Part 10

Di dalam ruangannya, Raja Zhao Li tampak gelisah. Dia masih memikirkan tentang Liang Yi yang masih tidak ingin bertemu dengan mereka. Padahal, dia sangat merindukan sahabatnya itu. Walau dia sudah berusaha untuk mencari tahu keberadaan sahabatnya itu, tapi selalu saja hasilnya nihil. "Liang Yi, aku sangat berharap kita bisa bertemu lagi. Setidaknya hanya sekali, agar aku juga tahu kalau dirimu baik-baik saja." ucap Raja Zhao Li yang begitu mengharapkan bertemu dengan sahabatnya itu.

"Yang Mulia, ada surat untuk Yang Mulia," ucap kasim yang berdiri di depan pintu.

"Masuklah."

Kasim itu kemudian masuk dan memberikan selembar surat untuk Raja Zhao Li. "Maaf, Yang Mulia. Ada seseorang yang meminta hamba untuk memberikan surat ini untuk Yang Mulia," jelas kasim sambil menunduk.

Raja Zhao Li menerima surat itu dan dibacanya. Sontak, matanya melebar saat membaca surat itu dengan senyum yang tiba-tiba merekah. "Siapa yang memberikan surat ini? Di mana dia sekarang?" tanya Raja Zhao Li pada kasim.

"Maaf, Yang Mulia. Hamba hanya diberi oleh seseorang. Yang hamba tahu, orang itu hanya ingin melindungi Yang Mulia dan juga kerajaan ini."

"Aku tahu dia memang selalu ingin melindungiku. Sebaiknya, aku harus berangkat sekarang," ucap Raja Zhao Li yang kemudian pergi setelah membaca isi surat itu.

Dengan mengubah penampilannya, Raja Zhao Li meninggalkan kerajaan bersama seorang pengawal pribadinya. Mereka menuju ke suatu tempat di mana menyimpan kenangannya bersama sang sahabat.

Sejak melihat Zhao Li dan Mei Yin, Liang Yi sering memikirkan mereka. Dia ingat saat Zhao Li sangat berharap untuk bertemu dengannya. Sesaat, rasa rindunya pada sahabatnya itu mulai mengganggunya. "Apa aku harus bertemu denganmu?" batin Liang Yi yang mulai dipermainkan perasaannya sendiri.

Dengan bantuan Qiang, Liang Yi meminta untuk menyerahkan sepucuk surat untuk Raja Zhao Li. Dan kini, dengan memacu kudanya, Liang Yi menuju ke suatu tempat yang menjadi kenangan bagi mereka.

Di tempat itu, Liang Yi sudah menunggu. Tempat yang biasa mereka kunjungi untuk berlatih kung fu secara diam-diam. Di tempat inilah, mereka saling membagi ilmu dan strategi dalam memerintah kerajaan. Liang Yi bukan hanya mahir dalam bertarung, namun taktik berperang dan ilmu ketatanegaraan juga bukan hal yang sulit baginya.

Suara gemericik air terdengar diiringi suara burung yang seskali melintas di tempat itu. Liang Yi lantas mengeluarkan pedangnya dan mulai melakukan gerakan kung fu di atas sebuah batu. Gerakannya sangat lincah dan gesit. Sambil menunggu Raja Zhao Li, Liang Yi mulai mencoba mengasah kemampuannya dan mengingat kembali gerakan yang pernah dipelajarinya bersama sahabatnya dulu.

"Rupanya kemampuanmu sudah sangat hebat," ucap Raja Zhao Li yang tiba-tiba muncul dan mulai mengayunkan pedangnya mengikuti gerakan Liang Yi. Kedua sahabat itu mulai bertarung. Suara dentingan pedang bergema diiringi suara gemericik air. Gerakan Liang Yi yang mahir memainkan pedangnya tidak membuat Raja Zhao Li bergeming. Raja Zhao Li mampu mengelak dari setiap serangan Liang Yi yang terlihat sungguh-sungguh.

"Kamu hebat juga bisa menghindar dari seranganku," ucap Liang Yi sambil terus menyerang. Walau di depannya berdiri seorang raja yang patut dihormatinya, tapi baginya Raja Zhao Li tetaplah sahabatnya dan mereka sudah biasa saling memanggil dengan nama mereka tanpa harus terikat dengan jabatan dan status.

"Jangan remehkan aku. Terima saja seranganku ini!!??" Raja Zhao Li kemudian mengayunkan pedangnya sambil melompat tinggi dan mengarahkan pedangnya ke arah kepala Liang Yi, tapi dengan sekuat tenaga Liang Yi mengelak dan menangkis dengan pedangnya hingga terdengar dentingan pedang yang cukup keras.

"Ternyata seranganmu hebat juga, kalau aku lengah sedikit saja, kepalaku bisa melayang," ucap Liang Yi yang mulai melakukan serangan balasan. Liang Yi terus menyerang ke arah sisi kiri Raja Zhao Li yang terlihat lengah. Dengan gesitnya, Liang Yi menyasar lengan kiri Raja Zhao Li hingga membuat lengan bajunya robek terkena sayatan pedangnya.

Pengawal pribadi Raja Zhao Li yang sedari tadi melihat pertarungan mereka tampak takjub menatap kegesitan kedua sahabat itu. Dia sama sekali tidak menyangka kalau rajanya ternyata sangat lihai dalam bertarung. Melihat lengan baju Raja Zhao Li yang robek, membuat dia terkejut dan ingin membantu, tapi langkahnya terhenti karena mengingat pesan sang raja yang memintanya hanya diam dan menyaksikan apapun yang terjadi tanpa dia harus bergerak dari tempatnya.

Melihat lengan bajunya yang robek membuat Raja Zhao Li tersenyum. "Sebaiknya kamu kembali ke istana dan jadilah tangan kananku, kalau tidak rambutmu bisa habis aku potong," ucap Raja Zhao Li sambil meniup potongan rambut Liang Yi yang ternyata berhasil dia potong dengan pedangnya sendiri.

Liang Yi tersenyum dan meraba rambutnya yang berhasil dipotong oleh sahabatnya itu. Sontak, mereka berdua tertawa terbahak-bahak. Pedang di tangan mereka disarungkan kembali dan merekapun saling berpelukan.

"Ternyata, kung fu mu semakin hebat. Aku salut padamu," ucap Raja Zhao Li sambil merangkul sahabatnya itu.

"Kamu juga semakin hebat, kalau aku tadi tidak hati-hati kepalaku bisa saja lepas dari badanku."

"Tenanglah, aku tahu tidak semudah itu aku bisa melukaimu. Ayo, lebih baik kita duduk di atas batu itu. Ada banyak yang ingin aku bicarakan denganmu," ucap Raja Zhao Li yang belum melepaskan rangkulannya dari bahu sahabatnya itu.

Dari atas batu, mereka bisa melihat aliran air sungai yang mengalir dengan derasnya. Sejenak, mereka mengingat seseorang saat melihat sungai itu. Seorang wanita yang tampak menghindar saat mereka menyiraminya dengan air walau akhirnya wanita itu hanya tersenyum karena sekujur tubuhnya telah basah karena ulah kedua pemuda itu.

"Liang Yi, selama ini kamu tinggal di mana? Waktu itu, Mei Yin melihatmu dan dia sedih karena kamu tidak pernah datang menemui kami," ucap Raja Zhao Li membuka pembicaraan.

"Aku tinggal di suatu desa yang jauh dari kota. Waktu itu, Mei Yin sempat melihatku saat aku datang ke pasar kota untuk mencari buah kesemek. Kamu tahu, Jiao Yi sekarang sedang mengandung dan aku akan menjadi paman," ucap Liang Yi dengan semangat.

"Benarkah? Kalau begitu, aku juga akan menjadi paman dari anak Jiao Yi, aku kan juga kakaknya dan siapa bilang kamu akan jadi paman, kamu memang sudah menjadi paman dari anakku, Chen Li." Raja Zhao Li tersenyum dan membuat Liang Yi ikut tersenyum.

"Aku minta maaf, karena baru kali ini menemuimu. Aku tahu masalah yang baru-baru ini kamu hadapi, karena itu aku mohon padamu apapun yang terjadi jangan pernah membuat Mei Yin terluka, kalau tidak aku tidak akan pernah memaafkanmu."

Raja Zhao Li tersenyum dan mengangguk. "Tenanglah, masalah itu sudah selesai. Aku juga tidak akan pernah membuat Mei Yin terluka. Kamu tahukan kalau aku sangat mencintainya? Aku akan lakukan apapun untuk dia, asalkan dia bahagia dan selalu ada di sisiku, apapun akan aku lakukan untuknya." Raja Zhao Li tersenyum mengingat wajah istrinya itu.

Mendengar penuturan Raja Zhao Li membuat Liang Yi ikut tersenyum. "Zhao Li, aku akan selalu membantumu. Kalau kamu perlu bantuanku, kirimkan saja orang kepercayaanmu ke desa di atas bukit Xian, aku tinggal di desa itu bersama Jiao Yi," jelas Liang Yi.

"Kalau saja Mei Yin ikut bersamaku, dia pasti akan sangat bahagia karena bertemu denganmu."

"Jangan katakan padanya kalau kita telah bertemu. Sebaiknya, dia tidak tahu pertemuan ini. Aku hanya mohon padamu, tolong jaga dia. Aku juga ingin meminta maaf, karena aku tidak bisa mengunjungimu di istana karena aku sudah mempunyai tanggung jawab terhadap penduduk di desaku."

Raja Zhao Li mengangguk dan dia tidak ingin memaksa Liang Yi. Pertemuan kedua sahabat itu membuat mereka tertawa lepas. Kerinduan yang selama ini mengganggu kini telah terbalas. Persahabatan sejak kecil ternyata masih tersimpan dan selalu membekas. Hingga mereka harus berpisah kembali dan pergi bergegas.

Mereka kemudian meninggalkan tempat itu dengan memacu kuda mereka. Walau begitu, mereka masih sempat bertaruh siapa yang akan sampai terlebih dulu di ujung jalan.

"Aku harus pergi, ingat pesanku!!" teriak Liang Yi yang telah sampai terlebih dulu dan kemudian pergi berlawanan arah dengan Raja Zhao Li.

Raja Zhao Li menghentikan laju kudanya dan terus memperhatikan Liang Yi yang mulai pergi menjauh.

"Yang Mulia, bukankah pria itu adalah Tuan Liang Yi, putra dari Jenderal Chang Yi yang menghancurkan tambang ilegal milik perdana menteri Liu? Dia juga pernah menjadi pengawal pribadi dan sahabat Yang Mulia, kan?" tanya pengawal pribadinya itu.

Raja Zhao Li tersenyum. "Ternyata kamu mengenalnya. Ah, rupanya dia sangat terkenal di kalangan prajurit istana," ucap Raja Zhao Li yang kemudian memacu kudanya dengan wajah yang tersenyum.

Dalam perjalanan pulang, langit terlihat mendung hingga memaksa Liang Yi untuk mempercepat laju kudanya. Suara petir bergemuruh dengan kilatan berwana putih di sela-sela langit yang mulai menghitam. "Sepertinya akan hujan lebat, aku harus cepat," ucap Liang Yi sambil memacu kudanya.

Di pertengahan jalan, hujan turun dengan derasnya hingga memaksa Liang Yi harus berteduh. Di dalam sebuah goa, Liang Yi menyembunyikan tubuhnya dan berlindung dari derasnya air hujan yang turun. Langit yang mulai gelap membuat tempat itu terlihat gelap gulita. Hanya berbekal ranting kering yang tadi sempat diambilnya untuk menerangi di dalam goa, tapi tak lama setelah itu api itupun padam.

Dalam keadaan yang gelap gulita, Liang Yi memilih duduk bersandar di mulut goa karena masih ada sedikit cahaya dari kilatan petir yang sesekali menyambar. Dalam kebisingan air hujan yang mengguyur, samar-samar dia mendengar suara seseorang. "Liang Yi, pulanglah. Jiao Yi membutuhkanmu," ucap suara itu yang sontak membuat Liang Yi terkejut dan terbangun dari tidur sesaatnya.

Liang Yi kemudian bangkit dan menatap keluar. Hujan masih turun dengan derasnya, tapi mimpinya itu sudah menganggu hatinya.

"Aku harus cepat pulang," ucap Liang Yi sambil keluar dari mulut goa dan memacu kudanya menuju desa. Walau hujan deras, Liang Yi tidak peduli. Dia terus melaju dengan kudanya menerobos guyuran air hujan hingga tiba di gerbang desa. Liang Yi kemudian turun dan berlari menuju rumahnya di mana sudah ada beberapa orang yang berkumpul di depan rumahnya itu.

"Ketua," ucap Qiang saat melihat Liang Yi yang baru saja datang.

"Ada apa kalian di sini? Jiao Yi, ada apa dengan Jiao Yi?" tanya Liang Yi panik dan ingin masuk ke dalam kamar, tapi Qiang dan Zu Min segera mencegahnya.

"Sebaiknya, Ketua tunggu saja di sini. Sejak sore tadi, Nona mulai merasa kesakitan hingga kami segera memanggil tabib, tapi sampai sekarang kami belum tahu kondisi Nona," jelas Zu Min yang membuat Liang Yi menjadi khawatir.

Tiba-tiba seorang wanita keluar dan menemui Liang Yi yang terlihat bingung. "Tuan, Nona ingin bertemu." Liang Yi kemudian menerobos masuk dan melihat Jiao Yi yang terbaring dengan wajah yang memucat.

"Kakak," panggil Jiao Yi pelan. Liang Yi kemudian meraih tangan adiknya itu dan menggenggamnya. "Bertahanlah, Kakak mohon," ucap Liang Yi yang tanpa sadar sudah menitikkan air mata.

Tiba-tiba, Jiao Yi menjerit. Tangannya menggenggam dengan erat hingga Liang Yi semakin panik.

"Tuan, sebaiknya Tuan tunggu di luar. Sepertinya, Nona akan segera melahirkan," ucap tabib wanita yang sedari tadi menemani Jiao Yi.

Walau berat, tapi Liang Yi harus menunggu di luar. Tatapan mata Jiao Yi terlihat lemah dan sempat menatap ke arahnya dengan sebuah senyum yang begitu dipaksakan. "Kakak akan tunggu di luar. Kamu harus kuat, Kakak tidak sabar untuk menimang keponakan Kakak," ucapnya yang membuat Jiao Yi mengangguk pelan.

Malam itu, suara petir terus menggelegar diiringi suara hujan yang masih mengguyur bumi. Di antara suara air hujan, terdengar suara tangisan bayi yang menangis dengan kencangnya. Liang Yi tersenyum bahagia saat mendengar suara tangisan bayi itu.

"Tuan, bayinya laki-laki," ucap seorang wanita dengan tersenyum.

Liang Yi kemudian masuk ke dalam kamar dan mendapati seorang bayi mungil sedang terbaring di samping tubuh Jiao Yi yang lemah dengan wajahnya yang pucat. "Kakak, berilah nama untuk anakku ini," ucap Jiao Yi pelan.

Liang Yi berjalan perlahan dan melihat sosok bayi mungil itu. Dengan tersenyum, Liang Yi meraih bayi itu dan menimangnya. Ditatapnya wajah bayi itu hingga membuatnya menitikkan air mata. "Yuwen, namanya adalah Yuwen. Apa kamu suka?" tanya Liang Yi sambil menatap sang adik yang mengangguk pelan. Liang Yi kemudian duduk di samping adiknya itu dan mengelus lembut kepalanya. "Jiao Yi, kamu hebat. Ayah dan ibu pasti sangat bangga padamu." Liang Yi menatap wajah sang adik yang perlahan menitikkan air mata.

"Kakak, maafkan aku," batin Jiao Yi yang membuatnya kembali menitikkan air mata.

Setelah semalam hujan turun mengguyur bumi, kini matahari perlahan mulai muncul dengan sinarnya yang menembus di sela-sela atap rumahnya. Jiao Yi tampak lemas, walau begitu dia masih bisa memberikan air susunya untuk sang buah hati.

Dalam pelukannya, bayi mungil itu terdiam hingga membuat Jiao Yi tersenyum dan mengecup pipinya. "Yuwen, maafkan ibumu yang tidak bisa menemanimu. Ibu sudah tidak kuat lagi. Kakek dan nenekmu sudah menunggu ibu sejak semalam. Ibu minta padamu untuk selalu menjaga pamanmu. Jadilah anak yang baik. Yuwen, ibu sangat mencintaimu," bisik Jiao Yi pelan di telinga bayi mungil itu dengan air mata yang perlahan jatuh.

Terpopuler

Comments

Sisilia Jho

Sisilia Jho

sungguh malang nya Liang Yi..harus kehilangan lagi..kapan Liang Yi bahagia..

2020-05-04

1

Anisa Sifa

Anisa Sifa

sedih thorrr...

2020-02-10

2

potekan lidi

potekan lidi

yahhabiz😭

2020-01-19

5

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!