Tentara dan Mafia 20

Acara lamaran belumlah selesai, namun dengan dalih ada panggilan mendadak, Bimo pamit untuk pulang lebih dulu. Semuanya hanya mengiyakan karena memang tahunya begitu.

Tapi ternyata, Bimo menemui Alsaki. Dan bogem mentah ia dapat bahkan sebelum dia bicara apapun.

Bugh bugh

" Bajingan! Pergi dari sini kau!"

Pukulan dan makian Bimo terima. Dia tidak berani menjawab apapun karena dia akui memang dirinya.

Pada akhirnya Bimo pegi sebelum sempat mengatakan tujuannya. Tujuan dia datang adalah untuk meminta maaf walaupun ia tahu itu percuma.

" Bim, kamu kenapa?"

Bimo masih mengenakan baju batiknya itu tidak pulang ke rumah dan juga tidak kembali ke rumah Mila. Dia memilih datang ke rumah dinas milik teman sesama prajurit yakni Sandi.

" Kena hantam sama ayahnya Alna."

Huuuft

Sandi hanya bisa membuang nafasnya kasar. Siapapun itu pasti akan melakukan itu. Jika dia diposisi ayahnya Alna, tentu dia pun akan melakukan hal yang sama.

Bagaimana rasa sakitnya hati saat tahu anaknya diputuskan karena wanita lain. Sandi pun pasti akan menghajar habis pria itu.

" Aku ndak bisa berkomentar apapun Bim, karena memang kamu yang salah."

" Iya aku tahu, Sand. Makanya aku diem aja. Aku diem aja karena aku tau kalau aku salah."

Bimo menundukkan kepalannya. Entah apa yang dirasakannya saat ini. Semua terasa mengambang.

" Aku nggak tau apa yang kamu lagi pikirin. Tapi jangan lagi berbuat kesalahan yang sama. Kamu katanya cinta sama Mila, dan kamu udah ngelamar dia. Jadi bertanggungjawab lah Bim. Jangan mencla-mencle jadi cowok."

Sandi berkata dengan sangat tegas. Image seroang prajurit itu adalah tegas dan bertanggungjawab. Jika Bimo masih bersikap tidak jelas begitu, bisa-bisa malah bisa mencoreng nama kesatuan. Plus pemikiran orang menjadi buruk.

" Ya udah aku pulang dulu. Pasti mereka nyari aku, Sand."

" Bentar aku obati dulu. Jangan sampai mereka kebingungan lihat kamu berantakan kayak gini."

Bimo mengangguk, ia menerima perlakuan Sandi. Memang seharusnya orangtua dan kakaknya tidak boleh tahu apa yang baru saja dialaminya.

Setelah selesai, Bimo kembali ke rumah dinas miliknya. Ternyata ibu dan kakaknya sudah ada di sana.

Meskipun sudah berusaha untuk menutupi, tapi bekas pukulan itu tetap saja terlihat jelas. Hal itu membuat ibu dan kakak Bimo menjadi bertanya-tanya.

" Aku nggak apa-apa kok. Jadi jangan dibesar-besarin."

" Kamu ini lho Bim, kalau emang ada yang mau nyelakain kamu ya kamu harus lapor lah. Jangan malah diem kayak gini. Coba sini bilang, siapa yang ngelakuin nanti Akang samperin."

Bimo mengambil nafasnya dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Kakak lelakinya mungkin tidak akan berani bicara demikian jika tau siapa yang melakukannya.

" Nggak usah, Akang juga nggak akan bisa ngelakuin apa-apa. Emang apa yang mau Akang lakuin sama ayah Alna. Dia yang udah ngelakuin ini semua."

" BIm, seharusnya kamu lapor. Masa dia mukul kamu sampe kayak gini kamu diem aja."

" Aku yang salah Bu. Aku yang salah karena udah bikin sakit hati anaknya. Aku yang salah! Jadi udah sepantesnya aku dapat kayak gini. Ini masih belum apa-apa. Kalau Bunda, maksudku kalau Bu Dita nggak ngehalangi, aku mungkin udah masuk rumah sakit. Udahlah jangan ngomong yang aneh-aneh. Hal yang wajar bagi mereka berdua untuk marah."

Ibu dan kakak lelaki Bimo hanya diam. Apa yang dikatakan Bimo memang benar. Mereka di sini yang salah. Apalagi Bimo sampai saat tadi sama sekali tidak mengembalikan pembicaraan soal pertunangan yang diputuskan secara sepihak olehnya.

Bimo masuk ke dalam kamarnya, ia lalu termangu sambil melihat barang-barang pengembalian dari Alna. Ia ingat betul satu persatu barang itu, kapan ia membelinya dan momen apa saat ia memberikannya kepada Alna.

" Al, kamu lagi ngapain?"

Nguuuung

Di benua yang berbeda dan negara yang berbeda serta waktu yang berbeda, Alna yang tengah makan siang bersama Yusuf tiba-tiba meletakkan sendok dan garpunya. Ia memegang telinganya yang berdengung.

" Anda kenapa Dokter?"

" Oh tidak apa-apa Tuan, tiba-tiba telinga saya berdengung. Mungkin ada yang sedang membicarakan saya."

Alna kembali melanjutkan makannya setelah telinganya tidak lagi berdengung. Dan Yusuf lagi-lagi hanya menatap Alna yang sedang makan.

Bedanya dia tidak lagi bicara yang aneh-aneh. Tentu saja karena Yusuf sudah mendapat peringatan keras dari Ameh Aatirah setelah terakhir kali Alna tersedak.

" Anda lagi-lagi hanya makan sedikit Tuan."

" Hmm entahlah, aku tidak berselera."

" Anda tidak bisa begitu, kalau Anda tidak makan maka kebutuhan nutrisi dalam tubuh Anda bisa berkurang. nanti imun tubuh Anda menurun. Itu sungguh tidak baik bagi kesehatan."

Yusuf tersenyum, dia menopang wajahnya dengan kedua tangan dan melihat bibir Alna yang terus bergerak.

" Gemes," gumam Yusuf lirih. Namun Alna tetap masih bisa mendengarnya. Hanya saja dia pura-pura tidak mendengar dan bersikap cuek.

" Nah, saya sudah selesai. Jadi bolehkan saya membawa Anda untuk melakukan pemeriksaan. Ada luka yang harus kita perhatikan. Anda tahu betul itu, Tuan."

" Siap, aku sudah tidak sabar Dokter."

Alna hanya memutar bola matanya malas. Apalagi saat Yusuf tiba-tiba menggelayut padanya. Meskipun dia sebenarnya enggan, namun karena Yusuf merupakan seorang pasien, Alna pun hanya pasrah.

" Kaki ku lemas, Dokter."

Sreet

Alna meraih pinggang Yusuf dan memapahnya menuju ke ruang perawatan. Pria itu terkejut saat tangan Alna menyentuhnya. Jantungnya seketika berdegup kencang. Niat hati ingin menggoda gadis itu, tapi agaknya malah dia yang terjebak.

Tangan Alna memang mungkin tidaklah halus, namun Yusuf bisa merasakan sesuatu mengalir ke dadanya.

" Rambut mu wanginya enak, Dokter Alna. Rasanya menenangkan."

" Haah terserah Anda lah, Tuan."

Alna benar-benar acuh. Saat ini dia hanya akan melakukan pekerjaannya lalu setelah itu ia harus memikirkan cara untu mendapat informasi yang dicari.

" Semua baik-baik saja, Tuan. Apa Anda merasa nyeri diantara lutut hingga ke kaki?"

" Tidak ada, aku merasa baik-baik saja."

" Alhamdulillah kalau begitu. Ehmm Tuan, apa besok saya boleh izin? Saya ingin keluar."

Yusuf menatap Alna penuh curiga, namun ia kemudian bisa mengontrol tatapannya itu. Dia tidak boleh ketahuan, maka dari itu Yusuf kemudian mengangguk tanda dirinya setuju.

" Anda tidak bertanya saya mau kemana?"

" Tidak perlu, yang penting kamu kembali saja. Itu sudah cukup bagiku, Dokter Alna."

Sungguh rasanya Alna begitu bingung dengan semua sikap Yusuf. Dia masih belum mengerti mengapa Yusuf seolah-olah sudah mengenal dirinya jauh sebelum bertemu. Dan sekarang ia juga merasa baha sikap Yusuf sangat lunak padanya.

" Kalau begitu terimakasih Tuan. Mungkin saya akan sedikit pulang terlambat. Tapi saya pasti akan kembali."

" Ya, lakukanlah apa yang ingin kamu lakukan. Semoga waktu libur mu menyenangkan, Dokter."

TBC

Terpopuler

Comments

susi ana

susi ana

lanjut thor, babnya kok terasa pendek ya, 😂😂😂

2025-03-21

3

Noey Aprilia

Noey Aprilia

Mstinya hjar tu orng smp bbak belur...hran jg sm kluarganya tu pcundang,udh tau anknya slah tp ga dtng buat mnta maaf....dsr kluarga ga wras....

2025-03-21

0

marie_shitie💤💤

marie_shitie💤💤

terserah Al lah Jgn JD sok peduli LG km bukan siapa siapa LG dan km juga knp baru sekarang menyesal terlambat semua dah terlambat

2025-03-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!