Bab 5: Kejutan

Pagi hari di Desa Sekawan dimulai dengan udara sejuk yang menyelimuti rumah Kirana. Seperti biasa Kirana bangun pagi-pagi sebelum matahari terbit. Tangannya sibuk membersihkan rumah, menyapu lantai dan setelah itu menyiapkan sarapan untuk keluarga Paman Budi.

Setelah semua pekerjaan rumah selesai, Kirana menyiapkan perlengkapan sekolahnya termasuk baju kaos dan celana training yang nanti akan digunakan untuk latihan silat bersama Kakek Sapto dan Ririn. Kirana memegang baju kaos dan celana training yang akan dimasukkan ke dalam tasnya. Hatinya berdebar-debar membayangkan dia berlatih silat bersama Ririn. “Aku harus kuat, agar tidak ada lagi yang bisa menggangguku,” bisik hati Kirana.

Saat keluarga Paman Budi mulai sarapan, Kirana hanya bisa menunggu di dapur. Kirana tahu ia hanya boleh makan setelah yang lain selesai. Kirana menatap piring kosong yang ada di depannya. Hatinya sesak tapi ia berusaha untuk menahan air matanya. “Kenapa aku harus selalu menunggu? Apa salahku?” bisik hatinya.

Bibi Tari dan Rara duduk di meja makan, sambil makan mereka membicarakan rencana mereka hari ini. Paman Budi sesekali melirik Kirana yang masih duduk di dapur. Matanya penuh simpati, namun dia tidak dapat berbuat banyak.

“Kirana, setelah ini jangan lupa cuci piring dan bereskan dapur! Jangan sampai ada yang ketinggalan ya! Kamu kan sudah besar, harusnya kamu bisa lebih bertanggung jawab!” perintah Bibi Tari tanpa menoleh dan dengan suara yang datar.

“Iya Bi… Kirana akan membereskan semuanya,” jawab Kirana dengan suara gemetar sambil menunduk.

Setelah keluarga Paman Budi selesai sarapan, akhirnya Kirana bisa duduk dan mulai makan. Kirana menyantap sarapannya dengan cepat, karena dia tidak ingin terlambat ke sekolah. Setelah Kirana menyelesaikan sarapannya, ia segera membersihkan dapur dan mencuci piring yang dipakai semua keluarga tadi sarapan. Paman Budi yang akan berangkat kerja di kantor desa, melihat Kirana masih ada di dapur. Lalu Paman Budi mendekati Kirana. “Nak… jangan lupa membawa bekal untuk makan siang,” ujar Paman Budi lembut.

“Iya Paman… Paman hati-hati di jalan ya…,” jawab Kirana sambil mengambil tangan Paman Budi untuk salim.

Paman Budi tersenyum dan mengelus kepala Kirana. “Iya Nak… kamu juga hati-hati di jalan ya… Jangan sampai kejadian kemarin terulang kembali.”

“Iya Paman…. Kirana janji akan lebih hati-hati,” jawab Kirana sambil tersenyum.

Paman Budi mengangguk dengan wajah penuh dukungan. “Semangat Nak… Jangan lupa kalau ada apa-apa, bilang sama paman ya."

Kirana mengangguk dan pamannya bergegas ke halaman rumah karena Rara sudah menunggu untuk diantar ke sekolah oleh ayahnya.

Kirana lalu bergegas ke kamar mengambil tas yang akan dibawanya ke sekolah. 

 

Masih dalam suasana udara sejuk pagi ini, diiringi suara burung berkicau di pepohonan dan sinar matahari pagi mulai menyinari jalan setapak yang dilalui Kirana. Di perjalanan ke sekolah, ia bertemu dengan Ririn yang sedang berjalan sendirian. Biasanya Ririn diantar oleh ayahnya, namun karena pagi ini ayahnya sedang sibuk, akhirnya Ririn jalan kaki ke sekolah yang memang tidak jauh dari rumahnya.

“Rin…. Tunggu aku!!” panggil Kirana sambil berlari kecil mendekati sahabatnya.

Ririn menoleh dengan wajah cerah melihat Kirana. “Kirana… Aku kira kamu sudah berangkat duluan.”

Kirana tersenyum mesti matanya masih waspada. “Iya… tadi ada sedikit pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Kamu baik-baik saja kan? Masih takut ketemu mereka?”

Ririn menghela napas dan wajahnya sedikit tegang. “Masih… tapi kita harus tetap semangat kan?”

Kirana mengangguk dan kembali bertanya, “Oh iya… kemarin kamu cerita ke orang tuamu tentang kejadian di danau?”

Ririn mengangguk pelan. “Iya aku ceritakan semuanya. Aku sebenarnya merasa bersalah Kirana. Aku tidak bilang ke orang tuaku tentang Rara. Tapi…. Aku takut kalau mereka tahu, mereka akan marah dan melabrak Rara. Aku takut karena itu hubungan keluarga kita menjadi renggang.”

Kirana memandang Ririn dengan penuh pengertian. “Iya Rin… aku juga berpikir begitu. Tapi apa keluargamu tidak akan melaporkan ini ke pihak berwajib?”

Ririn menghela napas. “Aku tidak tahu. Aku juga berharap ayah tidak melaporkan ini ke polisi, karena aku tidak mau membuat masalah lebih besar. Lagi pula kita sudah ditolong oleh Kakek Sapto. Aku rasa kita akan aman sekarang. Apalagi aku sudah bilang sama keluargaku, bahwa aku mulai hari ini akan berlatih silat bersamamu di bawah bimbingan Kakek Sapto.”

Kirana tersenyum dan kembali bertanya. “Apa keluargamu mengenal Kakek Sapto, sampai mempercayakan kamu sama Kakek Sapto. Kalau keluargaku mana perduli…. he… he…,” ucap Kirana sambil tersenyum, walaupun hatinya perih.

“Ayah hanya tahu sedikit tentang Kakek Sapto. Ayah tahu Kakek Sapto orang baik, karena semenjak Kakek Sapto ada di desa ini, walaupun pondoknya ada di pinggir hutan, namun Kakek Sapto sering membantu warga desa. Katanya dulu Kakek Sapto adalah orang kota yang sudah bosan dengan hiruk pikuk kota… entah benar atau tidak… yang penting Kakek Sapto baik kepada kita,” jawab Ririn dengan semangat.

Kirana mengangguk. “Aku juga merasa Kakek Sapto adalah orang baik. Tapi…. Ada sesuatu tentang dia yang membuatku penasaran. Dia bilang aku mirip seseorang yang dia kenal dulu. Aku ingin tahu siapa orang itu,” ucap Kirana mengingat perkataan Kakek Sapto yang menyebutkan Kirana mirip orang yang dia kenal dulu.

 

Sesampainya di sekolah, Kirana dan Ririn disambut oleh suara riuh teman-teman mereka yang sedang bercanda di halaman sekolah. Kirana dan Ririn bergabung dengan mereka mencoba melupakan kejadian kemarin. Sinar matahari pagi menyinari pepohonan di sekitar sekolah, sementara beberapa guru terlihat sibuk membawa buku-buku ke ruang kelas, sementara bel sekolah berbunyi menandakan waktu pelajaran akan segera dimulai.

Sebelum pelajaran dimulai, tiba-tiba seorang guru mendekati Kirana. “Kirana… kepala sekolah memanggilmu. Dia ingin berbicara denganmu.”

Kirana terkejut. “Saya bu…. Ada apa ya bu? Apa saya membuat kesalahan bu? ” tanya Kirana dengan mata membesar dan suara gemetar.

Guru itu tersenyum. “Tenang Kirana…. Ini tentang kabar baik bagimu. Cepat ke ruang kepala sekolah ya,” jawab guru itu yang semakin membuat Kirana penasaran.

Kirana mengangguk dan masih terlihat bingung. Kirana berjalan pelan ke ruang kepala sekolah dengan hati berdebar-debar. Ia coba menenangkan diri, tapi rasa cemas dan bingung tetap menyergap. Ririn yang melihatnya melambaikan tangannya dan memberikan gerakan semangat kepada Kirana. 

Setibanya di ruang kepala sekolah, Kirana mengetuk pintu pelan. “Selamat pagi pak… Saya Kirana… Kata bu guru, bapak memanggil saya…” tanya Kirana sambil meremas rok sekolahnya karena gugup.

Kepala sekolah menoleh dan tersenyum ramah. “Ah Kirana… Silahkan masuk dan duduk dulu. Ada kabar baik untukmu.”

Kirana masuk ke ruang kepala sekolah dan matanya menatap sekeliling ruangan yang rapi dan dipenuhi piagam penghargaan. Hatinya berdebar-debar, tapi ia mencoba tetap tenang.

Kirana duduk dengan gugup dan tangannya masih memegang rok sekolahnya. “Maaf pak… kabar apa ya pak?” tanya Kirana sembari menatap bapak kepala sekolah.

Kepala sekolah tersenyum. “Begini… Kamu terpilih untuk mengikuti program beasiswa yang diselenggarakan oleh sebuah perusahaan besar di Jakarta. Ini kesempatan besar nak… Kamu akan mendapatkan bantuan pendidikan dan uang saku selama program beasiswa ini. Kamu juga dibebaskan memilih SMA nanti, apakah masih mau di daerah atau pindah ke Jakarta?” terang kepala sekolah kepada Kirana. “Bagaimana…. Tertarik…?” imbuh kepala sekolah sambil tersenyum. Dia tahu pasti Kirana akan menerima penawaran ini, karena dia tahu Kirana pintar dan ulet, namun kehidupannya memprihatinkan.

Kirana terkejut dan matanya berbinar. “Benarkah Pak? Saya…. Saya sangat senang pak!” jawab Kirana dan menatap kepala sekolah dengan wajah sumringahnya.

Kepala sekolah mengangguk dan wajahnya penuh kebanggaan. “Kamu memang pantas Kirana. Kamu selalu rajin dan berprestasi. Bapak yakin kamu akan sukses ke depannya. Ingat Kirana, kesempatan ini tidak datang dua kali. Kamu harus bekerja keras dan tetap rendah hati. Tantangan ke depannya akan semakin banyak, tapi bapak yakin kamu pasti bisa menghadapinya.”

Kirana tersenyum lebar namun matanya berkaca-kaca. “Terima kasih pak. Saya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Ini pasti jalan untuk saya bisa mandiri dan menabung untuk masa depan saya. ”

Kepala sekolah tersenyum bangga. “Bagus Nak…. Dan satu lagi, beasiswa ini dapat berlaku sampai kamu tamat S1 dengan syarat kamu dapat mempertahankan prestasimu. Bapak akan beri tahu detailnya nanti. Sekarang kamu kembali ke kelasmu. Jangan lupa… tetap semangat!!”

Sebelum Kirana keluar ruangan, kepala sekolah kembali menambahkan, “Oh iya Kirana… Kamu tahu kenapa kamu terpilih?"

Kita menggelengkan kepalanya. "Beberapa minggu lalu, perusahaan itu meminta kami merekomendasikan siswa yang berprestasi di sekolah ini. Wali kelasmu, Bu Ani, langsung mengajukan namamu. Dia bilang bahwa kamu tidak hanya pintar, tapi juga punya semangat juang yang tinggi. Kamu pantas mendapatkan ini," lanjut kepala sekolah.

Kirana terkejut dan matanya berkaca-kaca. “Bu Ani….? Terima kasih Pak. Saya tidak menyangka.”

Kepala sekolah kembali tersenyum. “Kamu memang spesial Kirana. Tapi jangan lupa ini hanya awal. Masih banyak tantangan yang harus kamu hadapi.”

Kirana tersenyum dan tekadnya semakin kuat. “Saya siap pak dan saya akan berusaha sebaik mungkin.”

“Kalau tidak ada yang kamu tanyakan lagi… silahkan kamu kembali ke ruang kelas Kirana. Tetap semangat ya…!” imbuh kepala sekolah sambil tersenyum.

Kirana mengangguk lalu bergegas keluar ruangan kepala sekolah. Hatinya dipenuhi kegembiraan dan tekad. “Ini adalah kesempatanku untuk meraih mimpi. Aku tidak akan menyerah. Terima kasih Tuhan. Ini pasti jawaban atas doa-doaku. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.”

 

Kirana kembali ke kelasnya untuk melanjutkan pelajarannya. Sesampai di kelas Kirana melirik Ririn yang duduk disampingnya sambil tersenyum lebar.

Ririn mengerutkan dahinya. “Kenapa senyummu begitu…? Seperti sedang bahagia sekali,” bisik Ririn pelan agar tidak terdengar guru yang sedang menerangkan pelajaran di depan kelas.

“Stttt… nanti aku beri tahu pas pulang sekolah. Pokoknya ada kabar bahagia,” bisik Kirana pula tanpa menoleh ke Ririn, karena takut tidak fokus sama pelajaran.

Ririn tersenyum penasaran tapi tetap memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut. “Pasti ada sesuatu yang besar,” pikirnya.

Bagaimana kisah selanjutnya? Ikuti pada bab berikutnya...

Episodes
1 Bab 1: Kirana dan Kehidupannya
2 Bab 2: Ujian Tak Terduga
3 Bab 3: Pertolongan Kakek Misterius
4 Bab 4: Kemarahan Bibi Tari
5 Bab 5: Kejutan
6 Bab 6: Latihan Perdana
7 Bab 7: Latihan Perdana 2
8 Bab 8: Beasiswa dan Pilihan
9 Bab 9: Kebahagiaan dan Cibiran
10 Bab 10: Liburan dan Latihan
11 Bab 11: Pagi Penuh Kejutan
12 Bab 12: Awal yang Baru
13 Bab 13: Jerat di Balik Senyum
14 Bab 14: Kecemburuan Susi
15 Bab 15: Perseteruan Susi dan Kirana
16 Bab 16: Pembalasan Kirana
17 Bab 17: Bantuan Daniel
18 Bab 18: Percobaan Pelecehan
19 Bab 19: Upaya Penyelamatan
20 Bab 20: Misi Penyelamatan
21 Bab 21: Trauma Susi
22 Bab 22: Kemarahan Orang Tua Susi
23 Bab 23: Trauma dan Konsekuensi
24 Bab 24: Usaha dan Harapan
25 Bab 25: Pertemuan
26 Bab 26: Terluka Parah
27 Bab 27: Pertolongan Pertama
28 Bab 28: Kirana Terpaksa Berbohong
29 Bab 29: Perkenalan
30 Bab 30: Flashback
31 Bab 31: Pemulihan
32 Bab 32: Menghubungi Tuan Nugroho
33 Bab 33: Penghianat
34 Bab 34: Rencana Pulang
35 Bab 35: Penjemputan
36 Bab 36: Tuan Nugroho dan Satria
37 Bab 37: Tuan Nugroho dan Satria 2
38 Bab 38: Pulang
39 Bab 39: Perubahan Rencana
40 Bab 40: Menuju Singapura
41 Bab 41: Rindu
42 Bab 42: Berobat
43 Bab 43: Telponan
44 Bab 44: Ungkapan Perasaan dan Pesan Perpisahan
45 Bab 45: Di Negeri Paman Sam
46 Bab 46: Malam Penuh Ketegangan
47 Bab 47: Penghianat Beraksi Lagi
48 Bab 48: Pengkhianatan yang Mematikan
49 Bab 49: Badai di Tengah Ketenangan
50 Bab 50: Kejanggalan di Balik Layar
51 Bab 51: Hukuman Awal
52 Bab 52: Jejak yang Menghilang
53 Bab 53: Ke Jakarta
54 Bab 54: Hari Kelulusan
55 Bab 55: Bertemu
56 Bab 56: Ungkapan Perasaan
57 Bab 57: Restu Kakek Sapto
58 Bab 58: Rencana Keberangkatan
59 Bab 59: Berangkat
60 Bab 60: Rindu
61 Bab 61: Pertemuan Tak Terduga
62 Bab 62: Konflik dengan Bagas
63 Bab 63: Persahabatan
64 Bab 64: Rencana Penculikan
65 Bab 65: Jalan-Jalan
66 Bab 66: Penculikan
67 Bab 67: Kepanikan di Mansion
68 Bab 68: Bantuan Jonathan
69 Bab 69: Belum Terlacak
70 Bab 70: Dalam Keterbatasan
71 Bab 71: Petunjuk
72 Bab 72: Tebusan
73 Bab 73: Upaya Penyelamatan
74 Bab 74: Tertembak
75 Bab 75: Dirawat
76 Bab 76: Khawatir
77 Bab 77: Motif Mulai Terungkap
78 Bab 78: Motif Sesungguhnya
79 Bab 79: Pengakuan
80 Bab 80: Kekhawatiran Arif
81 Bab 81: Pertemuan Kirana dan Arif
82 Bab 82: Dukungan Paman Budi
83 Bab 83: Ucapan Terima Kasih
84 Bab 84: Bisa Pulang
Episodes

Updated 84 Episodes

1
Bab 1: Kirana dan Kehidupannya
2
Bab 2: Ujian Tak Terduga
3
Bab 3: Pertolongan Kakek Misterius
4
Bab 4: Kemarahan Bibi Tari
5
Bab 5: Kejutan
6
Bab 6: Latihan Perdana
7
Bab 7: Latihan Perdana 2
8
Bab 8: Beasiswa dan Pilihan
9
Bab 9: Kebahagiaan dan Cibiran
10
Bab 10: Liburan dan Latihan
11
Bab 11: Pagi Penuh Kejutan
12
Bab 12: Awal yang Baru
13
Bab 13: Jerat di Balik Senyum
14
Bab 14: Kecemburuan Susi
15
Bab 15: Perseteruan Susi dan Kirana
16
Bab 16: Pembalasan Kirana
17
Bab 17: Bantuan Daniel
18
Bab 18: Percobaan Pelecehan
19
Bab 19: Upaya Penyelamatan
20
Bab 20: Misi Penyelamatan
21
Bab 21: Trauma Susi
22
Bab 22: Kemarahan Orang Tua Susi
23
Bab 23: Trauma dan Konsekuensi
24
Bab 24: Usaha dan Harapan
25
Bab 25: Pertemuan
26
Bab 26: Terluka Parah
27
Bab 27: Pertolongan Pertama
28
Bab 28: Kirana Terpaksa Berbohong
29
Bab 29: Perkenalan
30
Bab 30: Flashback
31
Bab 31: Pemulihan
32
Bab 32: Menghubungi Tuan Nugroho
33
Bab 33: Penghianat
34
Bab 34: Rencana Pulang
35
Bab 35: Penjemputan
36
Bab 36: Tuan Nugroho dan Satria
37
Bab 37: Tuan Nugroho dan Satria 2
38
Bab 38: Pulang
39
Bab 39: Perubahan Rencana
40
Bab 40: Menuju Singapura
41
Bab 41: Rindu
42
Bab 42: Berobat
43
Bab 43: Telponan
44
Bab 44: Ungkapan Perasaan dan Pesan Perpisahan
45
Bab 45: Di Negeri Paman Sam
46
Bab 46: Malam Penuh Ketegangan
47
Bab 47: Penghianat Beraksi Lagi
48
Bab 48: Pengkhianatan yang Mematikan
49
Bab 49: Badai di Tengah Ketenangan
50
Bab 50: Kejanggalan di Balik Layar
51
Bab 51: Hukuman Awal
52
Bab 52: Jejak yang Menghilang
53
Bab 53: Ke Jakarta
54
Bab 54: Hari Kelulusan
55
Bab 55: Bertemu
56
Bab 56: Ungkapan Perasaan
57
Bab 57: Restu Kakek Sapto
58
Bab 58: Rencana Keberangkatan
59
Bab 59: Berangkat
60
Bab 60: Rindu
61
Bab 61: Pertemuan Tak Terduga
62
Bab 62: Konflik dengan Bagas
63
Bab 63: Persahabatan
64
Bab 64: Rencana Penculikan
65
Bab 65: Jalan-Jalan
66
Bab 66: Penculikan
67
Bab 67: Kepanikan di Mansion
68
Bab 68: Bantuan Jonathan
69
Bab 69: Belum Terlacak
70
Bab 70: Dalam Keterbatasan
71
Bab 71: Petunjuk
72
Bab 72: Tebusan
73
Bab 73: Upaya Penyelamatan
74
Bab 74: Tertembak
75
Bab 75: Dirawat
76
Bab 76: Khawatir
77
Bab 77: Motif Mulai Terungkap
78
Bab 78: Motif Sesungguhnya
79
Bab 79: Pengakuan
80
Bab 80: Kekhawatiran Arif
81
Bab 81: Pertemuan Kirana dan Arif
82
Bab 82: Dukungan Paman Budi
83
Bab 83: Ucapan Terima Kasih
84
Bab 84: Bisa Pulang

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!