Menyusuri lorong yang gelap, Rohan merasa tubuhnya bergetar tak terkendali. Suasana yang sunyi, dipadu bayangan samar di dinding batu, membuat pikirannya terusik. Dia tak henti-henti merasa khawatir jika Drako atau bayangan hitam itu kembali muncul dan menyerangnya.
Fokus menatap ke depan dengan pencahayaan yang minim, tangan Rohan tanpa sengaja menyentuh sesuatu yang dingin dan keras di sisi lorong. Dia berhenti sejenak, menyadari bahwa itu bukan dinding biasa. Setelah mengamati lebih dekat, dia melihat sebuah pintu besar berwarna merah, mencolok di tengah kegelapan.
"Ini... apa ini pintu yang dimaksud Chandra?" bisiknya pelan, setengah bergumam.
Tangannya bergerak hendak membuka pintu itu, tapi ingatan akan pesan Chandra menghentikannya.
Jangan membuka pintu merah itu!
Rohan menarik napas dalam, menenangkan dirinya. "Aku tidak boleh gegabah. Jika ini yang dia maksud, lebih baik aku tetap mencari Ratih dulu."
Dengan tekad yang diperbarui, Rohan melangkah menjauhi pintu merah dan melanjutkan perjalanan menyusuri lorong menuju ujungnya, meski rasa penasaran masih mengganjal di benaknya.
***
Ratih sibuk memeriksa deretan buku-buku tua di almari besar yang menjulang hingga langit-langit ruangan. Meskipun dia tidak memahami semua tulisan yang tercantum di halaman-halaman itu, beberapa ilustrasi di dalamnya cukup membantunya mengerti isi cerita.
"Orang zaman dahulu kalau bikin gambar serem-serem, ya," gumamnya sambil membalik halaman, memperhatikan gambar makhluk besar bersayap yang melintas di atas istana.
Di tengah eksplorasinya, matanya tertumbuk pada sebuah sketsa reruntuhan yang sangat familiar. Ratih terdiam, menatap lama pada tulisan di bawah gambar itu. Kerajaan Roulis, bunyinya. Tulisan itu anehnya menggunakan aksara Jepang, membuatnya mengerutkan kening.
"Semakin jauh kubuka, semakin banyak tulisan Jepang. Apa mungkin nama Arashi berasal dari Jepang juga?" pikirnya keras-keras.
Tatapannya kemudian beralih pada gambar seorang pangeran muda yang membawa pedang dan bulu hitam di pundaknya. Gambar itu begitu detail, hingga Ratih tertegun. Wajah pangeran dalam gambar itu sangat mirip dengan Rohan.
Namun sebelum dia sempat mencerna lebih jauh, suara langkah kaki terdengar mendekat di balik pintu perpustakaan.
"Ratih... Ratih, kau di dalam?" Suara seseorang memecah kesunyian.
Ratih menutup buku-buku di depannya dengan cepat dan melangkah mendekati pintu.
"Ratih? Kau di dalam?" Suara itu terdengar lagi, lebih jelas.
"Rohan? Apa itu kau, Rohan?" jawabnya, setengah ragu.
"Iya, ini aku! Kau baik-baik saja kan?"
"Aku baik-baik saja. Tapi, bagaimana kau tahu aku ada di sini?"
"Seseorang membantuku mencarimu. Sekarang, minggirlah! Aku akan dobrak pintu ini."
Ratih segera menjauh dari pintu, memberi ruang. Dalam hitungan detik, terdengar suara kayu berderak saat Rohan menggunakan seluruh tenaganya untuk mendobraknya. Pintu terbuka dengan keras, dan di baliknya, berdiri Rohan dengan napas tersengal.
Tanpa berpikir dua kali, Ratih langsung memeluk Rohan erat. "Rohan, syukurlah kau baik-baik saja," ucapnya, suaranya penuh kelegaan.
"Syukurlah kau juga selamat, Ratih. Ayo, kita harus keluar sebelum malam tiba. Tempat ini tidak aman," jawab Rohan, balas memeluknya dengan hangat.
Setelah melepas pelukan, mereka berdua dengan cepat meninggalkan ruangan itu, berjalan menyusuri lorong gelap menuju pintu keluar reruntuhan kuno, berharap bisa segera menemukan tempat yang lebih aman.
***
Riki berlari sekuat tenaga di tengah hutan, keringat bercucuran di dahinya. Napasnya tersengal, dan suara gonggongan anjing liar semakin mendekat di belakangnya.
"TOLONG!" teriak Riki panik, tapi tidak ada balasan.
Guk! Guk!
Matanya menangkap sebuah pohon tinggi di depannya, dan tanpa berpikir panjang, dia segera memanjat ke puncaknya. Anjing-anjing itu mengepung di bawah, menggonggong keras dengan mata tajam yang mengawasi gerakannya.
"Kenapa bisa ada anjing liar di sini? Jangan-jangan ini utusan Drako atau semacamnya?" pikir Riki dengan napas memburu. "Tidak, tidak... Ini cuma hewan biasa, pasti cuma kebetulan!"
Dari puncak pohon, pandangannya terarah pada reruntuhan kuno yang berada di kejauhan. Dia melihat seorang pria misterius sedang duduk santai di depan reruntuhan itu. Penasaran, Riki mengamati sosok tersebut dari kejauhan.
Melihat anjing-anjing itu masih berjaga di bawah, Riki memutar otaknya. Dia mematahkan beberapa ranting dan melemparkannya ke arah berlawanan. Anjing-anjing itu segera berlari mengejar suara ranting yang jatuh.
"Syukurlah, berhasil," gumamnya lega.
Dengan hati-hati, Riki turun dari pohon dan mulai mendekati reruntuhan itu. Dia memungut sebuah batu di jalan, berjaga-jaga kalau sosok itu ternyata berbahaya. Langkahnya pelan, penuh kewaspadaan.
Namun, sebelum dia mendekat lebih jauh, pria itu sudah menyadari kehadirannya.
"Kau sudah datang," sapa pria itu dengan tenang. "Duduklah, kau pasti lelah setelah dikejar anjing-anjing liar itu."
Riki tertegun. "Darimana kau tahu aku dikejar anjing liar?" tanyanya curiga.
"Sederhana, aku mendengar gonggongan mereka tadi. Sudahlah, duduk saja. Kita tunggu Rohan dan Ratih bersama," jawab pria itu sambil tersenyum, membuat Riki semakin berhati-hati.
Dengan enggan, Riki duduk di dekat pria itu, masih memegang erat batunya. Dia mengamati penampilan pria itu yang cukup aneh. Pakaian dan raut wajahnya menunjukkan kesan bahwa dia bukan penduduk biasa, mungkin juga berasal dari kota. Tapi tali kepala dengan permata yang dia kenakan tampak tidak cocok, membuatnya terlihat seperti bangsawan.
Pria itu mengulurkan tangannya dengan santai. "Perkenalkan, namaku Chandra. Aku teman baru Rohan yang kutemui tadi pagi," ujarnya ramah.
Riki menyambut uluran tangan itu, meskipun masih waspada. "Namaku Riki, teman Rohan juga," jawabnya singkat.
"Senang berkenalan denganmu," kata Chandra dengan senyum kecil. "Sambil menunggu mereka, mungkin kita bisa berbincang. Ada yang ingin kutanyakan padamu."
"Tanyakan saja," balas Riki, meski pikirannya waswas.
"Kenapa kau datang ke tempat ini bersama Rohan dan Ratih?" tanya Chandra.
Riki mendesah pelan, lalu mulai bercerita. "Kami bertiga mendapat teror dari seorang berjubah hitam bernama Drako. Ada banyak rumor yang mengatakan bahwa Drako mengincar korbannya untuk dibunuh, jadi kami pergi menemui seorang kakek yang katanya bisa membantu. Tapi entah bagaimana, kami malah terseret ke sini."
Chandra mengangguk perlahan, mendengarkan dengan saksama. "Jadi, Drako... Tapi kau tahu, tidak semua yang diteror Drako pasti berakhir dengan kematian. Kadang, ada sesuatu yang ingin dia sampaikan, tapi dia tidak bisa," ujarnya, membuat Riki makin bingung.
"Sepertinya kau tahu banyak tentang Drako," ujar Riki, mulai mencurigai Chandra. "Apa kau mengenalnya secara mendalam?"
"Yah, tidak terlalu," jawab Chandra sambil mengangkat bahu. "Tapi kita harus segera pergi sebelum hari mulai gelap."
"Memangnya kenapa kalau hari gelap?" tanya Riki, penasaran.
"Karena di sini, semua makhluk takut dengan cahaya matahari," jawab Chandra sambil menatap langit yang mulai meredup.
"Semua makhluk? Tapi Drako bisa muncul di siang hari," bantah Riki.
"Itu hanya tiruannya, bayangan yang dia kendalikan. Drako sendiri tidak suka terang. Dia menggunakan bayangannya untuk menipu."
Riki termenung mendengar penjelasan itu. Meski merasa aneh, kata-kata Chandra terdengar masuk akal. Tapi ada sesuatu yang membuatnya terus waspada.
"Darimana kau tahu semua ini?" tanyanya dengan nada datar.
Chandra hanya tersenyum kecil tanpa memberikan jawaban. Sikap misteriusnya justru membuat Riki semakin penasaran, tapi dia memilih untuk tidak mendesak lebih jauh. Dalam pikirannya, pria ini jelas bukan orang biasa.
***
Hari mulai gelap, Rohan dan Ratih tampak kebingungan setelah menyadari mereka tersesat di dalam lorong runtuhan kuno.
"Tadi lurus saja bisa, kenapa sekarang jalannya berubah?" keluh Rohan, matanya menatap bingung ke sekeliling.
"Jangan-jangan Drako menyadari kehadiran kita lalu mengubah jalan di runtuhan ini," tebak Ratih sambil menggigit bibir, merasa cemas.
"Mungkin saja," sahut Rohan sambil menahan napas. "Tapi kita harus segera keluar sebelum matahari benar-benar terbenam."
Mereka terus mencoba berbagai arah, hanya untuk kembali ke tempat semula berulang kali. Frustrasi mulai menyelimuti, hingga akhirnya mereka menemukan sebuah jalan keluar. Namun, yang menanti di luar adalah pemandangan yang tidak pernah mereka duga.
"Ini... apa?" gumam Ratih dengan suara tercekat.
Di hadapan mereka tampak sebuah kota dengan bangunan dan jalan yang asing. Orang-orang berlalu-lalang mengenakan pakaian yang jauh dari masa mereka. Rumah-rumah terbuat dari batu besar dan kayu, dihiasi ukiran sederhana namun indah.
"Apakah itu... desa? Tidak, ini lebih seperti kota zaman kuno," ucap Ratih dengan nada terkejut.
"Kota zaman kuno? Dari mana kau tahu?" tanya Rohan, matanya tak lepas dari pemandangan yang mengundang rasa penasaran.
"Mirip sekali dengan apa yang aku baca di buku sejarah," jawab Ratih sambil mengamati lebih seksama.
"Apa kita harus pergi ke sana?" tanya Rohan, ragu-ragu. Dia merasa ada sesuatu yang aneh, namun dia tidak bisa mengabaikan rasa ingin tahunya.
"Lebih baik tidak," tegas Ratih sambil menarik lengan Rohan. "Lagipula, kita sepertinya salah zaman. Ayo! Kita masuk kembali sebelum terlambat."
Rohan terdiam sejenak, memandang kota itu dengan mata yang seolah mencoba mengingat sesuatu. Ada rasa familiar yang mengusik pikirannya.
"Jadi, maksudmu kita benar-benar berada di masa lalu? Di zaman kuno?" tanyanya, menoleh ke arah Ratih.
"Iya, sepertinya begitu. Tapi kita harus segera kembali!" Ratih mendesak lagi, suaranya mulai terdengar panik.
Namun, Rohan tetap memandang kota itu. Sesuatu di dalam dirinya mengatakan bahwa dia pernah melihat tempat ini sebelumnya, meskipun dia tidak bisa mengingat kapan atau di mana.
***
Riki masih menatap Chandra dengan penuh curiga. Dalam benaknya, dia menduga pria di depannya adalah pengawal Drako yang mencoba menyusup di antara mereka bertiga. Nama "Chandra" pun terdengar kuno, semakin memperkuat kecurigaannya.
"Tenanglah," ujar Chandra tiba-tiba, memecah keheningan. "Aku tidak memiliki maksud lain selain berteman dengan kalian."
Mendengar itu, Riki mundur tiga langkah, menjaga jarak. "Darimana kau tahu apa yang ada di pikiranku?" tanyanya tajam.
"Itu tidak penting," jawab Chandra santai. "Yang lebih penting saat ini adalah kalian harus segera keluar dari puncak bukit ini."
Penjelasan itu bukannya membuat Riki tenang, justru menambah kebingungannya. "Mengapa dia bilang tidak penting? Padahal memastikan saja nih orang bukan pengawal Drako!" pikir Riki, matanya terus mengawasi setiap gerakan Chandra.
"Hmm, hmm. Aneh," gumam Chandra tiba-tiba, seperti berbicara pada dirinya sendiri.
"Apa yang aneh?" tanya Riki dengan nada mulai geram.
"Tidak apa-apa," jawab Chandra lagi dengan senyum samar yang membuat Riki semakin tidak nyaman.
Merasa tak tahan dengan kebingungan yang melanda, Riki mendekati Chandra. Dia meletakkan tangannya di bahu pria itu, menatap matanya lekat-lekat. "Chandra, kau bilang ingin berteman, kan? Kalau begitu, tidak baik jika masih ada yang kau sembunyikan," bujuk Riki, berusaha mendapatkan jawaban.
Namun Chandra hanya tersenyum kecil. "Ayahku pernah berkata, jika menyangkut hal pribadi yang tidak perlu diketahui orang lain, lebih baik memilih untuk memutuskan pertemanan."
Jawaban itu membuat Riki makin jengkel. "Kau ini..." ucapannya terhenti ketika mendengar suara langkah kaki. Dia melihat Rohan dan Ratih muncul dari balik gelapnya lorong runtuhan.
Chandra berdiri sambil tersenyum. "Akhirnya kalian sampai juga. Kalian pasti tersesat, ya?"
"Iya," jawab Rohan dengan lega. "Riki juga ada di sini. Syukurlah kau selamat!"
Riki melirik ke arah Chandra sebelum berkata, "Rohan, aku perlu bicara sesuatu denganmu."
"Hal apa?" tanya Rohan, bingung.
Namun Riki hanya melirik Chandra lagi, menahan kata-katanya.
Chandra, yang menyadari suasana itu, segera berkata, "Tidak baik membicarakan hal seperti itu sekarang. Lihatlah, matahari mulai terbenam. Kalian harus segera keluar dari sini."
"Bagaimana caranya kami keluar?" tanya Ratih, khawatir.
Tanpa menjawab langsung, Chandra mengeluarkan sejumput bubuk dari kantong kecil di pinggangnya dan melemparkannya ke udara. Bubuk itu menyebar, menciptakan asap tipis yang perlahan mengelilingi mereka.
"Bubuk apa ini? Apa kau ingin membuat kami pingsan?" teriak Riki dengan panik.
"Iya, kalian akan pingsan, tapi hanya untuk sesaat. Ketika kalian terbangun, kalian sudah berada di luar tempat ini. Sudah kukatakan, aku tidak berniat jahat. Aku hanya ingin berteman dengan kalian," jelas Chandra dengan nada tenang.
"Tunggu!" Rohan menahan Chandra. "Kau bilang kalian yang akan keluar. Apa itu berarti kau tidak ikut bersama kami?"
Chandra mengangguk perlahan. "Aku tidak akan pergi. Tugasku belum selesai di sini. Tapi jika ada waktu nanti, aku akan datang menemui kalian," ujarnya dengan senyum misterius.
Perlahan, mereka bertiga mulai kehilangan kesadaran. Dunia terasa berputar, dan suara Chandra adalah hal terakhir yang mereka dengar sebelum semuanya menjadi gelap.
Ketika asap mulai menghilang, Chandra menatap langit yang mulai gelap. Dia mendesah pelan sambil berbisik, "Kalian akan mengerti nanti..."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments