Warisan
Jessika membuka matanya perlahan. Sedetik kemudian, dia menyadari udara dingin yang menyelimuti sekujur tubuhnya. Jessika bergeser sedikit, mencari posisi nyaman karena lehernya terasa pegal.
Langit di luar jendela terlihat kelabu, pertanda hujan akan turun sebentar lagi. Kabut tipis sudah hampir menutupi seluruh jalanan. Mobil minivan hitam milik ayahnya tengah melaju agak kencang, memecah keheningan jalan pegunungan sore itu.
"Cuacanya selalu buruk seperti ini," gumam laki-laki yang ada di belakang kemudi. Badannya sedikit membungkuk. Bahkan dadanya hampir menyentuh kemudi. Mata laki-laki itu menyipit, berharap bisa melihat jalanan dengan lebih jelas.
"Tidak selalu seperti ini, Pa," tandas wanita berparas ayu yang duduk di sebelahnya. "Dulu, tidak seperti ini." Wanita itu melempar pandangan ke luar jendela, memperhatikan sekeliling.
"Padahal tadi di kota, cuacanya sangat bagus. Tidak ada tanda akan hujan sama sekali."
"Papa tidak bisa menyamakan cuaca di kota dan di pegunungan," jawab sang istri. "Apa karena iklim sudah berubah, ya? Sepertinya akan ada badai lagi, setibanya kita di rumah Ibu."
"Hhh, bisa gawat kalau kita sampai terlalu malam."
"Bisa gawat juga kalau Papa ngebut dalam kondisi begini."
Jessika menutup matanya kembali. Suhu udara yang rendah membuatnya mengantuk. Namun, telinganya masih awas, mendengarkan percakapan orangtuanya di bangku depan.
"Sudah lama kita tidak berkunjung," Nadia--wanita cantik yang duduk di sebelah bangku kemudi--mengusap lengan suaminya. "Apa oleh-oleh yang kita bawa tidak terlalu sedikit?"
Husman tertawa kecil mendengar kekhawatiran istrinya. "Kalau Ibu mau, Beliau bisa membeli satu pulau dengan uangnya. Ibu tidak akan protes apapun yang kita bawa, karena Beliau sudah memiliki segalanya."
"Benar kata Papa," Nadia mengangguk setuju. "Ibu memang hebat. Di usia senja begitu, masih bisa mengurus peternakan dan perkebunan yang sebegitu luasnya."
Husman melirik ke arah kiri selama beberapa detik. "Tapi, aku tidak akan berubah pikiran untuk menolak semua warisan dari Ibu."
"Hahaha," tawa Nadia terdengar pelan. "Aku juga tidak mengharapkan itu, Pa. Semua yang kita miliki saat ini, sudah cukup. Asal kalian sehat, aku tidak mengharapkan apa-apa lagi."
Tangan besar Husman terjulur, membelai kepala istrinya dengan penuh sayang. "Terima kasih karena sudah menjadi istri yang baik. Kalau kamu imut seperti ini terus, bisa-bisa Jessika malah punya adik."
"Hust!" Nadia menepis pelan tangan suaminya, dan disambut tawa kecil. "Oh, ya! Apa Papa sudah bawa penghangat ruangan? Jimmy pasti tidak nyaman kalau kamarnya terlalu dingin."
"Sudah. Itu hal pertama yang Papa masukkan agar tidak lu-akh!"
BRAK!
Sebuah benturan kecil membuat mobil minivan Husman sedikit oleng. Nadia memegang dashboard ketika Husman buru-buru menepikan mobilnya. "Apa itu, Pa?"
Jessika yang saat itu setengah sadar, langsung terbangun karena kaget. Matanya langsung awas memperhatikan sekitar. Dia mengikuti arah pandangan ibunya ke luar jendela, meski hanya kabut tipis yang terlihat. Hari sebentar lagi petang.
"Ada apa, Pa?" terdengar suara berat dari sebelah Jessika. Kakak pertamanya juga terbangun.
"Papa juga tidak begitu yakin apa itu. Tapi, Papa menabrak sesuatu," jawab Husman seraya menarik rem tangan. "Papa akan periksa," tambahnya. Kemudian Husman langsung melompat dari bangku kemudi dan pergi ke bagian belakang mobil.
Jessika memutar kepalanya mengikuti gerakan Husman. Rasa kaget membuat jantungnya berdebar kencang. Dalam hati, gadis itu berdoa agar yang ditabrak ayahnya bukanlah manusia.
Hening menghampiri untuk beberapa detik. Semuanya menunggu kabar dari Husman. Tidak banyak kendaraan yang lewat di hari dengan cuaca buruk seperti sekarang. Apalagi, sebentar lagi matahari benar-benar akan tenggelam.
"Mama akan menyusul Papa sebentar," Nadia sudah siap membuka pintu mobil.
"Biar aku aja, Ma," Jessika mendahului dan segera turun. Begitu kakinya menyentuh rumput liar yang tumbuh di pinggir jalan, bulu kuduknya langsung meremang. Udara dingin menusuk hingga ke tulang-belulang. Detik itu, Jessika menyesal hanya menggunakan sandal jepit.
Dia melangkah kecil sembari memeluk dirinya sendiri. Rambut bergelombang sepanjang punggungnya, bergerak tertiup angin, membuat telinganya membeku. Jessika menyapu seluruh sudut yang bisa ia lihat.
"Ada apa, Pa?" tanya Jessika.
Husman menggeleng. "Papa tidak menemukan apapun," jawabnya. "Mungkin itu binatang berukuran kecil yang melintas."
Jessika tidak langsung menjawab. Dia masih melihat ke sekeliling mereka. Angin yang bergerak semilir, membuat dedaunan di pepohonan bergerak pelan. Hawa dingin semakin menyengat. "Aku juga nggak lihat apa-apa," Jessika menyetujui perkataan ayahnya.
Husman berjalan cepat menuju depan mobil. "Jes, kamu masuk saja duluan!" serunya dari arah depan. Sepertinya Husman ingin memeriksa bagian depan mobil karena sudah menabrak sesuatu. Mungkin saja tertinggal sedikit jejak di sana.
Jessika bergerak perlahan. Matanya masih mencari di sela-sela lebatnya pepohonan. Ketika gadis itu memutuskan untuk kembali ke dalam mobil, tiba-tiba dia melihat sebuah pergerakan di balik pepohonan yang berjarak sekitar seratus meter jauhnya. Jessika berhenti bergerak. Pandangannya terpancang pada siluet beberapa manusia yang tiba-tiba muncul.
Matanya menyipit, ingin melihat lebih jelas apa yang sebenarnya dia lihat. "Anak kecil?" gumam Jessika, ragu. Siluet itu berbentuk seperti manusia. Namun, Jessika yakin kalau itu bukanlah manusia pada umumnya. Ukuran mereka setinggi anak kecil dengan badan yang sangat kurus dan ukuran perut yang besar. Tangan makhluk itu sangat kurus dan panjang, hingga hampir menyentuh lutut mereka. Tidak ada yang memakai baju di antara mereka, hanya mengenakan celana putih sebatas paha, membuat Jessika semakin yakin kalau itu bukanlah manusia.
"Jes?"
Tepukan lembut mendarat di bahu Jessika, membuatnya berbalik kaget. "Kak Jim?"
"Kenapa lo malah bengong di sini? Ntar kesambet, lho!" ujar Jimmy dengan sebelah alis yang terangkat.
Jessika menoleh kembali ke arah dia melihat sekumpulan siluet tadi. Mereka masih ada di sana. "Itu apa, Kak?" tanya Jessika pada kakak sulungnya sambil menunjuk ke makhluk-makhluk yang membuatnya penasaran.
Jimmy mengikuti arah telunjuk adiknya. "Lo nunjuk apaan?"
"Itu, Kak!" Jessika sewot, kesal karena kakaknya malah seperti orang bego. "Yang berdiri di pohon-pohon itu!"
Jimmy balik menatap adiknya. "Mata lo minus, ya?" ledeknya. "Nggak ada apa-apa di sana, kecuali pohon. Udah, ah!" Jimmy mencengkram bahu adiknya, kemudian mendorongnya kembali ke mobil. "Dingin, tahu! Gue bisa pilek kalau lama-lama di luar!"
Rasa penasaran yang besar membuat mata Jessika masih terpancang pada sosok-sosok itu. Mereka masih di sana. Tidak bergerak. Seolah menunggu Jessika hingga pergi.
Saat akhirnya mereka masuk ke dalam mobil dan deru suara mesin kembali terdengar, Husman membuka percakapan. "Kenapa kamu bengong, Jes?"
Jesika menoleh ke arah pepohonan kembali untuk kesekian kalinya. Hilang. Apa yang tadinya ada di antara pepohonan, raib bak ditelan bumi. "Aku lihat sesuatu di sana, Pa," jawabnya.
"Mungkin Jessika salah lihat. Tadi nggak ada apa-apa di sana," tandas Jimmy.
"Ngomongin apa, sih?" Janu yang sedari tadi tidak bersuara, akhirnya terbangun dari tidurnya. "Kenapa kita berhenti?"
Jimmy berdecak tidak percaya pada Janu. "Lo seriusan tidur dari tadi?"
"Ya, lo kira gue ngapain? Main catur?" sindir Janu.
Jessika tidak menggubris ocehan kedua kakaknya yang mulai berdebat di dalam mobil. Sementara itu, Husman menginjak pedal gas untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju rumah kayu berlantai tiga dengan halaman seluas lima are di depan dan belakangnya.
"Tidak usah dibahas lagi. Sepertinya tadi Papa cuma menabrak binatang liar. Mobil juga hanya penyok sedikit," Husman memutuskan untuk tidak membahas masalah itu lagi.
"Kita harus cepat sampai di rumah Nenek," tambah Nadia.
Jessika tidak bisa untuk berpura-pura tidak memikirkan masalah tadi, berbeda dengan kedua orangtuanya. Melihat segerombolan sosok aneh di antara pepohonan lebat, membuat pikirannya melayang. Ingatan itu masih jelas. Gambaran siluet mengerikan yang tidak seperti manusia, terus terbayang di kepalanya.
'Aneh,' batin Jessika. Dia mencari posisi nyaman untuk duduk. 'Gue nggak pernah lihat hal-hal aneh seperti itu sebelumnya. Kenapa tiba-tiba?'
Jessika menggeleng pelan sambil memejamkan matanya. 'Cuma kebetulan. Gue juga nggak yakin itu apa. Bisa saja itu benar-benar penduduk asli sana. Gue, kan, nggak pernah mampir di sekitar sini selama berkunjung ke rumah Nenek,' Jessika mencoba berpikir positif.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments