"Aku sudah mendengar banyak alasan darimu! Kamu memang tidak pernah becus menangani hal ini!"
"Aku perlu waktu, Ma!"
"HAHAHAHAHAHA!" tawa itu melengking, memenuhi seluruh ruangan. Wanita paruh baya bertubuh molek itu duduk di sebuah sofa berwarna merah darah. Matanya mendelik marah. "Percuma aku mewariskan semuanya padamu, kalau kamu tidak bisa diandalkan seperti ini!"
"Tidak mungkin aku langsung membunuhnya!"
"KENAPA!?" jeritnya, membuat telinga lawan bicaranya berdenging. "AKU BISA MEMBUNUHNYA SEKARANG JUGA! JALANG SIALAN ITU!"
"Kalau Mama menggunakan kekuatan Mama lagi, nyawa Mama akan melayang!"
Wanita itu tidak menjawab. Nafasnya memburu, niat membunuhnya tampak jelas di wajah cantiknya. Detik demi detik berlalu. Ketegangan berangsur memudar di antara mereka.
"Aku mohon, Ma... Aku melakukan semua ini untuk Mama. Aku sayang sama Mama."
Tanpa menjawab perkataan dari anaknya, wanita bergaun hitam itu langsung berdiri dan pergi dari ruangan tengah rumah mewahnya.
***
"Akh!"
Tangan Jessika reflek terangkat ketika merasakan denyutan menyakitkan di kepala bagian belakang.
"Jess!"
"Astaga, Jess?"
Gadis itu dapat merasakan genggaman di tangan kirinya. Dia mencoba membuka mata. Bau obat langsung memenuhi rongga dadanya. "Mama?"
"Apa kepalamu sakit?" Nadia membalas pandangan Jessika dengan mata sembab. "Apa kamu perlu obat?"
Jessika tidak langsung menjawab. Dia memilih memperhatikan di mana dia berada saat ini. "Ini rumah sakit?" remaja itu memastikan.
Nadia mengangguk. Jessika dapat melihat genangan air mata di ujung mata Nadia. Wanita paruh baya itu sepertinya sudah menangis berjam-jam, sampai dia hampir tidak bisa membuka matanya yang bengkak.
"Papa panggil dokter dulu," Husman buru-buru pergi dari bilik ruangan Jessika.
'Ah... Gue jatuh dari tangga,' batin Jessika, mencoba merangkai apa yang terjadi, hingga dirinya berakhir di rumah sakit. "Apa kata dokter, Ma?" tanya gadis itu.
"Kamu sudah tidak sadar selama tiga hari. Kata dokter, ada pendarahan di kepala. Tapi itu membaik dalam 24 jam pertama. Jadi dokter melakukan observasi dengan obat-obatan. Ibu sangat bersyukur kamu akhirnya bangun."
Jessika memandang ke langit-langit rumah sakit. Gumpalan awan putih membumbung tinggi di atas kepalanya. Kemudian dia mengalihkan pandangannya ke sekeliling. Dua makhluk kerdil tengah membalas tatapannya. Mereka berdiri tepat di ujung kakinya. Jessika tidak menyadari kehadiran mereka lebih cepat karena nyeri kepala.
Berbeda dengan kemarin, saat ini makhluk itu tampak tenang. Mereka hanya berdiri diam. Tidak ada interaksi sama sekali diantara mereka.
***
Danny muncul dari balik pintu ruang rawat inap seraya membawa buket bunga mawar putih di dalam pelukannya. Pipi laki-laki itu tampak bersemu merah, saat dia disambut Nadia.
Jessika sudah dipindah ke ruangan rawat inap biasa setelah dirawat selama seminggu di ruang intensif. Setelah dipindah ke ruangan baru, banyak temannya yang menjenguk. Di hari kedua semenjak dia pindah, orang yang Jessika tunggu akhirnya menampakkan batang hidungnya.
"Sore, Tante!" Danny menyapa dengan canggung. Suaranya terdengar sedikit gemetar.
"Apa ini Danny yang sering Jessi bicarakan?"
"Mama!"
Danny tertunduk sambil mengusap-usap kepalanya.
"Bunga itu untuk Jessi?"
"Ah, iya!" Danny buru-buru mendekati Jessika, lalu menyerahkan buket bunga yang ada di pelukannya ke pangkuan Jessika. "Cepet sembuh, ya," bisiknya sambil tersenyum lebar. Senyuman yang selalu membuat Jessika berdebar.
"Kalau begitu, Tante permisi keluar sebentar, ya! Mau beli minum. Kalian ngobrol yang santai saja di sini." Nadia cekikikan sembari berjalan menuju keluar kamar.
Jessika memeluk erat buket bunga mawar putihnya. Gadis itu merasa panas hingga ke telinganya. "Maafin Mama, ya, Kak," gumamnya dengan suara pelan.
Danny duduk di ujung tempat tidur Jessika. Entah karena sinar matahari sore yang indah, atau memang Dannynya sendiri yang rupawan, suasana sore itu tampak sangat mempesona. Jessika tidak bisa berhenti untuk terus mencuri pandang ke arah kakak kelasnya itu.
"Sudah makan?" tanya Danny. Kali ini, suaranya lebih tenang dan berat.
Jessika mengangguk saja. Rasanya, dia tidak akan bisa menjawab dengan benar karena suaranya yang bergetar.
"Tapi, kenapa lo jadi makin kurus? Apa makanan di sini nggak enak?"
"Mmm... Saya nggak begitu nafsu makan, Kak."
Danny duduk mendekat. "Cepatlah sehat!" ujarnya. Tangannya terulur, membelai kepala Jessika. "Nanti, kita lanjutkan kencan kita yang tertunda."
"Ken-!!!" Jessika terkejut, tubuhnya menegang ketika Danny berkata begitu sambil memamerkan deretan giginya yang rapi. Laki-laki itu sungguh hebat membuat orang lain terpesona.
"Ngomong-ngomong, gue nggak bisa terlalu lama. Gue masih ada urusan sama anak-anak OSIS. Kita mau survey lapangan untuk acara tengah semester. Sekalian nyari sponsor juga."
Jessika mengangguk maklum. "Makasih sudah datang, Kak."
"Salam buat Mama lo, ya!" Danny bangkit, membelai rambut Jessika sekali lagi, lalu pergi dari ruangan Jessika.
Mata Jessika terpancang pada titik di mana Danny menghilang beberapa detik lalu. Wangi parfum laki-laki itu bahkan masih membekas di sekelilingnya. Jessika tidak pernah menyangka, bahwa keadaannya saat ini bukan hanya membawa kemalangan, tapi juga membawa berkah. "Gue harusnya fokus ke hal-hal positif," gumam Jessika, seraya menghirup aroma segar mawar putih.
"Yo!"
Alis Jessika langsung berkerut begitu mendengar sapaan tidak sopan dari arah pintu. Gadis itu langsung tahu, siapa pemilik suara bariton yang menyebalkan itu. "Kenapa lo bisa di sini?" sengit Jessika tanpa basa-basi. Bahkan dia enggan untuk menoleh ke arah pintu kamar.
Samuel melenggang masuk ke dalam ruangan Jessika, lalu duduk di sofa dekat jendela tanpa permisi. "Rumah sakit ini punya gue."
"Hah!?" Jessika menoleh cepat pada Samuel. Lawan bicaranya tengah memandangnya dengan dagu terangkat. Dia menyilangkan kaki, persis seperti bos mafia yang ingin mengintimidasi lawannya. Jessika melirik ke arah luka di kepala dan tangan Samuel. 'Perban kepalanya sudah dilepas,' batin Jessika tanpa sadar.
"Rumah... Sakit... Ini... Punya... Gue," jawabnya lambat-lambat.
"Gue nggak budeg!"
"Lha? Lo nanya lagi."
Jessika menghela nafas dengan keras. "Apa orangtua lo sekaya itu?"
Alis Samuel terangkat dengan senyuman mengejek. "Gue yang kaya."
Jessika tidak bisa berkata-kata saking kesalnya. Dia berusaha tidak mengindahkan segala ucapan Samuel, karena bisa saja Samuel hanya sedang membual. Jessika memutuskan untuk menanggapi hal-hal yang menurutnya penting saja.
"Kayaknya dokter lo melakukan tugasnya dengan baik. Mereka bilang, lo bisa pulang sekitar dua hari lagi." Samuel menyomot anggur yang ada di atas meja. "Apa dia datang?"
"Siapa maksud lo?"
Samuel melirik sekilas. "Kakak kelas yang lo suka itu."
"Please! Bukannya gue suka, ya!"
"Jadi, lo nggak suka?"
Jessika menggigit bibir bawahnya. "Lo sebenarnya mau ngomong apa sampai ke sini? Mana buktinya kalau rumah sakit ini punya lo?"
Samuel tiba-tiba membenarkan posisi duduknya. Dia menatap Jessika dengan tajam. Seketika, dia berubah menjadi serius. "Dia datang," gumamnya, lebih seperti pernyataan ketimbang pertanyaan.
"Siapa?"
BUM! BUM! BUM!
Tubuh Jessika membeku. Dirinya merasa tidak asing dengan suara langkah kaki yang keras itu. Matanya langsung sibuk mencari arah sumber suara. "Raksasa..."
Samuel melompat dari duduknya. "Kita harus pergi!"
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments