Samuel merebahkan dirinya di atas tempat tidur dengan pikiran melayang. Pertanyaan kenapa dia marah pada Jessika, masih menggantung di udara.
"Kenapa gue merasa konyol begini cuma gara-gara cewek nggak jelas?"gumamnya pada diri sendiri. "Gue cuma hutang nyawa sama Janu, tapi kenapa malah mempertaruhkan nyawa buat adiknya, yang bahkan nggak tahu kalau dia punya jin? Dua pula!"
Tok! Tok! Tok!
Samuel bangkit dari tidurnya ketika mendengar suara ketukan pintu kamar.
"Tuan Sam, Tuan Bastian sudah tiba!" seru suara seorang perempuan dari balik pintu.
Tanpa sadar Samuel menahan nafasnya untuk beberapa detik saat mendengar nama itu disebut.
"Nona Serena sudah bergabung di ruang tamu."
"Hhhh," Samuel menyibak rambutnya ke belakang. Dia sudah merasa sangat lelah begitu mendengar nama kedua kakak kembarnya. "Ya, saya turun sekarang," jawab Samuel.
Dia hanya butuh waktu semenit untuk mengganti bajunya, lalu bergabung dengan kakak-kakaknya di ruang tamu. Laki-laki itu harus mengganti bajunya dengan kemeja, setiap kali kakaknya pulang.
Sesampainya di ruang tamu, Samuel melihat kedua kakak kembarnya tengah duduk dan menikmati secangkir kopi. Serena lebih diam dari biasanya. Dia tampaknya tidak berniat untuk memulai konflik dengan Samuel kali ini.
"Malam, Kak!" sapa Samuel, sekaligus mengumumkan kehadirannya.
Kakak laki-lakinya mengangkat wajah, membalas pandangan Samuel. "Duduklah!" jawab Sebastian.
Samuel menuruti perkataannya dengan langkah sedikit canggung. Walaupun sebenarnya dia tinggal lebih lama di rumah itu ketimbang Sebastian, tidak tahu kenapa, setiap Sebastian pulang dari USA, Samuel malah merasa menjadi tamu.
"Aku dengar, kamu masuk jurusan Bahasa?"
'Serius? Dari segala topik, orang ini malah mempermasalahkan jurusan gue?' rutuk Samuel di dalam hati. "Iya," itu yang keluar dari mulutnya.
"Kenapa?"
"Karena aku sudah mahir dalam bidang IPA dan IPS," jawab Samuel asal.
Sebastian membiarkan jawaban itu menggantung memenuhi udara ruang tamu. Terasa sesak untuk Samuel, bahkan untuk Serena yang pura-pura sibuk dengan handphone-nya.
Suara dentang dari jam kuno koleksi ayah mereka membuat suasana terasa tidak menyenangkan. Samuel memilih untuk diam saja, menunggu hingga Sebastian sendiri yang membuka mulutnya.
Trak!
Sebastian akhirnya menaruh cangkir kopinya kembali ke atas meja. Dia melirik arlojinya, entah untuk apa.
"Siapa perempuan itu?"
Deg!
Samuel tidak langsung menjawab. Remaja itu kaget karena Sebastian menyelidiki urusannya hingga sejauh itu. "Cuma teman," jawab Samuel.
Sebastian tersenyum miring--sebuah senyuman yang sangat mirip dengan senyum dirinya sendiri. "Tidak mungkin," tandas Sebastian tampak yakin. "Apa kamu mendektinya karena dia dalam bahaya?"
'Tepat sasaran!' Samuel menghela nafas. 'Kalau udah tahu, ngapain lo nanya?'
"Ternyata kamu tidak belajar dari pengalaman, ya?" Sebastian menyandarkan tubuhnya di punggung sofa. "Seberapapun kamu berusaha, kalau takdir berkata dia harus mati, usahamu tidak akan berguna. Apa kejadian Mirah tidak membuatmu belajar?"
Gigi Samuel menggeretak. Luapan emosi membuncah dari dadanya. Ada rasa sedih dan marah bercampur menjadi satu.
"Kamu diberi keistimewaan, bukan berarti kamu menjadi super hero."
"Mirah bisa saja selamat!" seru Samuel.
Serena kaget mendengar adiknya tiba-tiba berteriak, hingga ia duduk tegak. Pandangannya beralih dari Samuel ke Sebastian yang tetap tenang.
"Kalau waktu itu aku tidak datang, kamu juga akan mati," jawab Sebastian dengan mata terpicing.
"Kalau waktu itu Kakak nggak cuma mementingkan nyawaku, Mirah bisa saja selamat! Kakak diberi keistimewaan untuk bisa menolong orang!"
Sebastian diam sejenak. Matanya berkilat. Raut wajahnya sangat mirip dengan Samuel, meski Serena adalah kembarannya. "Aku memastikan yang hidup tetap hidup," Sebastian berkata dengan nada datar dan suara rendah, membuat Samuel merasa terintimidasi.
"Mmm, gimana kalau kita makan malam?" Serena mencoba mencairkan suasana.
Samuel bangun dari duduknya. Dadanya terasa sesak karena amarah. "Kalian saja. Aku mau cari angin," jawabnya dan langsung berlalu ke luar rumah.
"Dengan temperamenmu itu, kamu bisa terbunuh kapan saja!" sambar Sebastian sebelum pintu rumah tertutup.
***
"Kenapa kamu begitu sama adik sendiri?" tanya Serena, waktu dia dan kembarannya yang hanya selisih lima menit, duduk di meja makan.
Makanan telah terhidang di atas meja berukuran 5x2. Meja yang sebenarnya terlalu besar, bahkan untuk mereka bertiga. Aroma ayam panggang menguar memenuhi ruangan, membuat siapapun yang mencium wanginya menjadi kelaparan.
"Aku cuma khawatir sama Sam," Sebastian mengambil sesendok nasi ke atas piringnya. "Sudah lama aku tidak makan nasi. USA hanya punya roti."
"Dan kamu buat makan malam kita berantakan," gerutu Serena.
"Aku tidak bisa seperti kamu. Tidak mungkin aku bilang sama Sam kalau aku kangen sama dia."
"Kamu tahu? Dia menyebutku berlebihan karena menempatkan bodyguard di sekelilingnya. Padahal itu ulah kamu!"
"Dia tidak akan terima kalau tahu semua itu dariku." Sebastian mengambil sepotong daging ayam panggang di depannya. "Setidaknya, orang-orang itu memang dibayar untuk terluka. Samuel bisa mengulur waktu untuk menyelamatkan diri kalau ada apa-apa."
"Harusnya kamu ajarkan saja cara untuk membela diri," usul Serena.
"Aku yang akan melindungi keluarga kita."
"Tapi kamu jauh di USA?" sindir wanita berparas ayu itu.
Sebastian mengunyah makanan di mulutnya perlahan, menikmati setiap rasa yang meleleh di lidahnya. "Aku akan selesaikan semua pekerjaan ayah secepatnya dan kembali ke sini."
Serena tidak langsung menjawab. Dia memilih menghabiskan tiga sendok makan terlebih dahulu.
"Bas, kecelakaan orangtua kita, bukan salah kamu," Serena berkata dengan perlahan. "Sudah dua tahun. Abu Papa dan Mama bahkan sudah menyatu dengan laut. Apa kamu masih berat untuk pulang?"
Mulut Sebastian penuh dengan makanan. Tampak jelas tidak mau menimpali perkataan Serena.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments