Bab 2: Ujian Tak Terduga

Setiap pagi Kirana selalu bangun sebelum matahari terbit. Desa Sekawan yang masih dilingkupi udara dingin selalu menyambutnya saat dia mulai menyiapkan sarapan. Tangannya yang selalu cekatan memotong sayuran dan menyiapkan berbagai macam bumbu. Kirana juga mengeluarkan ikan gurami dari dalam kulkas. Hari ini dia berencana memasak pepes ikan gurami dan tumis kangkung sambal terasi. Dia juga menyiapkan tahu dan tempe yang akan digorengnya. Biasanya hanya tahu dan tempe goreng yang tersisa untuknya, sedangkan keluarga yang lainnya makan makanan yang lain. Padahal dia yang memasak, entah mengapa dia hanya mendapatkan makanan ala kadarnya. Sebenci itukah Bibi Tari kepada dirinya? Pikirannya melayang sambil membungkus pepes yang sedang dibuatnya.

Harum aroma masakan memenuhi rumah. Kirana dengan sigap segera mempersiapkan meja makan dan meletakkan masakan yang telah selesai dibuatnya di meja makan. Dia juga menyiapkan air minum bagi anggota keluarga itu. Ia memastikan semua siap sebelum anggota keluarga lain duduk untuk menikmati sarapan yang dia buat. 

Setelah selesai menyiapkan sarapan di meja makan, Kirana lanjut membereskan rumah dan merendam pakaian kotor yang nanti sore akan dicucinya. Setelah selesai membereskan rumah dan menyiapkan sarapan di meja makan, Kirana bergegas mandi dan bersiap ke sekolah. Ia mengenakan seragam SMP-nya yang sederhana dan rambut panjangnya dikepang dua yang diikat dengan rapi. 

Di meja makan, Bibi Tari, Paman Budi, Rara dan Arif sudah selesai sarapan dan hanya meninggalkan beberapa lauk saja. Hanya tahu, tempe dan tumis kangkung yang tersisa. Tidak ada pepes gurami yang dia buat dengan susah payah. Kirana keluar kamar dan melihat itu, hanya bisa mengelus dadanya. Kirana menatap meja makan itu lama, dadanya sesak, tapi dia menelan kesedihannya dalam hati.

“Sabar… Sabar…’” hanya itu yang ada di hatinya.

Tanpa banyak bicara, karena Kirana tidak ingin telat sekolah, Kirana tidak sarapan di rumah. Dia membungkus sarapannya dengan kertas minyak dan memasukkannya ke dalam tas. Kirana berharap nanti sampai di sekolah dia bisa memakan sarapannya. Kalau tidak dia akan memakan sarapannya pas jam istirahat. Kemudian dengan tas yang sudah dipenuhi buku, Kirana hendak melangkah keluar rumah, namun suara Bibi Tari menghentikannya.

“Kirana!” suara tajam Bibi Tari menghentikan langkah Kirana.

Kirana berbalik, “Iya Bi… ada apa Bi?”

“Kamu sudah cuci piring? Jangan kira kamu bisa kabur setelah mengambil makanan,” hardik Bibi Tari seraya memandang tajam Kirana.

Kirana mengangguk. “ Sudah Bi… Semua sudah bersih Bi.”

Bibi Tari melipat tangannya di dada. “Nanti sore jangan lupa mencuci dan menjemur pakaian. Ingat jangan sampai kamu main sampai sore. Jangan hanya tahu makan dan sekolah saja!”

Kirana menunduk, menahan air mata yang menggenang di sudut matanya.  “Iya Bi…”

Tanpa menunggu lebih lama, Kirana segera keluar dari rumahnya dan hendak berjalan kami menuju sekolah yang berjarak kurang lebih satu kilometer dari rumahnya. Di halaman rumah, Kirana melihat Paman Budi akan mengantar kakaknya menggunakan motor di SMA yang juga ada di sebelah desanya. Sedangkan adik sepupunya Arif, berangkat ke sekolah dibonceng oleh temannya menggunakan sepeda. Arif sekarang ada di kelas VIII di SMP yang sama dengan Kirana.

Ia menarik napas panjang dan mulai melangkah. Jarak sekolah dengan rumahnya memang hanya satu kilometer, namun pagi yang dingin dan perut yang kosong membuat perjalanan tersebut terasa lebih berat dari biasanya. Kirana melangkah dengan pelan, namun dengan tekad yang kuat. Hari ini sama seperti hari-hari sebelumnya. Ia akan menghadapi semuanya dengan sabar dan senyum yang selalu berusaha dia pertahankan. Di sekolah nanti, mungkin akan terasa lebih ringan. Setidaknya di sana dia tidak sendiri. Ada sahabatnya yang selalu menemani dan menghiburnya. Sahabatnya bernama Ririn, satu kelas dengan dirinya. Ririn anak dari keluarga sederhana, namun dia masih memiliki ayah dan ibu. Kadang-kadang Kirana main ke rumah Ririn, dan di sinilah dia seperti mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya, karena ayah dan ibu Ririn sangat sayang sama Kirana. Hal ini karena Kirana anak yang rajin, baik hati dan pintar.

Di sekolah, Kirana dikenal sebagai siswa yang pintar dan cantik, namun tetap rendah hati. Para guru dan teman-temannya sering memujinya, bahkan teman-temannya menghormatinya. Namun demikian Kirana tidak pernah menyombongkan dirinya, hal ini karena kehidupannya yang tidak lebih baik dari teman-temannya yang lain.

Setelah aktivitas sekolah yang dijalaninya dan bel pulang sekolah telah berbunyi, Kirana dan sahabatnya, Ririn, berjalan pulang bersama. Mereka berjalan beriringan, saling bercanda, tertawa, dan bercerita tentang pelajaran hari ini, menikmati kebersamaan mereka.

Namun ketenangan mereka tiba-tiba terganggu dengan kedatangan gerombolan anak SMA yang menghadang mereka di tengah jalan. Mereka ternyata adalah teman-teman Rara, kakak sepupu Kirana. Dan Rara sendiri ternyata ada di antara mereka, dan tersenyum sinis melihat keberadaan Kirana di sana.

“Hei Kirana… cepat pulang…! Ingat cuci pakaian kotorku! Jangan mencoba menggoda teman-temanku,” suara Rara terdengan tajam dan penuh hinaan.

“Ooooo… ini babu di rumahmu itu ya Ra….? Cantik juga…,” kata salah satu teman Rara.

Kirana menahan napasnya dan mencoba tetap tenang. Ririn yang ada di sampingnya, meremas tangan Kirana untuk memberi dukungan kepada Kirana walaupun tanpa kata-kata. 

“Jangan pedulikan mereka, Kirana… Ayo kita cepat jalan pulang,” bisik Ririn.

Tapi Rara tidak membiarkan Kirana dan Ririn pergi. “Tunggu dulu… Ingat kamu cuma babu di rumahku… Masih untung keluargaku masih memberimu makan… Cepat pulang dan kerjakan pekerjaanmu di rumah!”

Gerombolan teman Rara tertawa dan menikmati hinaan Rara kepada Kirana. Kirana menggigit bibirnya, menahan emosi yang mulai bergolak di dadanya. Matanya sudah berkaca-kaca menatap Rara dan teman-temannya, namun berusaha keras untuk tidak menangis. 

“Ayo Rin, kita pulang,” kata Kirana pada akhirnya dengan suara bergetar dan mencoba untuk tetap tenang.

Ketika Kirana dan Ririn hendak melangkah, tiba-tiba salah satu anak cowok yang tampaknya paling berkuasa di antara mereka, menghalangi jalan Kirana dan Ririn. “Mau kabur kemana cantik…? Temani kita jalan yuk…,” kata anak itu yang bernama Anto dengan nada mengejek dan tersenyum sinis.

Kirana menatap tajam Anto dan berkata dengan suara tenang namun tegas, “Aku tidak ada urusan dengan kakak. Tolong minggir.”

Anto terkekeh, “Sok berani sekali kamu. Tapi galak-galak begini tetap cantik. SMP saja sudah cantik seperti ini, gimana nanti kalo sudah SMA ya? Pasti tambah cantik… ha… ha…ha…. Ayo temani kami sebentar, nanti kami kasih uang buat beli skincare biar wajahmu makin tambah cantik nanti…. ha… ha… ha…” Anto berkata sambil tersenyum penuh arti sambil mendekati Kirana yang semakin membuat Kirana tidak nyaman.

Kirana dan Ririn berusaha menghindar. Namun gerombolan cowok yang dipimpin Anto mengelilinginya. Ririn memegang erat tangan Kirana dan wajahnya penuh dengan ketakutan.

“Kak Rara, tolong Kirana…,” Kirana memohon kepada Rara untuk membantunya, namun Rara hanya tertawa.

“Nikmati saja Kirana… Mereka cuma bercanda,” kata Rara sambil melipat kedua tangannya di dada dan Rara sepertinya menikmati situasi ini.

Salah satu cowok SMA itu mencoba menyentuh rambut Kirana. “Ayo dong, kita cuma mau kenalan. Jangan jutek seperti itu.” 

Kirana dan Ririn berusaha melepaskan diri dari kepungan gerombolan anak SMA itu, namun apa daya tenaga dan jumlah mereka kalah jauh dan sungguh kebetulan lagi, jalanan lagi sepi dan tidak ada yang bisa membantu mereka. 

Beberapa cowok itu mulai menarik mereka dan menaikan Kirana dan Ririn ke atas motor mereka. Mereka berniat membawa Kirana dan Ririn ke arah tepian danau yang sepi dan jauh dari keramaian. Kirana dan Ririn berusaha berteriak minta tolong, namun tidak ada yang mendengar teriakan mereka.

“Tolong… tolong… tolong kami…. Jangan bawa kami kak…” Kirana dan Ririn menangis dan berusaha memukul cowok yang membonceng dan memegangi mereka. Namun tenaga mereka kalah jauh dari gerombolan itu.

Sementara itu, Rara dan teman-teman ceweknya bergegas pulang dan tidak peduli dengan keadaan Kirana dan Ririn. “Biarkan saja mereka dinikmati oleh teman-temanku,” batin Rara seraya tersenyum jahat.

Di atas motor,  Kirana dan Ririn terus berusaha melawan walaupun tenaga mereka terkuras habis. Hati Kirana dan Ririn dipenuhi ketakutan dan keputusasaan. “Hiks… siapa yang akan bisa menolong kami?” jerit hati Kirana. “Tuhan mohon selamatkan kami…” doa Kirana di dalam hatinya.

Kirana dan Ririn tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, namun mereka tetap berdoa semoga ada yang menyelamatkan mereka. Namun satu hal yang Kirana tahu, ia harus tetap kuat untuk dirinya dan Ririn.

Bagaimana kisah selanjutnya...? Ikuti bab selanjutnya...

Episodes
1 Bab 1: Kirana dan Kehidupannya
2 Bab 2: Ujian Tak Terduga
3 Bab 3: Pertolongan Kakek Misterius
4 Bab 4: Kemarahan Bibi Tari
5 Bab 5: Kejutan
6 Bab 6: Latihan Perdana
7 Bab 7: Latihan Perdana 2
8 Bab 8: Beasiswa dan Pilihan
9 Bab 9: Kebahagiaan dan Cibiran
10 Bab 10: Liburan dan Latihan
11 Bab 11: Pagi Penuh Kejutan
12 Bab 12: Awal yang Baru
13 Bab 13: Jerat di Balik Senyum
14 Bab 14: Kecemburuan Susi
15 Bab 15: Perseteruan Susi dan Kirana
16 Bab 16: Pembalasan Kirana
17 Bab 17: Bantuan Daniel
18 Bab 18: Percobaan Pelecehan
19 Bab 19: Upaya Penyelamatan
20 Bab 20: Misi Penyelamatan
21 Bab 21: Trauma Susi
22 Bab 22: Kemarahan Orang Tua Susi
23 Bab 23: Trauma dan Konsekuensi
24 Bab 24: Usaha dan Harapan
25 Bab 25: Pertemuan
26 Bab 26: Terluka Parah
27 Bab 27: Pertolongan Pertama
28 Bab 28: Kirana Terpaksa Berbohong
29 Bab 29: Perkenalan
30 Bab 30: Flashback
31 Bab 31: Pemulihan
32 Bab 32: Menghubungi Tuan Nugroho
33 Bab 33: Penghianat
34 Bab 34: Rencana Pulang
35 Bab 35: Penjemputan
36 Bab 36: Tuan Nugroho dan Satria
37 Bab 37: Tuan Nugroho dan Satria 2
38 Bab 38: Pulang
39 Bab 39: Perubahan Rencana
40 Bab 40: Menuju Singapura
41 Bab 41: Rindu
42 Bab 42: Berobat
43 Bab 43: Telponan
44 Bab 44: Ungkapan Perasaan dan Pesan Perpisahan
45 Bab 45: Di Negeri Paman Sam
46 Bab 46: Malam Penuh Ketegangan
47 Bab 47: Penghianat Beraksi Lagi
48 Bab 48: Pengkhianatan yang Mematikan
49 Bab 49: Badai di Tengah Ketenangan
50 Bab 50: Kejanggalan di Balik Layar
51 Bab 51: Hukuman Awal
52 Bab 52: Jejak yang Menghilang
53 Bab 53: Ke Jakarta
54 Bab 54: Hari Kelulusan
55 Bab 55: Bertemu
56 Bab 56: Ungkapan Perasaan
57 Bab 57: Restu Kakek Sapto
58 Bab 58: Rencana Keberangkatan
59 Bab 59: Berangkat
60 Bab 60: Rindu
61 Bab 61: Pertemuan Tak Terduga
62 Bab 62: Konflik dengan Bagas
63 Bab 63: Persahabatan
64 Bab 64: Rencana Penculikan
65 Bab 65: Jalan-Jalan
66 Bab 66: Penculikan
67 Bab 67: Kepanikan di Mansion
68 Bab 68: Bantuan Jonathan
69 Bab 69: Belum Terlacak
70 Bab 70: Dalam Keterbatasan
71 Bab 71: Petunjuk
72 Bab 72: Tebusan
73 Bab 73: Upaya Penyelamatan
74 Bab 74: Tertembak
75 Bab 75: Dirawat
76 Bab 76: Khawatir
77 Bab 77: Motif Mulai Terungkap
78 Bab 78: Motif Sesungguhnya
79 Bab 79: Pengakuan
80 Bab 80: Kekhawatiran Arif
81 Bab 81: Pertemuan Kirana dan Arif
82 Bab 82: Dukungan Paman Budi
83 Bab 83: Ucapan Terima Kasih
84 Bab 84: Bisa Pulang
Episodes

Updated 84 Episodes

1
Bab 1: Kirana dan Kehidupannya
2
Bab 2: Ujian Tak Terduga
3
Bab 3: Pertolongan Kakek Misterius
4
Bab 4: Kemarahan Bibi Tari
5
Bab 5: Kejutan
6
Bab 6: Latihan Perdana
7
Bab 7: Latihan Perdana 2
8
Bab 8: Beasiswa dan Pilihan
9
Bab 9: Kebahagiaan dan Cibiran
10
Bab 10: Liburan dan Latihan
11
Bab 11: Pagi Penuh Kejutan
12
Bab 12: Awal yang Baru
13
Bab 13: Jerat di Balik Senyum
14
Bab 14: Kecemburuan Susi
15
Bab 15: Perseteruan Susi dan Kirana
16
Bab 16: Pembalasan Kirana
17
Bab 17: Bantuan Daniel
18
Bab 18: Percobaan Pelecehan
19
Bab 19: Upaya Penyelamatan
20
Bab 20: Misi Penyelamatan
21
Bab 21: Trauma Susi
22
Bab 22: Kemarahan Orang Tua Susi
23
Bab 23: Trauma dan Konsekuensi
24
Bab 24: Usaha dan Harapan
25
Bab 25: Pertemuan
26
Bab 26: Terluka Parah
27
Bab 27: Pertolongan Pertama
28
Bab 28: Kirana Terpaksa Berbohong
29
Bab 29: Perkenalan
30
Bab 30: Flashback
31
Bab 31: Pemulihan
32
Bab 32: Menghubungi Tuan Nugroho
33
Bab 33: Penghianat
34
Bab 34: Rencana Pulang
35
Bab 35: Penjemputan
36
Bab 36: Tuan Nugroho dan Satria
37
Bab 37: Tuan Nugroho dan Satria 2
38
Bab 38: Pulang
39
Bab 39: Perubahan Rencana
40
Bab 40: Menuju Singapura
41
Bab 41: Rindu
42
Bab 42: Berobat
43
Bab 43: Telponan
44
Bab 44: Ungkapan Perasaan dan Pesan Perpisahan
45
Bab 45: Di Negeri Paman Sam
46
Bab 46: Malam Penuh Ketegangan
47
Bab 47: Penghianat Beraksi Lagi
48
Bab 48: Pengkhianatan yang Mematikan
49
Bab 49: Badai di Tengah Ketenangan
50
Bab 50: Kejanggalan di Balik Layar
51
Bab 51: Hukuman Awal
52
Bab 52: Jejak yang Menghilang
53
Bab 53: Ke Jakarta
54
Bab 54: Hari Kelulusan
55
Bab 55: Bertemu
56
Bab 56: Ungkapan Perasaan
57
Bab 57: Restu Kakek Sapto
58
Bab 58: Rencana Keberangkatan
59
Bab 59: Berangkat
60
Bab 60: Rindu
61
Bab 61: Pertemuan Tak Terduga
62
Bab 62: Konflik dengan Bagas
63
Bab 63: Persahabatan
64
Bab 64: Rencana Penculikan
65
Bab 65: Jalan-Jalan
66
Bab 66: Penculikan
67
Bab 67: Kepanikan di Mansion
68
Bab 68: Bantuan Jonathan
69
Bab 69: Belum Terlacak
70
Bab 70: Dalam Keterbatasan
71
Bab 71: Petunjuk
72
Bab 72: Tebusan
73
Bab 73: Upaya Penyelamatan
74
Bab 74: Tertembak
75
Bab 75: Dirawat
76
Bab 76: Khawatir
77
Bab 77: Motif Mulai Terungkap
78
Bab 78: Motif Sesungguhnya
79
Bab 79: Pengakuan
80
Bab 80: Kekhawatiran Arif
81
Bab 81: Pertemuan Kirana dan Arif
82
Bab 82: Dukungan Paman Budi
83
Bab 83: Ucapan Terima Kasih
84
Bab 84: Bisa Pulang

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!