Jessika berjalan menyusuri perkebunan teh neneknya sejak satu jam lalu. Hujan akhirnya berhenti tepat di hari mereka akan kembali ke kota. Sebelum jam pulang, Jessika menyempatkan diri untuk meregangkan kakinya, setelah hanya berdiam diri di rumah untuk waktu yang lama.
Udara sedikit dingin. Embun yang harusnya datang menjelang malam, sudah ada sejak pagi tadi. Beberapa pekerja yang mengenali Jessika, menyapa tanpa ragu hanya untuk sekedar berbasa-basi.
"Oh, ini batasnya," Jessika mengusap pagar bambu setinggi satu meter yang akhirnya dia temukan. Waktu kecil, orangtuanya hanya memperbolehkannya bermain sampai sebatas pagar bambu itu. Jessika tidak pernah tahu, apa yang ada setelah pagar. Dia juga tidak berniat melewati pagar dan masuk ke dalam hutan kecil yang berseberangan dengan kebun milik neneknya itu.
"Jessika!"
Jessika mengangkat wajahnya saat mendengar sebuah suara seperti memanggil.
Tidak ada siapa-siapa di sekitarnya. Jessika berbalik. Para pekerja tampak terlalu jauh darinya untuk dia dengar panggilan mereka.
"Jessika!"
Jessika terlonjak kaget. Suara itu benar-benar dekat, seperti ada di sebelahnya. Bulu kuduk Jessika meremang. Tepat di waktu dia hendak melangkah kembali ke rumah, gadis itu melihat sekelebat bayangan yang masuk ke dalam hutan.
"Jes, nggak baik penasaran!" desisnya pada diri sendiri. Tetapi, matanya masih terpancang pada hutan itu.
"Jessika!"
Tepat pada panggilan ketiga, keluarlah sosok anak kecil yang tempo hari Jessika lihat. Tidak bisa dikatakan anak kecil juga, karena wajah mereka terlalu tua untuk dikatakan anak-anak.
Sosok itu hanya memakai celana putih. Tubuhnya sangat kurus dengan tangan menjuntai sepanjang lutut. Jessika dapat melihat bagaimana pucatnya kulit sosok tersebut.
Srak! Srak!
Sosok lainnya bermunculan. Tidak hanya dua atau tiga, namun hingga puluhan. Mereka bermunculan di hadapan Jessika.
Sementara sosok-sosok itu bertambah banyak, kaki Jessika malah membeku. Tubuhnya tidak bisa dia gerakkan. Bahkan, dia tidak punya keberanian untuk menutup matanya.
Hal tidak terduga selanjutnya terjadi. Keseluruhan sosok itu tersenyum lebar. Sudut bibir mereka hampir menyentuh telinga, memamerkan gigi-gigi runcing yang berantakan. Detik berikutnya, mereka bersimpuh, lalu bersujud di hadapan Jessika.
"Hei!"
Jessika terlonjak, hampir jatuh tersungkur ke depan. Sebuah suara berat terdengar, kali ini benar-benar dari belakangnya.
"Lo ngapain bengong di sini? Nanti kesambet!"
Jessika mengusap-usap dadanya yang berdebar. Entah sudah berapa kali dia olahraga jantung seperti itu. " Lo kira, bagus ngagetin orang begitu? Siapa lo?" sengit Jessika.
Laki-laki yang sepertinya seumuran dengan Jessika itu, merentangkan kedua tangannya. Jessika langsung paham setelah melihat keranjang penuh daun teh dan topi jerami yang dia kenakan.
"Lo kerja aja yang bener, nggak usah ngurusin gue!" Jessika jadi sewot karena dikagetkan. Sekilas, mata Jessika memicing. Dia dapat melihat seberapa tebal aura hitam yang menyelimuti tubuh laki-laki itu.
"Mata lo jelek banget!" tiba-tiba saja remaja laki-laki itu berkata demikian, kemudian meninggalkan Jessika yang masih mematung, tidak bisa berkata apa-apa.
***
"Kenapa lo? Manyun terus dari tadi," tanya Janu, sembari meletakkan koper ke dalam bagasi.
Jessika berdiri di belakang kakak keduanya itu, sedang menunggu gilirannya untuk memasukkan barang-barang ke dalam mobil.
"Perasaan amplop lo yang paling tebel. Kenapa malah bad mood?" Janu berkacak pinggang.
"Hhh, tadi gue ketemu orang nyebelin!" keluh Jessika, sambil mengangkat kopernya masuk.
"Siapa?"
Jessika hanya mengangkat bahunya. Dia bahkan tidak sempat menanyakan nama orang itu, saking marahnya dia.
"Di mana lo ketemu? Nggak mungkin orang rumah sini, kan?" Janu bertanya lagi, mengingat dia tahu adiknya sempat berjalan-jalan sejam lalu.
"Di kebun teh Nenek. Gue nggak tahu namanya, nggak nanya juga. Tapi dia nyebelin banget!"
Janu menggaruk-garuk dagunya. "Ya, nggak usah dipikirin juga, kan? Toh, lo nggak bakal ketemu dia lagi."
Apa yang Janu katakan memang benar adanya. Tapi, mau tidak mau, Jessika terus memperhatikan matanya setiap kali bayangan dirinya terpantul karena perkataan laki-laki itu. Mau itu di cermin, jendela, bahkan di kaca mobil sedetik lalu.
"Sudah siap?" Husman bergabung, diikuti Nadia dan Jimmy. "Nggak ada yang tertinggal?"
"Punyaku sudah lengkap," jawab Janu.
Tidak lama kemudian, Kemala muncul diikuti Pak Rum yang membawa dua buah dus ukuran sedang. "Taruh di belakang," perintah Kemala pada Pak Rum. Kemudian, wanita berambut putih itu menghampiri Jessika. "Baik-baik di kota, ya," pesannya sambil membelai kepala Jessika.
Jessika tersenyum untuk menjawab. Di ujung matanya, gadis belia itu bisa melihat kabut putih seputih susu yang menyelimuti neneknya. Namun, kabut itu semakin lama semakin tipis, seakan menguap.
"Pamit, ya, Bu!" Nadia salim pada Kemala.
"Hati-hati di jalan!" Kemala menepuk pelan pundak menantunya.
Keluarga Husman masuk ke dalam mobil satu demi satu. Kemala mendekat ke jendela Jessika waktu mesin mobil dinyalakan.
"Titip, ya, Cu," ujarnya sembari tersenyum lebar. "Dijaga baik-baik! Kuatkan dirimu! Jangan sampai lepas!"
Alis Jessika terangkat, tidak mengerti dengan apa yang Kemala maksud. Jika harus menjaga keluarganya, tentu dia bersedia. Tapi, pesan seperti itu bukankah lebih tepat jika dikatakan untuk ayahnya?
"Iya, Nek," hanya itu yang bisa Jessika jawab, karena ayahnya sudah menginjak pedal gas. Mobil mulai melaju, melewati kebun mawar yang pernah mereka lalui saat baru datang kemarin.
Lagi.
Jessika lagi-lagi melihat sosok-sosok kerdil bertangan panjang yang tadi dia lihat. Mereka tersenyum lebar, seolah mengantar kepergian Jessika. Makhluk-makhluk itu berdiri berhimpitan di bawah rimbunnya pohon. Lebih banyak ketimbang tadi saat di hutan.
"Ah! Itu dia!" perhatian Jessika tiba-tiba teralihkan pada remaja laki-laki yang berdiri di dekat gerbang bersama beberapa pekerja lainnya. "Kak! Itu dia cowok yang bikin gue bad mood!" lapornya pada Janu. Seketika, dia melupakan sosok-sosok aneh tadi.
Janu mendekatkan wajahnya ke jendela, mengikuti telunjuk adiknya. "Oooh, si Samuel?"
"Hah? Lo kenal?"
"Gue sering doa bareng dia kalo ke sini. Soalnya yang muda cuma dia. Anaknya asyik, lho!"
"Asyik apanya!?" Jessika sewot.
Alis Janu terangkat melihat adiknya emosi. "Emang lo diapain sama dia?" selidik Janu.
Jessika manyun. "Mata gue dibilang jelek!"
"Ya elah! Baper banget lo!" Janu malah menjitak kepala Jessika. "Dia itu anak baik. Gue kenal baik sama Samuel. Ibadah taat, ngomong sopan, suka bantu bokapnya kerja. Mungkin mata lo yang emang jelek dari sananya. Oplas, sana!"
"Dih, lo malah ngatain gue, sih? Tau begini, gue nggak usah lapor sama lo!" gerutu Jessika sebal.
"Sudah, sudah, kalian ini suka banget adu mulut. Mau Papa kasih sarung tinju sekalian?" sindir Husman. Jessika dan Janu langsung diam seribu bahasa. Jessika hanya bisa merajuk di dalam hati, sementara Janu tertawa pelan di sebelahnya.
Matanya kembali melihat remaja laki-laki yang tadi mereka bicarakan. Tidak ada yang berubah. Jessika dapat melihat aura gelap orang bernama Samuel itu. Aura itu hitam pekat, membuat Jessika merasa ketakutan.
Arah pandangnya beralih pada Janu yang saat ini tengah asyik bermain game. 'Sebenarnya, apa yang ada di belakang orang-orang ini? Kenapa ada yang putih bersinar, ada yang kelabu, ada yang putih susu, dan bahkan ada yang hitam pekat?' batin Jessika di dalam hati, bingung sendiri dengan apa yang dia saksikan sejak baru bangun tidur tadi pagi.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments