13. Foto

Mata gadis remaja itu terpancang pada seorang perempuan berambut bob dengan kulit seputih salju, persis karakter Snow White--minus gaun putrinya. Perempuan di hadapannya berusia kira-kira beberapa tahun lebih tua. Dia tersenyum saat Jessika hanya menatapnya lurus-lurus.

"Oh! Lo cewek yang Samuel selamatkan kemarin, ya?"

Glek!

Jessika menelan ludah dengan susah payah. Tenggorokannya terasa kering, mendengar kenyataan itu dari orang lain. Kemarin, Jessika masih merasa sebal pada laki-laki yang duduk di belakangnya itu. Namun, kali ini, dia malah berhutang nyawa padanya.

"Maaf, siapa, ya?" tanya Jessika.

"Kenalin!" perempuan itu mengulurkan tangannya. Kuku tangannya tampak cantik dengan nail gell berwarna merah muda berkilau. "Gue kakak pertamanya Samuel--Serena!"

Jessika buru-buru menyambut uluran tangan Serena, meski terasa canggung. "Saya Jessika," balasnya dengan suara pelan.

"Wow!" Serena tiba-tiba menarik tangannya saat jari mereka bersentuhan. Sekilas, Jessika juga dapat merasakan jarinya seperti tersengat listrik. Serena tersenyum, namun matanya nampak waspada. "Kayaknya kita nggak begitu cocok, ya?"

Jessika tidak bisa menjawab. Dia tidak begitu mengerti dengan apa yang Serena maksud. Namun, dia juga tidak membantah atau mencari alasan. Gadis itu hanya ingin menengok Samuel, berterima kasih, lalu pergi dari sana. Tidak lebih dari itu. Jadi, beramah-tamah dengan keluarga Samuel hanyalah ekstra dalam jadwalnya.

"Lo mau nengokin Samuel?"

Jessika mengangguk saja. Jujur, dia merasa terintimidasi dengan sosok Serena. Walaupun tampak seperti seorang yang lembut, sorot matanya sama persis dengan milik Samuel. Menakutkan.

"Nggak boleh lama-lama," sahut Serena, sambil melewati Jessika. Wangi hutan yang segar langsung memenuhi rongga paru Jessika--wangi yang sama dengan milik Samuel. "Syukurlah lo ke sini. Gue sebenarnya sudah berpikiran buruk. Gue kira, lo orang yang nggak tahu terima kasih."

'Tahan, Jess... Tahaaaannnn!'

Dua orang berjas hitam langsung membukakan pintu begitu Serena berjalan mendekat. Dengan wajah tanpa ekspresi, mereka memandang Jessika dari ujung kepala, hingga ujung kaki.

"Tenang aja. Yang begini bukan lawan kalian. Bisa-bisa, kalian yang mati duluan," ujar Serena sambil cekikikan.

Alis Jessika berkerut. Dia mulai berpikir kalau Serena tidak waras, sama seperti adiknya yang suka mencari masalah dengannya. Mana mungkin Jessika bisa menang melawan dua orang laki-laki dewasa bertubuh kekar? Tapi, perkataan Serena seolah-olah dia yang akan menang.

"Bro! Gue datang!"

Samuel yang sedang duduk santai di atas sofa sambil melihat beberapa lembar foto, tidak menoleh sama sekali mendengar ucapan kakaknya. Matanya tidak teralihkan. Alisnya berkerut. Tampak sedang fokus.

"Bro!"

"Diem, lo!" hanya itu yang keluar dari dalam mulutnya.

Serena mendengus sambil berkacak pinggang. Dia mengedikkan dagunya pada Jessika, seakan memberi izin padanya untuk mendekati Samuel.

Jessika merasa agak ragu saat melangkah mendekati laki-laki jangkung yang tempo hari menyelamatkan nyawanya. Pasalnya, dua orang berwajah seram lainnya, berdiri di belakang sofa. Tubuh mereka kekar dibalut kemeja putih. Jika bukan di rumah sakit, Jessika pasti salah mengira sudah masuk ke dalam rumah preman.

Tanpa suara, Jessika berdiri tidak jauh dari Samuel. Sejenak, dia memperhatikan air muka laki-laki itu. Perban membalut kepala bagian belakangnya. Tangannya dibalut dengan hanya menyisakan sedikit jari-jari di ujungnya. Wajah laki-laki itu babak belur, namun masih lebih baik ketimbang kemarin.

"Hmm, lo wangi banget? Pake parfum ap-" Samuel membelalak ketika dia mengangkat wajahnya. Bukannya melihat Serena, dia malah melihat Jessika. "Lo--ngapain--" Samuel segera merapikan foto-foto yang berserakan di atas maja dan sofa. "--kapan?" Dia panik setengah mati.

"Itu... Foto gue?"

"Bukan!" Samuel menjejalkan foto-foto itu ke bawah sofa. "Bukan lo!"

Jessika mendekat. "Lo diam-diam foto gue?"

"Bukan!" jawaban cepat dari Samuel malah membuatnya semakin mencurigakan. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. "Maksud gue... iya," dia menjadi ragu.

Jessika merinding. Dia tidak menyangka bahwa teman sekelasnya adalah orang mesum. "Gue nggak punya minat sama lo!" tegas Jessika.

"Jangan salah paham!" sahut Samuel.

"Kayaknya kalian perlu waktu untuk bicara," potong Serena. "Tapi, apa nggak bahaya kalau gue tinggal?"

Samuel mengangguk. "Gue bukan musuh mereka. Jadi, mereka nggak akan berbuat apa-apa ke gue."

"Well, kalau lo yakin. Tapi, mereka berdua harus tetap di sini. Setidaknya, lo punya tameng kalau ada apa-apa. Dan mereka memang dibayar untuk itu," kata Serena sembari menunjuk dua orang di belakang Samuel.

Setelah Serena pergi dan pintu di belakangnya menutup, Samuel menghela nafas panjang. Wajahnya tampak pucat. Baru beberapa menit dia bertemu Jessika, laki-laki itu sudah terlihat lelah.

Sebenarnya, Jessika merasa takut berada di sana sendirian. Dengan kenyataan bahwa Samuel memiliki banyak foto dirinya, bisa saja laki-laki itu berniat jahat padanya. Sambil berdoa, dia berharap Jimmy akan mencarinya jika dia tidak memberi kabar dalam satu atau dua jam kemudian.

"Lo tahu, kan, kalau gue kenal sama kakak lo?" Samuel memulai ceritanya dengan hati-hati.

"Janu?" Jessika memastikan.

Samuel mengangguk sekali. "Dia teman yang baik. Gue ketemu Janu waktu libur kenaikan kelas tiga tahun lalu."

'Jadi, mereka sudah saling kenal selama itu?' batin Jessika.

"Gue hutang nyawa sama Janu."

Mata Jessika memicing. "Hutang nyawa?"

Samuel mengangguk lagi. "Waktu itu, gue nggak kenal medan di gunung itu. Lalu, gue nggak sengaja terpeleset dan hampir masuk jurang. Di saat itu, Janu muncul."

"Hah? Ada cerita kayak begitu?"

"Lo bisa konfirmasi sendiri ke Janu," timpal Samuel.

Jessika tidak langsung menjawab. Gadis itu meneliti setiap kata yang keluar dari mulut Samuel. "Lalu?" Jessika memutuskan untuk mendengar kelanjutan cerita Samuel.

Mata Samuel menatap Jessika lurus-lurus, memastikan bahwa dia tengah berkata jujur dan serius saat ini. "Lalu liburan kemarin, gue lihat lo."

"Waktu lo pertama kali ngajak gue berantem," Jessika menegaskan.

Samuel menggeleng. "Gue berkata jujur."

"Mata gue emang begini sejak lahir!" sengit remaja belia berambut panjang itu.

"Apa lo nggak ngerti maksud gue?" tanya Samuel dengan alis berkerut.

"Coba jelaskan apa yang lo maksud?"

Samuel diam. Melihat Jessika yang juga terdiam, dia memperkirakan kalau ada kesalahpahaman di antara mereka. "Lo melihara jin, kan?"

"Hah?"

Kening Samuel makin berkerut, persis kakek-kakek lanjut usia. "Jin itu! Sepasang!" jawab Samuel sambil menunjuk ke arah belakang Jessika.

Jessika berbalik. Hanya ruangan kosong yang ada di belakangnya. Dia mendongak ke atas, memperhatikan langit-langit kamar rumah sakit untuk beberapa detik. "Mana?"

"Jadi, lo nggak bisa lihat apa yang lo bawa?"

"Lo jangan ngomong berputar-putar, deh! Lama-lama gue sebel sendiri!" Jessika menyilangkan tangan di depan dadanya.

Samuel menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia sendiri tampak bingung. "Tunggu, tunggu... Ini gue jelasinnya dari mana, ya?" tanyanya pada diri sendiri. "Oke, kita runut aja kalau begini," putusnya. "Lo nggak tahu kalau ada sepasang jin yang nempel sama lo?"

Jessika menggeleng.

"Mmm, sejak kapan kira-kira ada yang aneh di hidup lo?"

Mulut Jessika sudah terbuka untuk menjawab, tetapi dia mengurungkan niatnya. Otaknya berpikir sekali lagi untuk menata apa yang belakangan ini terjadi. "Ah, makhluk-makhluk kerdil itu," gumamnya, hampir tidak bisa didengar Samuel.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!