Hari Sabtu, Rohan pergi ke Desa Talakrimbun untuk menepati janjinya. Memasuki pekarangan rumah besar yang dulu pernah dia tinggali, kenangan tentang dua wanita yang pernah mencarinya muncul kembali di benaknya.
"Apakah mereka masih mencariku?" tanya Rohan pada dirinya sendiri, penuh kebingungan.
"Tumben, Nak Rohan datang lagi," suara Simbok terdengar dari kejauhan, membuat Rohan menoleh.
Rohan tersenyum melihat Simbok datang dengan wajah cerah. Simbok langsung menyuruhnya masuk ke dalam rumah dan beristirahat di kamar orang tuanya.
"Nak Rohan, itu mobil siapa?" tanya Simbok sambil duduk di sampingnya.
"Rohan belum tahu pasti," jawab Rohan sambil mengernyitkan dahi, "Tapi mereka memakai jas, kelihatan rapi."
Simbok terdiam, tampaknya berpikir keras. Rohan hanya menatapnya bingung, tak mengerti apa yang sedang dipikirkan Simbok.
"Simbok, ada apa?" tanya Rohan, merasa khawatir.
"Rak opo-opo. Simbok mau beli makanan untukmu, ya. Tapi, kalau ada orang asing datang, Nak Rohan harus sembunyi saja," jawab Simbok dengan suara pelan.
"Kenapa? Apa mereka punya niat buruk pada Rohan?" tanya Rohan, semakin cemas.
"Ya mungkin. Tapi Nak Rohan, jangan khawatir. Kalau ada kabar dari Kepala Desa, Simbok akan jelaskan semuanya," ucap Simbok, mencoba menenangkan.
Setelah itu, Simbok pamit untuk pergi ke warung. Rohan hanya bisa menatapnya hingga sosok Simbok menghilang di balik pintu.
"Entah apa yang akan terjadi selanjutnya dengan keluargaku. Aku hanya bisa mengikuti dan menyelesaikannya," gumam Rohan dengan pasrah.
Makanan disiapkan dengan cepat oleh Simbok. Rohan langsung menyantapnya, karena perutnya kosong sejak pagi.
"Nak Rohan, iki dipangan nganti entek ya. Simbok wes mangan mau, jadi sudah kenyang. Oh ya, iki surat dari Kepala Desa," ucap Simbok sambil memberikan sebuah surat.
"Kenapa Kepala Desa memberikan surat ini?" tanya Rohan dengan heran.
"Simbok rak ngerti. Pokoknya dibaca saja, siapa tahu penting," jawab Simbok.
"Oh ya, Simbok. Rohan mau menanyakan sesuatu."
"Soal keluarga Nak Rohan?" tebak Simbok.
"Bukan. Hmm, soal Drako..." jawab Rohan lirih.
Simbok terkejut mendengar nama Drako. "Drako? Dari mana Nak Rohan tahu? Apa Nak Rohan diteror oleh Drako?" tanya Simbok dengan khawatir.
"Memang benar. Tapi, Simbok jangan beri tahu siapa-siapa ya. Ini rahasia kita saja," jawab Rohan.
"Yo, Simbok paham. Tapi urusan karo Drako itu berbahaya. Drako itu ngapain sama Nak Rohan?" tanya Simbok penasaran.
"Drako menyuruh Rohan untuk datang ke puncak bukit, tepatnya di reruntuhan kuno itu," jawab Rohan dengan nada sedih.
Melihat raut wajah Rohan yang bersedih, Simbok kemudian mengungkapkan sebuah rahasia.
"Ada sesuatu yang harus aku sampaikan ke Nak Rohan," ucap Simbok sambil mengambil sebuah surat kecil yang tersembunyi di balik foto keluarga Rohan.
"Surat apa itu?" tanya Rohan, penasaran.
Simbok memberikan surat itu kepada Rohan. "Nak Rohan bakal ngerti nanti. Iki dipangan dhisek. Simbok arep bali sek, Nak Rohan dewean rak opo-opo toh?"
"Tidak apa-apa, Mbok. Terima kasih karena sudah merepotkan Simbok," jawab Rohan, merasa bersyukur.
"Wes rak sah dipikir. Simbok bali sek yo, Nak Rohan," ucap Simbok, lalu melangkah menuju pintu keluar.
Malam hari tiba, dan Rohan berada di rumah besar itu sendirian. Dia menatap surat yang tergeletak di atas meja di sebelahnya, lalu bangkit dan meraihnya.
"Surat dari Kepala Desa dulu atau surat dari Simbok?" tanyanya pada dirinya sendiri.
"Karena Kepala Desa yang lebih dulu mengirim, lebih baik aku baca dulu," jawabnya pelan.
Rohan membuka surat itu. Sepertinya surat ini adalah surat resmi, karena ada kop surat dan stempel di atasnya.
Dia mulai membacanya, dan saat sampai pada bagian inti surat, tubuhnya terasa tegang.
'Rohan, pemilik sah dari warisan Keluarga Sena. Hal-hal yang mengenai pemindahan kuasa harta telah ditetapkan dan tidak boleh diganggu gugat.'
Setelah membaca kalimat itu, Rohan terdiam. Tiba-tiba, dia merasakan ada sesuatu yang lain dalam surat itu, sebuah kertas kecil yang terselip. Surat itu tampaknya adalah surat pribadi dari Kepala Desa.
'Nak Rohan, mungkin ini yang tidak bisa saya katakan sebelumnya. Sepeninggalnya beliau, terjadi perebutan harta keluarga yang ditinggalkan. Itu sebabnya tidak jarang ada tindak kekerasan dalam perebutan warisan tersebut. Keluarga yang tidak terima akan menyerangmu, seperti halnya Ibu Dwi, adik dari Ibu Ani.'
Membaca surat itu, Rohan merasa sedikit kecewa dengan perlakuan keluarganya sendiri.
"Apakah harta sebegitu pentingnya hingga harus menyingkirkanku? Jika mereka menginginkan hartanya, mengapa harus membuangku?" pikirnya, merasa kecewa.
Dalam kegelisahan itu, kata "Sena" terlintas dalam pikirannya.
"Apakah keluargaku ini ada kaitannya dengan Drako?" tanya Rohan pada dirinya sendiri, semakin bingung.
Rohan bangkit dan menuju ke halaman depan, menghirup udara malam yang dingin. Duduk di teras membuatnya merasa sedikit tenang. Namun, surat dari Simbok yang belum dia baca masih ada di tangannya.
Dia membuka surat itu dan mulai membaca. Kali ini, isi surat itu memberikan jawaban yang telah dia cari selama ini.
"Ini alasan yang mendasar. Aku harus mencari tahu lebih jauh lagi. Masalah keluarga akan ku selesaikan nanti."
'Drako mengincar dirimu karena kau adalah keturunan pertama yang lahir di Keluarga Sena. Ini ada kaitannya dengan ramalan Segidelapan.'
Keesokan harinya, Rohan memutuskan untuk pergi ke hutan terlarang sendirian. Dia ingin menepati janjinya dan menghilangkan kekhawatiran Riki dan Ratih tentang teror Drako, meski dia merasa hidupnya mungkin tidak lama lagi.
Sesampainya di pinggir hutan, tiba-tiba Kakek Joko muncul di atas batu besar, membuat Rohan terkejut.
"Huh! Kakek Joko? Kenapa Anda ada di sini?" tanya Rohan dengan wajah kaget.
"Ini rumahku, mana mungkin aku tinggalkan, Pangeran, hahah," jawab Kakek Joko sambil tertawa seperti dukun.
"Pangeran? Kakek Joko tahu tentang ramalan itu dan Drako?" tanya Rohan dengan penasaran.
"Tentu saja tahu, Kakek ini sudah hidup lama di sini. Kau datang karena Drako, bukan?" jawab Kakek Joko sambil tersenyum misterius.
"Iya. Kakek, apa yang kau ketahui tentang ramalan itu?" tanya Rohan sambil mendekat ke batu tempat Kakek Joko berdiri.
"Arashi adalah dirimu, hahah," jawab Kakek Joko dengan tawa penuh misteri.
"Tunggu, apa? Arashi adalah aku? Mana mungkin. Kami hidup di zaman yang berbeda," ujar Rohan dengan kebingungan dan tak percaya.
"Anak zaman sekarang sering kali melupakan hal-hal yang mereka kira mitos, padahal bisa jadi itu nyata," jawab Kakek Joko dengan serius, meski masih ada senyum di bibirnya.
"Tolong, Kakek Joko, jelaskan dengan lebih jelas. Aku mulai bingung," pinta Rohan, semakin panik karena angin tiba-tiba berhembus kencang.
"Kau terperangkap dalam sebuah ramalan. Kau adalah perwujudan dari Pangeran Arashi yang hilang pada waktu itu. Tak lama lagi, kau akan mengetahui segalanya," jawab Kakek Joko, lalu menghilang seketika.
Rohan terdiam sejenak, lalu berjalan menuju genangan air di dekatnya dan melihat pantulannya.
"Hal-hal mitos seperti ini yang tidak pernah aku percayai... sekarang malah menjadi kenyataan. Tidak mungkin. Jika aku benar Arashi, aku seharusnya mengingat kejadian-kejadian masa laluku. Sebelum itu terjadi, aku tak akan pernah percaya pada mitos seperti ini," gumam Rohan pada dirinya sendiri.
Angin semakin kencang, meniupkan dedaunan dari pohon-pohon di sekitar. Genangan air itu mulai memudarkan bayangannya, dan tiba-tiba menciptakan pantulan lain yang lebih jelas.
Rohan menatap cermin air itu, semakin terpaku pada bayangan yang kini terlihat jelas.
Seorang pria dengan pakaian kerajaan kuno, lengkap dengan mahkota dan pedang, berdiri di hadapannya. Tatapannya tajam dan bersinar seakan menembus jiwa.
Rohan mengedipkan matanya berkali-kali, merasa tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Mungkin... benar, aku adalah Reinkarnasi Pangeran yang Hilang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments