusi mereka terganggu oleh bunyi ponsel Riki. Di layar tertulis nama kontak, presiden pengawas.
"Astaga, ayahku," gumam Riki dengan wajah masam. Dia menerima panggilan itu, dan suara tegas langsung terdengar.
"Kamu di mana sekarang? Ayah melihat kau tidak di apartemen dan juga tidak di sekolah!"
Riki menjauhkan ponsel dari telinganya, wajahnya menunjukkan rasa kesal. "Ayah, aku sedang ada urusan penting."
"Urusan apa? Tidak ada yang lebih penting dari sekolahmu!"
Riki mencoba menjelaskan, tetapi suaranya tenggelam oleh nada suara ayahnya yang semakin tinggi. Melihat situasi itu, Rohan dan Ratih saling berpandangan, menahan tawa kecil.
Akhirnya, Riki memutuskan untuk keluar rumah agar bisa berbicara lebih bebas. Setelah beberapa saat berdebat panjang, dia menutup telepon dengan raut wajah frustrasi.
Ketika kembali ke dalam rumah, dia menyembunyikan emosinya di balik senyuman palsu.
"Bagaimana, Ayahmu setuju?" tanya Rohan hati-hati.
"Setuju kok," jawab Riki santai, meskipun jelas sekali itu kebohongan.
Setelah makan, mereka bersiap untuk berangkat. Sebelum pergi, Riki mendekati Simbok dan menyerahkan kunci motornya.
"Mbok, aku titip motor ini. Kalau berguna, silakan dipakai atau dijual saja," ucap Riki.
Simbok terkejut. "Lho, tenan iki le? Motor iki kan apik lan larang."
"Iya, Mbok. Anggap saja ini sumbangan saya untuk desa. Terima kasih sudah menyambut kami," ujar Riki sambil tersenyum.
Rohan dan Ratih yang mendengar itu hanya bisa melongo. Sepanjang perjalanan menuju Kota Kendal, mereka masih membahas keputusan Riki.
"Kau yakin menyumbangkan motor itu?" tanya Rohan.
"Iyalah. Lagipula hanya motor," jawab Riki sambil memandang keluar jendela.
"Kau terlihat aneh. Kau bertengkar dengan ayahmu, kan?" desak Ratih.
Riki hanya tersenyum samar. "Ayahku tidak marah. Aku cuma merasa ini cara terbaik untuk membantu orang lain."
Meskipun Rohan dan Ratih tidak sepenuhnya percaya, mereka memutuskan untuk tidak menekan Riki lebih jauh. Perjalanan pun berlanjut melewati jalan pantura yang penuh dengan pemandangan indah. Ketegangan yang sempat mereka rasakan sedikit memudar ketika mereka menikmati angin pantai dan panorama kota-kota kecil di sepanjang jalan.
Jam menunjukan pukul 02.47 pagi. Mereka terdampar didalam antrian macet karena sedang ada perbaikan jalan. Melihat Rohan lelah mengemudi dari kemarin, Riki menggantikan posisinya.
Rohan tertidur setelah duduk dibelakang, sementara Ratih tidur dikursi samping kemudi. Riki sudah tidur lama sehingga matanya sulit untuk terpejam lagi.
"Kira-kira jika kami berhasil menyelesaikan masalah ini, Ayah masih menerimaku tidak ya?" batin Riki.
Riki memandang arah langit gelap penuh bintang. Pikirannya tidak percaya jika dia melakukan petualang yang sebenarnya tidak masuk akal di zaman modern ini.
TIIIINN... TIIINN... TIIINN...
Suara klakson mobil dan sepeda motor yang memekakkan telinga memenuhi udara siang itu, membuat suasana di dalam mobil semakin menekan.
“Lama sekali! Kita sudah hampir 12 jam, tapi baru maju 57 meter dari tempat sebelumnya!” keluh Ratih dengan nada frustasi, melirik keluar jendela dengan wajah bosan.
“Namanya juga perjalanan macet, ya seperti ini,” sahut Riki yang tetap fokus memperhatikan jalan di depan, tangannya menggenggam erat setir.
Ratih melirik ke belakang, di mana Rohan tengah sibuk membuka peta. “Rohan, kau lagi ngapain?” tanyanya heran.
Rohan melipat kembali petanya sebelum menjawab, “Cuma cek rute. Sepertinya nanti kita akan sampai di pantai.”
“Pantai?” Ratih mengangkat alisnya. “Pantai mana yang akan kita kunjungi?”
“Pantai yang katanya sering hilang dan muncul dengan rahasia di baliknya,” jawab Rohan tenang. “Kau bisa cari tahu di internet, Ratih. Mungkin ada petunjuk.”
Ratih segera membuka ponselnya dan mulai berselancar di internet. Namun, bukannya mencari informasi tentang pantai, matanya malah terpaku pada berbagai foto wisata pantai yang indah.
“Wow, keren banget! Kita harus pergi ke sini, sini, dan sini! Tapi nanti aja pas liburan,” gumamnya penuh antusias, melupakan tujuan awalnya.
“Eh, kau itu cari apa malah ketemu apa,” ledek Riki sambil tertawa kecil.
“Hehe, lupa,” jawab Ratih cengengesan.
Setelah beberapa menit, akhirnya Ratih menemukan sesuatu. Dia menunjukkan layar ponselnya kepada yang lain. “Mungkin ini pantainya. Namanya Pantai Tanjung Elok.”
Rohan dan Riki mendekat untuk melihat lebih jelas.
“Pantai Tanjung Elok,” Ratih membaca penjelasannya. “Terkadang terlihat di bulan tertentu saat intensitas hujan berkurang. Pantai ini sering menghilang karena tertutup air laut, jadi pengunjung hanya bisa datang pada waktu-waktu tertentu.”
“Menarik,” gumam Rohan sambil mengangguk. “Walaupun belum pasti, kita coba ke sana saja.”
“Pantai itu masih tergolong wisata baru,” tambah Ratih. “Jadi kemungkinan besar, kita akan sedikit kesulitan mencari lokasinya.”
“Ah, tapi penduduk lokal pasti tahu. Mana mungkin tersesat di kampung sendiri,” timpal Riki santai.
“Iya juga, hehe,” Ratih tertawa kecil.
Di tengah perjalanan, Riki melirik indikator bensin yang hampir habis. Dia memutar setir, membelokkan mobil ke arah sebuah pom bensin terdekat. Sesampainya di sana, Ratih langsung turun untuk mencari toilet, sementara Rohan pergi membeli makanan untuk mereka bertiga.
Rohan kembali dengan bungkusan makanan di tangan. Dia menghampiri Riki yang sedang duduk di dekat mobil, melepas jaketnya.
“Perjalanan yang melelahkan,” gumam Riki sambil menarik napas panjang.
“Riki,” ucap Rohan tiba-tiba. “Aku tahu kau bertengkar dengan ayahmu.”
Riki menoleh cepat, wajahnya sedikit berubah, tetapi dia tersenyum kecil. “Bukan bertengkar, Rohan. Kami hanya beda pendapat.”
“Mengapa kau rela meninggalkan mereka demi ini?” tanya Rohan dengan nada penuh rasa bersalah.
Riki terdiam sejenak, lalu menjawab dengan tenang, “Karena gue tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Kalau pulang pun, itu tidak menjamin akan tetap hidup. Setidaknya, kalau sesuatu terjadi padaku, papa dan mama tidak akan merasa terlalu bersalah.”
“Maaf, Riki. Kalau bukan karena aku, nyawamu mungkin tidak akan terancam seperti ini.”
Riki menepuk bahu Rohan pelan, tersenyum lebar. “Ini bukan salahmu. Justru gue bersyukur karena kau dan Ratih, bisa memilih hidupku sendiri tanpa diatur oleh siapa pun.”
Keduanya tertawa kecil, seakan melupakan semua masalah sejenak. Namun, di balik tawanya, Rohan mulai menyadari bahwa hidup Riki tidak seindah yang dia bayangkan. Mereka memang tidak terlalu dekat sebelumnya, tetapi perjalanan ini membuatnya memahami lebih banyak tentang sahabatnya.
“Hey, kalian ternyata di sini! Aku mencarimu ke mana-mana!” suara Ratih memecah momen itu.
“Siap, Ratu!” Rohan menjawab sambil tersenyum jahil. “Kami segera menjalankan kusir kereta dengan cepat.”
Mereka bertiga tertawa bersama, suasana kembali ceria. Setelah itu, perjalanan pun dilanjutkan menuju pantai misterius, Pantai Tanjung Elok.
Namun, di balik tawa mereka, misteri besar sudah menunggu di ujung perjalanan ini. Apa yang akan mereka temui di sana?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments