Part 16

Jenderal Wang Li tampak gagah dengan balutan jubah berwarna hijau toska yang sudah dikenakannya. Pemuda itu kemudian keluar dari kamar dan menemui seorang kasim yang sudah sedari tadi menunggunya. "Ayo, kita pergi," ucapnya pada kasim itu dan mengantarnya menuju villa bunga.

Di depan sebuah bangunan sederhana, langkah mereka terhenti. Ruangan yang tidak terlalu besar itu memiliki halaman yang sangat luas. Belum lagi dengan taman bunga yang sedang mekar dan sebuah kolam ikan yang tidak terlalu dalam.

"Yang Mulia, Jenderal Wang sudah datang," ucap kasim sambil mengetuk pintu ruangan itu.

"Masuklah."

Pintu ruangan itu kemudian terbuka. Jenderal Wang Li perlahan masuk dan mendapati Raja Zhao Li yang sudah duduk di sebuah kursi dengan meja bundar di depannya. Di atas meja itu, sudah tersedia makanan kecil dan beberapa botol arak. "Duduklah," ucap Raja Zhao Li.

Jenderal Wang Li kemudian duduk di salah satu kursi. "Terima kasih, Yang Mulia."

"Jangan memanggilku seperti itu. Panggil saja Adik Zhao. Itu akan terdengar lebih enak di telingaku," ucap Raja Zhao Li sambil tersenyum.

"Rasanya aku sangat beruntung karena mempunyai seorang Kakak. Sudah lama aku menginginkan hal seperti ini. Kakak tahu, dulu waktu masih kecil aku sering melihat Kakak berlatih dan aku sebenarnya juga ingin berlatih bersama Kakak, tapi ayah tidak pernah mengizinkanku." Raja Zhao Li tersenyum kecut saat mengingat masa-masa itu.

Mendengar penuturan Raja Zhao Li membuat Jenderal Wang Li tersenyum. Entah itu senyuman tulus atau hanya kepura-puraan.

"Kakak Wang, mulai saat ini aku akan mengangkat Kakak sebagai penasehatku. Kakak tidak keberatan, kan?"

"Apa itu tidak terlalu berlebihan? Aku ini hanya seorang jenderal, kalau ingin menanyakan tak tik perang, aku mungkin bisa membantu, tapi untuk masalah kerajaan, aku tidak yakin," ucapnya merendah.

"Sudahlah, aku tidak mau tahu. Kakak Wang harus menerima keputusanku. Ah, sebaiknya kita habiskan kue-kue ini sebelum istriku datang dan melihat kue yang dibuatnya sama sekali tidak kita sentuh. Makanlah, kue buatan istriku ini sangat lezat," puji Raja Zhao Li sambil mengunyah kue yang sadari tadi teronggok di atas meja.

Dari balik pintu, Mei Yin muncul bersama Chen Li yang berjalan menggenggam tangannya. Melihat sang Ayah, Chen Li melepaskan genggaman tangan ibunya dan berlari pelan menuju sang ayah. "Ayah," panggil Chen Li yang membuat Jenderal Wang Li menetap ke arah suara itu.

Melihat Chen Li yang berlari memeluk Raja Zhao Li membuat Jenderal Wang Li tersenyum.

"Dia ini keponakanmu, Chen Li dan ini adalah istriku, Mei Yin," ucap Raja Zhao Li sambil memperkenalkan istri dan anaknya itu.

Jenderal Wang Li menundukkan kepalanya dan memberi hormat untuk wanita yang kini berdiri di depannya. "Hormat hamba, Permaisuri."

"Jangan seperti itu, panggil saja aku Adik Mei Yin. Suamiku sudah menjelaskannya padaku dan aku juga akan memanggilmu Kakak Wang. Itu adil, kan?" tanya Mei Yin dengan sebuah senyuman yang membuat Jenderal Wang Li kembali menundukkan pandangannya.

"Kita adalah keluarga, jadi bersikaplah seperti keluarga." Raja Zhao Li mengajak Mei Yin untuk duduk bersama mereka. Sementara Chen Li, telah diambil oleh Dayang Ling dan bermain bersama dayang itu di ruangan sebelahnya.

Melihat dirinya diperlakukan dengan baik oleh raja dan permaisuri, membuat Jenderal Wang Li sedikit canggung. Dia tidak pernah diperlakukan seperti itu sebelumnya apalagi dianggap sebagai keluarga. Entah perasaan apa yang muncul di hatinya, apakah perasaan sedih atau bahagia dengan perlakuan mereka terhadapnya.

Dengan tersenyum, Jenderal Wang Li berusaha menikmati saat-saat bersama raja dan permaisurinya itu. Mereka terlihat tertawa bahkan mabuk bersama hingga membuat Mei Yin kerepotan dengan sikap suaminya itu. Untuk pertama kalinya, Raja Zhao Li terlihat mabuk karena saking gembiranya dengan kehadiran Jenderal Wang Li yang sudah dia anggap seperti kakak kandungnya sendiri.

"Sepertinya, aku harus kembali. Adik Zhao sudah terlalu mabuk," ucap Jenderal Wang Li pada Mei Yin sambil bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu.

"Baiklah. Aku minta maaf, karena suamiku mabuk seperti ini. Sepertinya, dia sangat bahagia dengan kehadiran Kakak Wang, karena selama ini dia hanya sendiri tanpa seorang saudara maupun sahabat. Aku harap, Kakak Wang tidak kecewa," ucap Mei Yin yang membuat Jenderal Wang Li tersenyum.

"Jangan khawatirkan itu. Aku juga senang karena masih ada yang menganggapku sebagai saudara. Terima kasih karena Adik Zhao dan Adik Mei Yin sudah menemaniku malam ini."

"Istriku," panggil Raja Zhao Li yang tengah terbaring karena mabuk.

"Sepertinya aku harus pergi. Kembalilah dan tolong jaga Adik Zhao."

"Seringlah berkunjung ke sini. Villa bunga akan selalu terbuka buat Kakak Wang." Jenderal Wang Li tersenyum sambil mengangguk dan kemudian pergi.

"Istriku," panggil Raja Zhao Li yang sudah berdiri di belakang Mei Yin dan memeluknya dari belakang.

"Suamiku, apa kamu terlalu bahagia hingga mabuk seperti ini?" tanya Mei Yin pada suaminya itu yang setengah tersadar.

"Ayolah, kita ke kamar. Malam ini aku ingin kamu memanjakanku," ucap Raja Zhao Li sambil mencium bibir Mei Yin yang tampak tersenyum karena sikap suaminya itu.

Mei Yin mengangguk dan mengikuti Raja Zhao Li yang menuntunnya masuk ke dalam kamar. Perlahan, lilin di dalam kamar mereka padam.

Seseorang tampak sedang berdiri di luar ruangan itu dan mendengar semua pembicaraan Mei Yin dan Raja Zhao Li. Entah mengapa, dia masih berdiri di tempat itu seakan kakinya enggan untuk melangkah pergi. Melihat kebahagiaan mereka, ada rasa iri yang tiba-tiba muncul. Dia iri karena Raja Zhao Li mempunyai seorang istri yang sangat cantik dan mencintainya. Dia iri karena di umur Raja Zhao Li yang semuda itu sudah mempunyai seorang putra yang sangat tampan. Dia juga iri karena Raja Zhao Li adalah seorang Raja yang tentunya mempunyai kekuasaan dan juga kekayaan. "Kenapa aku berpikiran seperti ini? Apakah aku pantas untuk cemburu atas semua yang dimiliki oleh Adik Zhao?" batinnya.

Jenderal Wang Li kembali menatap ruangan itu dan kemudian pergi meninggalkan villa bunga dengan hati yang gelisah.

*****

Kekalahan Kerajaan Wu menjadi pukulan terberat bagi mereka. Apalagi dengan luka yang dialami raja mereka hingga membuat Raja Wu Zia menderita luka yang cukup parah.

Belum lagi dengan banyaknya prajurit mereka yang tewas. Kekalahan ini adalah kekalahan terparah selama sejarah Kerajaan Wu berdiri.

Di tempat tidur, tampak Raja Wu Zia tengah terbaring dengan wajah yang pucat dengan luka yang dibalut di bagian dadanya. Sudah dua hari sejak terakhir peperangan itu, Raja Wu Zia masih belum sadarkan diri.

"Tabib, bagaimana keadaan Yang Mulia?" tanya seorang menteri yang tampak gelisah.

Tabib itu menghela nafas panjang dan menggeleng kepalanya. "Sepertinya, luka Yang Mulia sangat parah. Anak panah yang menancap di dadanya rupanya mengandung racun yang cukup mematikan. Sepertinya, orang yang memanah Yang Mulia sangatlah kejam hingga membuat racun seganas itu," ucap tabib itu yang sudah pasrah dengan keadaan Raja Wu Zia.

"Apakah tidak ada obat yang bisa melumpuhkan racun itu?"

"Walaupun ada, itu sudah sangat terlambat. Racun itu bekerja secara perlahan. Awalnya aku tidak menyadari kalau penyebab Yang Mulia semakin lemah adalah karena racun itu, tapi saat aku melihat area dadanya yang terluka itu mulai membiru, aku jadi yakin kalau Yang Mulia telah terkena racun."

Penjelasan tabib membuat perdana menteri itu menjadi gusar. Bagaimana tidak, jika sampai Raja Wu Zia wafat, siapa yang akan melanjutkan kepemimpinannya. Anak-anaknya masih terlalu kecil untuk menjadi Raja selanjutnya dan saudaranya yang lain tidak bisa diangkat menjadi raja karena mereka terlahir dari seorang selir.

"Apa yang akan terjadi dengan kerajaan ini kalau tidak ada penerusnya? Apa yang harus aku lakukan?" Perdana menteri itu semakin bingung. Dia tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk negerinya.

Tak sampai seminggu, Raja Wu Zia akhirnya meninggal. Hiruk pikuk mulai terdengar saat pemakaman Raja Wu Zia baru saja selesai. Para pejabat istana sudah mulai kehilangan pegangan dan meminta perdana menteri yang senior untuk memberikan jalan keluar.

"Apa tidak sebaiknya kita mengangkat Putra Mahkota Wu Lai untuk memimpin kerajaan? Walau dia masih sangat muda, tapi kita tidak bisa membiarkan takhta kerajaan kosong. Untuk sementara, kita jangan terlibat masalah apapun dengan wilayah lain dan membiarkan Putra Mahkota Wu Lai untuk belajar memimpin kerajaan ini. Untuk saat ini setiap keputusan apapun harus kita ambil secara bersama. Apa kalian setuju?" tanya seorang perdana menteri yang cukup senior.

Setelah mendengar penjelasan dari perdana menteri senior itu, pejabat-pejabat lainnya mengiyakan usulannya itu. Mereka setuju untuk mengangkat Putra Mahkota Wu Lai untuk menjadi raja menggantikan ayahnya.

Putra Mahkota Wu Lai adalah anak pertama dari Raja Wu Zia yang baru berumur enam tahun. Walau masih muda, tapi dia sudah sangat terlatih dengan beberapa gerakan kung fu. Semua itu dia dapatkan karena sang ayah selalu mengajaknya untuk melihatnya latihan bertarung ataupun memanah. Putra Mahkota Wu Lai adalah putra kesayangan Raja Wu Zia. Dia sangat dekat dengan sang ayah hingga saat ayahnya wafat, dia tampak sedih dengan sorot mata yang memerah karena menyimpan dendam.

Berita kematian Raja Wu Zia tersebar hingga membuat seluruh penduduk Wilayah Dataran Timur bersuka cita. Setidaknya, wilayah mereka tidak akan lagi diserang oleh kerajaan itu. Apalagi mereka mendengar kabar kalau Kerajaan Wu kini dipimpin oleh seorang bocah.

Kematian Raja Wu Zia juga terdengar sampai di Kerajaan Xia. Mendengar Kerajaan Wu yang kini telah kehilangan raja mereka membuat Raja Zhao Li menarik pasukannya dari perbatasan Wilayah Dataran Timur.

Keputusan itu disambut dengan gembira karena sudah lebih dari tiga tahun mereka berjaga di perbatasan itu tanpa sekalipun mengunjungi keluarga mereka.

Kepulangan pasukan itu diantar langsung oleh Putri Yuri. Kedatangannya bukan tanpa alasan, dia ingin mendekati Raja Zhao Li atau paling tidak dia ingin mengambil simpati dari raja itu untuk bisa menerimanya menjadi istrinya. Baginya, menjadi permaisuri adalah jalan hidupnya. Dia tidak peduli jika dia harus mengambil jalan pintas untuk mencapai kedudukan itu.

Kedatangan mereka disambut baik oleh Raja Zhao Li dan Jenderal Wang Li yang kini sudah menjadi penasehat raja. Wajah gadis itu tampak tersenyum ketika bertemu dengan Raja Zhao Li. Dia ingin meninggalkan kesan yang baik pada raja itu. "Yang Mulia, aku sangat berterima kasih karena pasukan Jenderal Wang ternyata mampu membuat Kerajaan Wu bungkam. Kalau bukan karena kebaikan hati Yang Mulia untuk mengirim pasukan ke Wilayah Dataran Timur, mungkin saja wilayah kami akan terus menjadi incaran Kerajaan Wu," ucap Putri Yuri yang terlihat berbeda dari awal mereka bertemu. Dia terlihat lebih lembut karena tidak ada alasan lagi baginya untuk meminta Raja Zhao Li menjadikannya sebagai selir. Karena itu, dia ingin lebih dekat dengan Raja Zhao Li walau mungkin sekedar menjadi teman.

"Berterima kasihlah kepada Kakak Wang dan pasukannya karena merekalah yang sudah mengalahkan pasukan Kerajaan Wu. Mulai sekarang, Putri Yuri akan menjadi tamu kehormatan Kerajaan Xia. Kapanpun itu, pintu gerbang Kerajaan Xia akan selalu terbuka untukmu." Raja Zhao Li tampak tersenyum saat mengucapkan itu hingga membuat Putri Yuri menunduk memberi hormat.

"Terima kasih atas kemurahan hati, Yang Mulia. Aku sangat senang karena sudah diterima dengan baik oleh Yang Mulia," ucap Putri Yuri sambil menundukkan wajahnya. Terbesit sebuah senyum sinis di wajahnya yang menunduk seakan dia telah menemukan jalan awal untuk mencapai maksudnya.

"Sebaiknya kita ke villa bunga, permaisuri sepertinya sudah menunggu kita," ajak Raja Zhao Li yang kemudian berjalan menuju villa bunga. Sementara Jenderal Wang dan Putri Yuri berjalan mengikutinya dari belakang.

"Aku ingin tahu rupa permaisuri itu seperti apa hingga membuat Raja Zhao Li tidak bisa berpaling," batin Putri Yuri yang begitu penasaran dengan sosok wanita yang membuat Raja Zhao Li menolak menjadikannya selir.

Di halaman villa bunga, tampak sebuah tenda yang sudah berdiri tanpa sekat. Tenda itu hanya dipasang untuk tempat mereka berteduh. Di dalam tenda itu sudah ada sebuah meja yang di atasnya sudah tertata rapi dengan aneka macam kue dan beberapa botol arak yang tidak terlalu memabukkan dan beberapa buah kursi untuk tamu-tamu itu duduk.

Dari dalam ruangan itu muncul seorang wanita yang tampak cantik dengan balutan hanfu berwarna biru laut dengan bordiran emas di pergelangan tangan dan bagian bawah hanfu. Wanita itu terlihat sangat cantik dan anggun. Wanita itu berjalan perlahan ke arah mereka hingga membuat ketiga orang yang kini berdiri di depannya terpaku manatapnya tak berkedip.

Terpopuler

Comments

Sisilia Jho

Sisilia Jho

jadi curiga dengan jendral Wang Li dan putri Yuri nanti nya berkomplot..

2020-05-04

1

Adithya Gaming

Adithya Gaming

wahhh...hebat authornya...imajinasinya kerennnn

2020-02-08

3

Cinta Nayla

Cinta Nayla

lanjuttt

2020-01-23

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!