Jessika tidak bisa berkata apa-apa ketika makhluk paling tampan seantero sekolah berdiri tepat di hadapannya. Gadis itu bahkan tidak berani berkedip, takut apa yang dia saksikan saat ini malah hilang bak di dalam mimpi.
Tidak hanya Jessika. Seluruh isi kelas juga berbaris rapi memenuhi jendela dekat pintu kelas. Mereka ingin tahu alasan Pangeran Sekolah datang ke kelas mereka. Apalagi, tidak ada hubungannya antara anak IPA dan anak Bahasa.
"Gue Danny!" Pangeran Sekolah mengulurkan tangannya sambil tersenyum simpul.
Jessika membalasnya dengan cepat. "Jessika, Kak!" jawabnya. 'Lihat aura Kak Danny! Putih bersih! Memang nggak sama dengan Kak Janu, tapi lebih baik ketimbang aura cowok yang duduk di belakang gue!' batin Jessika, masih kesal dengan Samuel.
"Lo anak kelas sepuluh dengan nilai tertinggi, kan?"
Jessika mengangguk saja. Lidahnya terlalu kelu untuk bicara.
"Lo juga bagian OSIS, kan?"
"Sie acara!" sambar Jessika.
Danny terkekeh melihat Jessika bersemangat. "Gue sebenarnya udah notice sejak lo handle acara waktu Hari Guru."
'Hah? Lama banget, dong?' pikir Jessika.
"Maaf kalau gue tiba-tiba ganggu, nih! Apalagi berasa SKSD gini sama lo. Tapi, gue beranikan diri buat ngobrol sama lo sekarang aja. Takutnya, kalau ditunda terus, malah bablas," Danny tersenyum, membuat lesung pipinya tampak jelas.
"Kak Danny mau ngobrolin apa?"
"Berhubung nilai lo paling tinggi, lo mau ajarin adik gue yang baru masuk sini, nggak? Tenang aja, nggak gratis, kok!"
"Jadi guru privat maksud Kakak?"
Danny mengangguk. "Adik gue cewek, kok! Lesnya juga bisa sepulang sekolah di perpus. Jadi bisa gue temenin juga."
'Rezeki nomplok!' batin Jessika girang.
"Hei!"
Suara berat yang tiba-tiba muncul dari belakang Jessika, membuat perhatian teralihkan. Suara berat dengan nada tidak sopan yang entah bagaimana mulai membekas di kepalanya. Jessika memutar tubuhnya untuk berhadapan dengan si perusak suasana.
"Bisa, 'kan, ngobrol jangan di pintu? Jalan nggak cuma punya lo berdua," tambah Samuel tanpa ekspresi.
Danny menarik tangan Jessika untuk mendekat padanya, sehingga Samuel bisa berjalan melewati mereka. "Silakan," jawab Danny dengan tenang, tampak tidak tertarik untuk berkonfrontasi dengan Samuel.
Samuel tidak memalingkan pandangannya dari Jessika, bahkan hingga dia melewati gadis itu.
"Dia naksir lo, ya?" tanya Danny, begitu jarak Samuel dengan mereka sudah lumayan jauh.
"Dih! Mana mungkin, Kak!"
"Kesannya nggak bagus, ya?"
Jessika mengangguk setuju.
"Jadi," Danny kembali ke topik awal pembicaraan mereka. "Lo mau ngajarin adik gue?"
"Boleh, Kak!" Jessika menyanggupi. "Tapi saya harus kenalan dulu sama adik Kak Danny. Kalau dianya oke, baru saya bisa lanjut."
"Nggak masalah. Kita ketemu pulang nanti, ya?"
"Oke!" jawab gadis itu sambil mengacungkan jempolnya. Danny melambai pelan sebagai tanda perpisahan, kemudian berlalu untuk kembali ke kelasnya. Jessika tidak mengalihkan pandangan, hingga Danny menghilang. Pipinya mengembung karena dia tersenyum lebar. Beberapa teman sekelasnya langsung menghampiri untuk mendapat bahan gosip baru. Danny selalu bisa menjadi topik hangat di kalangan remaja putri sekolah itu. Meski begitu, Jessika memilih untuk sedikit berhati-hati agar Danny tidak mendapat gosip buruk. Mereka hanya akan bertemu karena Jessika ditawari menjadi guru privat adiknya. Tidak lebih. Dia juga tidak tahu apakah Danny punya orang yang disukai atau tidak. Itu akan memberatkan Danny jika mendapat kesan jelek mengenai dirinya.
***
"Mama tenang saja. Semuanya berjalan sesuai rencana. Aku akan coba dekati perempuan sialan itu!"
"Jangan buru-buru! Kamu harus pastikan dia tidak curiga!"
"Perempuan itu bodoh, Ma!"
"Hahahahaha! Ya, dia bodoh! Persis ibunya!"
"Mama akan mendapatkan apa yang seharusnya Mama dapatkan. Aku janji, Ma! Aku nggak akan biarkan Mama hidup susah! Mama sudah menderita dalam waktu yang lama gara-gara perempuan itu!"
"Kamu memang anakku yang bisa diandalkan!"
***
Jessika bergidik.
Dia tidak bisa untuk terbiasa berapa kalipun dia melihat kabut hitam pekat yang mengelilingi tubuh Samuel. Gadis itu mengedarkan pandangannya. Bukan hanya Samuel. Jessika juga bisa melihat aura masing-masing temannya meski tidak begitu jelas.
Maria yang memiliki aura abu-abu, Kirana dan Ogik yang memiliki aura putih cemerlang, Hendra yang memiliki aura merah muda, dan teman-teman lainnya. Jessika memang belum mengerti dengan benar apa maksud dari kabut yang mengitari teman-temannya itu. Namun, jika belajar dari pertama kali dia melihat aura, punya Janu adalah yang terbaik.
Jessika menengok ke belakangnya. Segumpalan asap tipis membayang di atas kepalanya. 'Putih-susu' batinnya. 'Sama kayak punya Kak Danny. Gue rasa, ini bukan hal yang buruk. Gue juga nggak pernah berlaku buruk. Tapi, kira-kira apa artinya, ya?'
Ketika dia menarik pandangannya kembali, secara tidak sengaja dia bertemu pandang dengan Samuel. Mata laki-laki itu berkilat. Bola matanya hitam pekat, seperti mata gagak yang mengincar buruan. Wajahnya yang tanpa ekspresi malah terlihat seperti orang marah.
Jessika buru-buru membuang wajah. Dia tidak pernah suka dengan Samuel, sejak pertama kali mereka bertemu. Bukan hanya karena mulut pedas Samuel. Aura hitam yang menyelimuti laki-laki itu, membuat Jessika merinding.
Gratak!
"Heh, Mata Jelek!"
Jessika menarik nafas panjang, kaget karena bangkunya tiba-tiba ditendang dari belakang oleh Samuel. Dia menoleh dengan mata mendelik. "Apa?" bentaknya, sebal.
"Lo ngobrol apaan sama si jelek itu?"
Alis Jessika mengkerut. Remaja itu tidak mengerti maksud dari pembicaraan Samuel. "Bisa, nggak, lo nyebut orang itu pakai nama? Jangan seenaknya buat panggilan yang bikin orang lain tersinggung!"
"Kenapa tersinggung? Mata lo emang jelek," sahut Samuel ketus. "Jawab aja pertanyaan gue!"
"Pertanyaan yang mana?" Jessika mendengus.
"Lo ngomongin apa sama si jelek?"
Jessika menghela nafas dengan kasar. "Pertama, gue nggak ngerti siapa yang lo maksud dengan 'si jelek'. Kedua, kita nggak sedekat itu, sampai gue harus laporan mengenai obrolan gue sama temen gue. Ketiga, gue nggak berminat ngobrol sama lo. Cukup?" Jessika mencibir sebelum kembali menghadap ke depan. Dia buru-buru membereskan mejanya.
Jam tanda pelajaran berakhir sudah berbunyi beberapa detik lalu. Sebenarnya, Jessika sudah tidak sabar untuk pergi ke perpustakaan. Bahkan, teman sebangkunya saja sudah mau beranjak dari tempatnya. Dia tidak menyangka kalau Samuel akan mengajaknya bicara di detik-detik terakhir.
"Hei!" Samuel menendang pelan bangku di depannya untuk kedua kalinya. "Lo ganjen banget, ya?"
Gigi Jessika bergemeletuk saking kesalnya. Jessika memutar badannya. Matanya mendelik pada laki-laki jangkung dengan wajah angkuh. "Setidaknya gue nggak ganjen ke elo! Selera gue tinggi banget, dan lo nggak perlu merasa khawatir!"
Samuel mencibir. "Selera lo yang suka bawa-bawa jin, ya?"
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments