Jessika mengerjap, terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Selimut membelit kakinya. Gadis itu mengusap-usap lengannya yang terasa membeku.
"Pantes aja dingin! Kagak selimutan!" rutuknya pada diri sendiri. Dia merasa sedikit kesal karena harus terbangun di jam dua pagi, apalagi di kamar yang asing baginya. Meski kamar pemberian Kemala tampak lega dan nyaman, Jessika tetap tidak terbiasa dengan suasana itu. Remaja belia itu merindukan kamarnya sendiri.
Jessika menarik selimut hingga menutupi kepalanya. Dia menikmati kehangatan yang ada di dalam selimut itu. Hujan badai di luar jendela membuat suara-suara ribut. Jessika menyesal tidak meminta ibunya untuk tidur bersamanya.
Krrrriiieeettttt
Jessika membeku. Suara pintu terbuka membuatnya tidak berani berkutik. Jessika tahu, bahwa pintu kamarnya yang dibuka.
'Siapa?' batin Jessika dengan jantung yg berdegup cepat. 'Tidak mungkin Papa atau Mama yang datang. Mereka tidak pernah datang ke kamarku pada jam segini. Apalagi Jimmy atau Janu.'
Rasa takut menyelimuti Jessika. Namun, dia lebih takut lagi untuk menyingkap selimut yang menutupi wajahnya dan melihat siapa yang datang.
Ingatan tentang makhluk asing yang sempat dia lihat saat perjalanan menuju rumah Kemala, kembali melintas di kepalanya. 'Nggak mungkin!' jeritnya di dalam hati. Otaknya berputar dengan cepat, mencari segala bentuk kemungkinan yang bisa saja terjadi.
"Cucu... Cucuku sayang..."
Suara rendah nan lembut yang sangat Jessika kenal, melunturkan rasa takut yang tadi menyergap. Digantikan dengan rasa bingung. 'Nenek? Kenapa Nenek ke kamarku jam segini?' pertanyaan itu berputar di kepalanya.
Tidak ada kalimat jelas yang kemudian terdengar. Kemala mengeluarkan suara yang lebih seperti merapalkan sesuatu. Jessika tidak begitu mengerti, tapi dia menangkap kata-kata 'turunkan', 'penjaga', 'cucuku' dalam bahasa daerah yang sering neneknya gunakan jika bicara dengan para pekerjanya.
Setelah beberapa detik. Kemala diam. Jessika hanya bisa merasakan debaran jantungnya di telinga. Detik berikutnya, suara berisik dari luar jendela makin menjadi. Gemuruh petir bersahut-sahutan. Lalu, Jessika mendengar sorak-sorai orang-orang di kejauhan. Anehnya, sorakan itu makin lama malah terdengar makin mendekat, dibarengi dengan tepukan tangan yang riuh. Saat tepukan tangan tepat terdengar di sebelah telinganya, Jessika tidak tahan lagi dan memilih untuk menyibak selimut yang menutupi wajahnya.
"Pagi, Sayang!"
Nadia berdiri di dekat jendela, sambil meletakkan segelas susu hangat.
"Sayang sekali pagi ini masih hujan. Kamu main-main di dalam rumah saja dulu, ya!" tambahnya.
Jessika tidak bergerak dari tempatnya. Dia bingung sendiri. Gadis itu masih bisa merasakan keberadaan neneknya yang merapalkan sesuatu di sebelahnya. Suara ribut orang-orang yang bersorak dan tepukan tangan yang riuh juga masih jelas terngiang di kepalanya.
"Jes?" panggilan Nadia membuat Jessika tersadar. "Kenapa melamun?"
Jessika mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Udara dingin semalam bahkan masih membekas di telapak tangannya. "Masih kebawa mimpi, Ma," dustanya.
Nadia tersenyum hangat. "Kalau kamu masih mau lanjut tidur, boleh aja. Tapi diminum dulu susunya, ya! Udara lagi nggak bagus, jangan sampai kamu sakit gara-gara tidur dengan kondisi perut kosong," ujar Nadia sebelum berlalu dari kamar Jessika.
Jessika masih terdiam. Tidak ada yang berubah dari kamarnya. Tidak ada tanda-tanda adanya segerombol orang yang masuk dan membuat keributan. Jika benar itu adalah manusia, tentu Nadia atau Husman sudah bertanya padanya tentang apa yang terjadi malam tadi. Namun, ibunya bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.
Remaja belia itu turun dari ranjang berukuran satu orang dan pergi menuju meja rias di dekat jendela. Hujan memang masih turun. Meski tidak sederas kemarin, pemandangan di luar sana tetap saja terasa menakutkan. Langit sangat kelabu. Sayup-sayup, terdengar gemuruh petir dari kejauhan. Jessika dapat melihat beberapa pekerja Kemala bekerja di bawah hujan, dengan hanya mengandalkan topi jerami.
Jessika menyesap susu hangatnya. Seketika, rasa dingin yang tadinya menyergap dirinya, menghilang begitu saja. Kedua tangannya melingkari gelas kaca yang susunya kini sudah habis setengah.
Tok! Tok! Tok!
"Jes!"
Suara Janu terdengar dari balik pintu. Belum sempat Jessika menjawab, daun pintu kamarnya sudah menjeblak terbuka. Jessika hanya bisa menghela nafas.
"Buruan bantu gue di dapur! Jimmy mau ambil alih!"
Jessika mengernyit. Dia merasa aneh. Bukan karena perkataan Janu, namun karena apa yang dia lihat.
Janu tampak bercahaya. Wajahnya bersinar cerah seolah ada lampu neon yang bersinar di belakang kepalanya. Jessika mengusap matanya keras-keras.
"Ngapain lo? Buruan bantu gue!" seru Janu kemudian melipir keluar kamar. Suara langkah kakinya menuruni tangga bahkan sampai terdengar hingga ke kamar.
Jessika buru-buru menghabiskan susu di tangannya. Dia menyusul Janu beberapa detik kemudian. Masih dalam kondisi bingung, Jessika berpapasan dengan Pak Rum.
"Astaga!" Jessika sempat mundur beberapa langkah. Matanya membelalak.
Pak Rum yang melihat cucu majikannya bertindak aneh, langsung mengernyit. "Ada apa, Non?" tanyanya dengan nada ketus.
"Ah... Nggak apa-apa, Pak! Maaf, saya kaget karena baru bangun tidur," dustanya, dan langsung pergi dari hadapan Pak Rum.
Sesampainya di dapur, Jessika menyaksikan kedua kakaknya sedang beradu mulut sambil memperebutkan sebuah wajan. Jessika mengusap matanya lagi. Ternyata, apa yang dia lihat sebelumnya, bukanlah sebuah halusinasi. Janu memang bersinar. Bahkan sinarnya sangat menyilaukan.
"Jimmy?" gumam Jessika saat melihat kakaknya yang lain.
Berbeda dengan Janu, Jimmy tidak bersinar. Jimmy memancarkan cahaya putih, namun redup dan bercampur dengan warna abu-abu.
"Jes! Sini, buruan! Kakak lo, nih!" panggil Janu yang menyadari keberadaan Jessika.
"Jes, gue udah belajar masak! Lo tahu sendiri, kan?" Jimmy membela diri. "Gue bisa buat nasi goreng spesial!"
"Nasi goreng lo pakai gula!"
"Gue udah bisa bedain garam sama gula!"
Dua orang chef yang sedaritadi berdiri di pojok dapur, ikut bingung melihat perselisihan cucu majikannya. Jelas sekali terlihat di wajah mereka, kalau sebenarnya mereka ingin membuat sarapan secepat mungkin, namun diganggu oleh Jimmy.
"Kalian ini, masih pagi udah debat nggak jelas!" sahut Jessika. "Gue nggak mau makan masakan kalian berdua! Lagian, Nenek punya chef yang masakannya lebih terjamin nggak beracun!" Jessika menarik lengan baju kedua kakaknya untuk menjauh dari dapur, memberikan ruang pada ahlinya. "Kalian duduklah dengan tenang di ruang makan! Jangan ganggu orang lain kerja! Dan gue masih ngantuk untuk terlibat dalam pertengkaran kalian!"
Jessika memutuskan untuk tidak menghiraukan apa yang baru saja dia saksikan, walaupun rasa penasaran di kepalanya sangat besar.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments